SIJI

18.2K 591 90
                                    

Ponorogo, Jawa Timur. 1974.




Matahari terkatung di atas langit. Baru saja ia terbangun dari persembunyiannya di gunung Pringgitan. Sesekali angin mendesau menghempas ranting-ranting Mahoni yang kering.

Kelas kami senyap. Sunyi. Kami semua hanya terdiam saat Bu Warniti, wali kelas kami pagi itu menanyakan Waluyo, si ketua kelas yang tak kelihatan batang hidungnya. Biasanya ia paling pagi datang ke kelas ini. Namun hingga sekarang ia belum datang juga.

Tak seorangpun dari kami tahu kemana si Waluyo. Biasanya kalau dia sakit, pasti ibunya akan datang memberitahu. Tapi sekarang, ia menghilang tanpa pemberitahuan sama sekali. Aneh.

"Masa ndak ada yang tahu si Waluyo kemana?"

Bu Warniti kembali menanyakan pertanyaan itu kepada kami. Tapi sekali lagi ia tak menemukan jawaban. Kami hanya diam. Karena memang kami tak tahu dimana si ketua kelas itu berada.

"Yawes (yaudah). Kalau begitu, pimpin doa temen-temen kamu, Ndar." Bu Warniti menunjuk ke arahku. Aku, yang notabene wakil ketua kelas langsung kebagian menyiapkan anak-anak berdoa sebelum memulai pelajaran.

***

Teng! Teng! Teng!

Lonceng sekolah kami, yang terbuat dari potongan rel kereta api itu berbunyi. Tanda pulang sekolah. Aku segera mengemasi buku, petelot (pensil),dan peralatan lain ke dalam tas warna hitamku begitu guru terakhir meninggalkan kelas.

Aku hendak melangkah pulang, namun langkahku terhenti. Aku mendengar si Santoso dan kawan-kawannya membicarakan Waluyo.

"Eh, eh, tau ndak si Waluyo kenapa ndak mlebu sekolah hari ini?" Santoso yang berbadan gemuk itu naik keatas meja, menghadap ke teman-temannya seolah sedang pidato.

Aku menghampiri mereka.

"Emange si Waluyo ngapo ra mlebu?" Tanyaku.

(emangnya kenpa si waluyo gak masuk?)

Santoso menatapku dan teman-temannya. Kami terdiam. Menunggu jawaban darinya.

"Tadi pas aku berangkat sekolah, aku kan lewat ndek (di) rumahe si Waluyo. Aku denger-denger dia mau pindah ke Dolopo. Dia mau dijadikan gemblak sama Warok Sentani. Itu, lho, yang punya sanggar reog yang terkenal itu."

"Gemblak, gemblak kui opo? Panganan sing songko ketan trus diwei kambil karo gulo?" Selorohku karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan Santoso.

(gemblak itu apaan? makanan dari ketan yang dikasih kelapa sama gula?)

Tiba-tiba Santoso menatap tajam ke arahku. Aku terpaku. Tatapannya seperti harimau yang hendak menerkam mangsa.

"Heh goblok! Gemblak itu ya kamu itu, Ndar."

"Aku? Maksudmu?"

"Kamu kan dirawat sama Pak Lek Danu. Dia bukan siapa-siapa kamu, sodara juga bukan. Tapi dia mau merawat dan menyekolahkanmu. Apalagi kalo bukan menjadikanmu sebagai gemblak. Menjadikan kamu sebagai simpanan, sebagai klangenan (jimat)."

Dheg!

Tiba-tiba aku gentar mendengar ucapan Santoso barusan. Jantungku berdegup. Nyaris tak dapat bicara.

"Taa..tapi pak lek merawatku karena kasihan sama aku, ndak ada alasan lain."

"Sekarang dia hanya merawatmu karena kasihan, tapi sebentar lagi, kalo kamu naik kelas dua, kalo umurmu sudah 13 tahun, apa kamu yakin Pak Lek mu itu cuma merawatmu sebatas kasihan?" Santoso menyeringai.

Aku tak tahan. Sungguh-sungguh tak tahan jika harus mendengarkan perkataan Santoso lebih lama lagi. Aku benar-benar tak sanggup mendengarkan dia menjelek-jelakkan Pak Lek. Aku bergegas pergi, sembari menyambar tasku secepat kilat. Meninggalkan Santoso dan teman-temannya yang masih duduk terbengong.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang