PITU

7.6K 352 24
                                    

Pak Lek Sayang Kamu, Ndar




"Ayo to, Ndar.... Tolong maafin Pak Lek.... Sudahlah, mbok jangan marah-marah begitu...."

Sekali lagi Pak Lek merengek padaku. Namun tak kuhiraukan sama sekali. Aku masih marah padanya. Masalah hilangnya 'kelelakian'ku bukanlah masalah sepele. Jadi tak semudah itu kumaafkan Pak Lek.

"Ndar.... Pak Lek mohon...."

Tapi aku tetap tak bergeming. Diam. Kulihat ia mulai menyerah. Ia tak berhasil melelehkan batu keras di dalam hatiku.

"Yaudah Ndar kalau kamu ndak mau maafin Pak Lek.... Ndak ada gunanya Pak Lek terus merengek-rengek sama kamu...."

Aku masih saja diam. Ia kemudian bangkit.

"Yang penting Pak Lek udah sungguh-sungguh minta maaf sama kamu...."

Pak Lek mulai melangkah pergi dariku.

"Pak Lek melakukan itu karena Pak Lek sayang sama kamu, Ndar... ndak lebih...."

Deg.

Tiba-tiba saja jantungku berdegup mendengar perkataan terakhir Pak Lek. Tiba-tiba tubuhku mendadak lemas. Kaki dan tanganku gemetaran. Gigiku bergemeratak. Benarkah Pak Lek melakukan itu karena dia menyayangiku? Aku tiba-tiba dirundung keraguan. Tapi kalau Pak Lek menyayangiku.... Pasti dia takkan tega melakukannya padaku. Ahh! Aku kian bingung. Kugusak kepalaku untuk menghilangkan sedikit kebingungan.

***

Tep. Tep. Tep.

Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai kayu membuyarkan lamunanku. Aku mendongak. Rupanya Mas Narno. Dia berjalan mendekatiku yang masih duduk di ranjang sanggar ini.

"Pokoknya aku ndak gelem (mau) pulang ke rumah Pak Lek," ucapku sebelum Mas Narno sempat berkata. Aku tahu pasti dia ingin membujukku agar memaafkan Pak Lek dan mau pulang ke rumah Pak Lek. Tapi aku tetap bersikukuh. Aku tidak akan pulang kerumah Pak Lek.

"Sebenarnya kamu itu kenapa to sampai segitu marahnya sama Pak Lek Danu?"

Aku hanya terdiam. Menatapnya. Kemudian dengan pelan, mulai berkata.

"Karena dia telah merebut kesejatian ku sebagai lelaki Mas.... Pak Lek sudah menggagahiku.... Pak Lek sudah melecehkan ku.... Sekarang aku sudah ndak pantas lagi disebut sebagai lelaki..." ucapku setengah amarah.

Sesaat Mas Narno tersenyum padaku. Tangannya meraih jemariku dan digenggamnya.

"Ndar.... Kamu tahu ndak. Sejatine wong lanang iku dudu uwong kang iso bebas amratelak ne kabebasane. Ananging sejatine wong lanang iku, yaiku uwong kang iso tabah lan kuat anjalani opo sing wis dadi tekdire tanpo luh satitiko."

(lelaki sejati itu bukanlah lelaki yang bisa dengan bebas menggembar-gemborkan kelelakiannya. Tapi lelaki sejati itu, adalah orang yang bisa kuat dan tabah menjalani takdirnya tanpa mengeluh sedikitpun.)

Aku terpaku mendengar penjelasan Mas Narno.

Mas Narno kemudian duduk di sampingku. Perlahan dielusnya kepalaku seakan aku ini adiknya. Aku mendadak tenang.

"Kamu jangan pernah sekalipun berpikir kalau kamu jadi gemblak, maka kamu akan kehilangan harga dirimu sebagai lelaki, Ndar. Justru ketika kamu jadi gemblak, kamu harus membuktikan pada dirimu sendiri kalau kamu itu lelaki. Kamu pasti bisa menjalani takdir tanpa nangis dan mengeluh."

"Tapi, Mas...."

"Tapi opo, Ndar?" Mas Narno menoleh ke arahku.

"Tapi kenapa Pak Lek Melakukannya padaku? Aku laki-laki dan Pak Lek juga laki-laki. Kenapa Pak Lek ndak mencari wanita lain? Pak Lek kan tampan."

Mas Narno hanya tersenyum simpul mendengar perkataan ku. Ia menghela napas sebentar, dan menghembuskannya perlahan.

"Ndar.."

"Dalem Mas."

(iya mas)

"Kamu pernah lihat Pak Lek jalan sama wanita? Dan apakah kamu juga pernah lihat Pak Lek membawa seorang wanita?"

Aku menggeleng. "Ndak pernah Mas."

"Ketika seseorang berikrar menjadi seorang warok, maka dia harus siap dengan tiga pantangan, Ndar.."

Aku mengernyit. "Pantangan?"

"Seorang warok itu dilarang melakukan tiga perbuatan agar dia tetap bisa menjaga kekuatan dan keperkasaannya sebagai warok."

Aku terdiam.

"Mereka dilarang melakukan perbuatan maksiat, bermabuk-mabukkan, dan berhubungan dengan wanita."

"Lalu?"

"Karena itulah Pak Lekmu ndak pernah mau menyentuh wanita sedikitpun. Dia bahkan belum punya istri, padahal dia sudah hampir empat puluhan."

"Tapi Mas, aku tetap ndak bisa menerima kalau Pak Lek menyetubuhi lelaki."

Mas Narno kembali tersenyum. Aku penasaran.

"Ndar. Manusia itu ndak selamanya bisa menahan nafsu. Sekuat apapun seseorang menahan hasratnya, maka suatu saat ia akan tiba di suatu batas di mana dia tak bisa lagi menahannya."

Mas Narno menerawang sembari bercerita. Seakan ia tengah memutar kembali memori-memori dalam pikirannya yang telah lama teronggok.

"Dan yang dimiliki seorang warok hanyalah gemblak. Maka kepada siapa lagi mereka akan berlabuh kalau tidak sama gemblaknya...."

"Mas... aku...."

"Sudahlah, Ndar. Jika Pak Lek memintamu untuk bersetubuh, anggap saja itu merupakan bagian dari pengabdian dari kita sebagai gemblak. Jangan sampai kita dianggap durhaka. Kita tahu seperti apa pengorbanan seorang warok untuk merawat kita. Mereka merawat kita. Memberi makan yang enak-enak kepada kita, memberikan kita pakaian yang bagus-bagus. Dan mereka menyekolahkan kita."

Kepalaku tertunduk. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ucapan Mas Narno seakan mengelupas seluruh sisik kemunafikan dalam hatiku. Aku paham. Aku mengerti. Aku tak pernah bisa lari dari hal seperti ini. Karena itu merupakan bagian dari pengabdianku sebagai gemblak.

"Mas Narno...." Aku tiba-tiba menoleh ke arah lelaki tampan itu.

"Ya, Ndar...."

"Pak Lek mana, aku mau minta maaf sama Pak Lek."

Mas Narno tersenyum. Menampakan deretan gigi putihnya. Tangannya menggusak rambutku.

"Pak Lekmu masih di luar tuh, dia nungguin terus. Katanya ndak mau pulang sampai kamu maafin dia."

Aku segera bangkit dari amben. Melangkahkan kakiku dengan cepat menuju Pak Lek.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang