ENEM

8.7K 367 23
                                    

Kedua kaki mungilku terus mengayun tanpa arah. Kerikil-kerikil kecil dan tanah yang basah oleh hujan semalam langsung menyapa telapak kakiku yang telanjang. Sendal jepitku putus, kubuang entah kemana.

"Pak Lek jahat...."

Gumamku perlahan sambil mengusap lelehan keringat dan air mata. Aku terus berlari. Tak tau hendak kemana. Yang pasti jauh dari rumah, jauh dari Pak Lek. Meskipun harus pergi keluar kampungpun aku berani. Emosi dan rasa benciku telah mengalahkan segala. Tapi tiba-tiba aku linglung. Langkahku perlahan melemah, dan ambruk ke tanah.

***

"Ah Ndar... kamu sudah siuman le...."

Pelan-pelan kubuka kedua mataku. Berat. Namun akhirnya aku bisa membukanya. Dan kurasakan kepala bagian belakang ku amat sangat nyeri. Aku celingukan melihat sekeliling dan kutemukan Mas Narno sedang duduk disampingku.

"A-Aku dimana mas?" Tanyaku dengan suara lemah.

"Kamu ada di sanggar, Ndar. Tadi ada anak lelaki yang mengantarmu kesini. Katanya dia nemuin kamu pingsan di jalan dekat kampung sebelah. Kamu mau kemana to, Ndar, kog sampe nyasar kesana?"

"A-anak lelaki?" Ucapku sembari mengangkat kedua alisku.

"Iya... dia masih nunggu di luar kok, mau mas panggilin?" Mas Narno segera bangkit dari duduknya dan bergegas keluar kamar.

"Mas...."

Mas Narno berhenti dan menoleh kepadaku.

"Jangan kasih tau Pak Lek ya, kalau aku di sini."

Mas Narno mengernyit.

"Memangnya kenapa?"

"Pokoknya jangan kasih tahu Pak Lek," ucapku sambil menunduk.

"Iya sudah.... Mas ndak bakal bilang kok sama Pak Lekmu." Jawab Mas Narno sambil lalu. Dia segera keluar kamar.

Sesaat terdengar suara Mas Narno memanggil seseorang. Mereka bercakap- cakap sebentar dan kemudian kudengar ia menyuruh seseorang tersebut untuk masuk kedalam kamar dan menemuiku....

Krieeett......

Pintu berderit perlahan dan terbuka. Aku melongok, mencoba melihat siapa yang muncul dari balik pintu. Dan kemudian, muncullah seorang anak lelaki berwajah tampan. Kutaksir umurnya delapan belas tahun. Setahun lebih muda dari Mas Narno. Kuperhatikan tubuhnya yang kokoh. Ia tampan. Benar-benar tampan. Kulitnya putih tanpa bercak sedikitpun. Dan tampak mulus dan bersih.

"Syukur kowe wes sadar, aku wedi nek koe gak sadar-sadar. Wedi koe nyapo-nyapo," si bocah berjalan mendekatiku yang masih terbaring diatas amben.

(syukurlah kamu sudah sadar. Aku takut kalo kamu gak sadar-sadar, takut kamu kenapa-napa).

"Heheh," aku tertawa kecil. "Suwun ya uwis nolong aku."

(terima kasih ya udah nolong aku)

"Podo-podo"

(sama-sama)

Sesaat kami berdua tertawa-tawa dan mengobrol. Aneh memang. Aku tak pernah mengenalnya sebelumnya. Tapi tiba-tiba saja kami berdua akrab dan cepat menyatu. Ia tak pernah berhenti membuatku tertawa oleh celotehan-celotehannya. Dan ia.... Tak pernah gagal membuatku terpesona oleh parasnya yang sempurna.... Ah.... Aneh.... Apakah aku menyukainya? Gila.... Jika iya.... Berarti aku sudah benar-benar gila.

"Sopo jenengmu?" Ia memecah tawa kami. Menatap lurus ke arahku sembari mengulurkan tangan.

(siapa namamu?)

"Wendar.... Kamu?" Jawabku membalas jabatannya.

"Prabowo.... Panggil saja Bowo."

"Jadi kenapa kamu bisa sampai nyasar ke kampung sebelah dan pingsan di tengah jalan begitu?"

Bowo masih menatap tajam ke arahku. Berusaha mengorek informasi detail tentang kejadian memalukan itu. Ya, buatku itu sangat memalukan. Aku nyasar di kampung yang tak pernah kudatangi sekalipun, dan malah pingsan di tengah jalan. Untung saja ia segera menemukanku dan membawaku ke sanggar.

"Ceritanya panjang," jawabku singkat. "Tapi omong-omong, dari mana kau dapat inisiatif untuk membawaku ke sanggar ini? Apa kau kenal Mas Narno?"

Bowo menggaruk-garuk kepalanya sebentar. Seakan akan memikirkan sesuatu. Kemudian ia berbalik menatapku kembali.

"Aku tak kenal Mas Narno atau siapapun di sanggar ini."

"Terus?"

"Aku sering lihat kamu lathian nari Jathilan di sini. Setiap aku pulang sekolah, aku selalu lewat sini dan aku lihat kamu. Aku memperhatikanmu."

Aku terdiam mendengar kata-katanya.

"Jadi kubawa saja kamu ke sini. Aku kan ndak mungkin bawa kamu ke rumahmu. Iso di gandring aku karo pak lan mbok ku, hehehehe.... Nanti dikira aku nyulik anake uwong (anak orang)."

(bisa dihajar habis-habisan aku sama ayah ibuku.)

Aku ikut tertawa melihat senyumnya. Aneh. Ia seakan menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Ketika ia tertawa, entah kenapa aku juga ikut tertawa. Dan ketika ia serius, entah kenapa aku juga ikut serius. Ah... ini gila....

"Jadi kenapa koe (kamu) sampai pingsan di tengah jalan begitu?" Tanya Bowo. Rupanya dia masih penasaran dengan kronologis kejadian menyebalkan itu.

Aku menghela napas sebentar.

"Sebenernya........aku..........."

KRIEEETTTTT......!!!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Mas Narno muncul dari balik pintu. Ia berjalan mendekati kami dan berpaling menghadap Bowo.

"Bowo.... Kamu dicariin Pak Joyo tuh, disuruh cepet pulang katane... sudah ditunggu di depan lho," kata Mas Narno pelan sambil menunjuk keluar.

"Oh.... Injih Mas. Nggih mpun, kula wangsul riyin, nggih?" Bowo lantas segera bangkit dan berpamitan kepadaku.

(oh, iya mas. Yaudah aku pulang duluan ya?)

"Ati-ati ya, Wo." Ucapku.

"Iya... cepet sembuh ya, Ndar...."

"Iya, suwun."

(iya, terima kasih)

Bowo kemudian beranjak keluar kamar dan segera menuju ke halaman depan. Setelah langkah kakinya tak terdengar lagi, aku segera berbalik ke Mas Narno.

"Mas Narno kenal sama Bowo?" Tanyaku penasaran. Kulihat Mas Narno menatapku aneh.

"Ya jelas kenal lah, Ndar. Dia kan kadang juga suka ikut latihan nari sama nembang di sini. Kamunya aja yang nggak pernah ngelihat dia."

Ah, rupanya Bowo bohong padaku soal melihatku setiap ia pulang sekolah.

"Ja-jadi Bowo itu...."

"Iya, Ndar. Dia juga seorang Gemblak.... Sama kayak kita.... Dia gemblaknya Warok Joyo yang mimpin kelompok reog di Ngaseman."

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang