PATBELAS

4.6K 205 14
                                    

Perlahan namun pasti, pertunjukan Tari Jathilan dimulai. Kami mulai membentuk formasi awal sebelum memulai tarian. Dan gamelan perlahan mulai mengalun. Dentuman gendang yang meneriakkan nada Pelog dam Salendro seakan menghentak tubuh-tubuh kami. Tangan-tangan kami mulai terayun. Kaki-kaki kami mulai menjejak kuat ke tanah. Dan kepala kami menggedik seirama gamelan yang kian kencang. Kami larut. Menjadi satu dengan irama. Kuda anyam dikepitan kaki kami terhempas pelan. Lunglai. Seakan turut menyempurnakan lenggok kelembutan gerakan kami.

Dan mataku diam-diam mulai menyebar ke seluruh penjuru ruangan pendopo. Para penonton yang terkesima oleh penampilan kami duduk pada barisan terdepan. Sementara pada baris kedua, kulihat Pak Lek Danu dan para warok lain bergerombol menyaksikan gemblak-gemblak mereka unjuk kebolehan. Dan tiba-tiba aku tertegun. Disana. Tepat di barisan terakhir. Diantara kerumunan orang-orang yang nyaris memenuhi pendopo, Bowo berdiri sambil menatapku tajam. Ia tersenyum tipis padaku sambil menganggukkan kepalanya. Ya Tuhan. Apakah aku sedang bermimpi? Tak mungkin Bowo ada disini. Aku tak percaya. Kukedipkan mataku, berusaha meyakinkan kalau aku sedang bermimpi. Namun ia masih berdiri disana. Ini nyata. Bowo benar-benar datang menontonku. Aku terperanjak kaget namun tetap memfokuskan diri dengan tarian. Ini benar-benar sulit dipercaya.


Ing salah sawijining dino,

Aku percoyo,

Yen pancene koe ono kanggo aku,

Mesti aku iso sesandingan karo koe.


Aku segera berlari begitu pentas selesai. Mengejar Bowo yang terus mengarahkanku ke halaman belakang pendopo. Aku terengah. Nyaris terjatuh. Dan aku berhenti tepat di hadapan Bowo yang berdiri kokoh dengan senyuman menawan. Aku hanya menatapnya tajam. Tak mempercayai semua ini.

"Ndar...." Bowo menyebut nama ku dengan lembut sembari mendekatkan diri padaku.

"Kamu.... Bagaimana kamu bisa dateng kesini, Wo??" Aku juga berjalan ke arahnya.

Kemudian segera memeluk tubuhnya. Halaman belakang pendopo ini sepi. Karena semua orang pasti sedang berkumpul di Pendopo. Menyaksikan pertunjukan reog yang sekarang sedang dipentaskan.

"Aku.... Bisa kesini karena bantuan Wawan Ndar..."

aku tertegun. "Wawan?"

"Tadi pagi, Wawan disuruh Pak Dhe buat nganter sarapan buatku. Dan diam-diam, Wawan ngasih kunci kamarku padaku. Jadi aku bisa kabur dan menemuimu sebelum kita terpisah, Ndar." Bowo setengah berteriak saking bahagianya.

"Jadi kamu benar-benar akan pindah ke Dolopo?"

Bowo menatapku lekat. Ada sesirat penyesalan dalam kelopak matanya.

"Aku ndak bisa berbuat apa-apa, Ndar.... Aku bakal dibunuh sama Pak Dhe kalau berani membangkangnya lagi."

Aku hanya terpekur. Mendengarkan ucapan Bowo.

"Tapi percayalah, Ndar... suatu saat nanti aku pasti kembali ke sini dan membebaskanmu."

Bowo kian mempererat pelukannya. Tangannya merengkuh jemariku dengan kokoh. Aku kian terdiam. Dadaku bergemuruh.

"Apapun caranya.... Aku pasti akan menepati janjiku."

"Iya, Wo.... Aku percaya sama kamu. Aku percaya...."

Aku terisak. Dan kian lebur dalam pelukannya.

Kami berdua terisak bahagia. Pelukan kami kian erat. Rengkuhan tubuh Bowo begitu kuat.

"Ndar..." Bowo berbisik pelan pada telingaku.

"Iya Wo..."

"Aku tresno karo koe."

(aku suka sama kamu.)

Aku terdiam sesat. "Aku.... Juga tresno karo koe, Wo...."

Aku dan Bowo lantas berlari pergi meninggalkan pendopo kabupaten. Aku ingin menghabiskan waktu yang kumiliki sebelum aku terpisahkan dengan Bowo. Kami terus berlari lewat pintu belakang, sehingga tak seorangpun menyadari kepergian kami berdua. Aman.

Kami berdua berhenti tepat di depan rumah Warok Joyo. Sesaat aku terdiam menatap Bowo. Kenapa dia mengajakku kesini? Apa yang dia rencanakan?. Tapi segera Bowo menepis keraguanku. Ditariknya tanganku kuat dan diseretnya aku masuk ke dalam pagar rumah.

"Kamu tenang saja, Ndar. Disini ndak ada siapa-siapa. Cuma kita berdua."

Bowo mulai mengeluarkan kunci dari saku celananya. Kemudian dengan sigap membuka pintu dengan kunci itu. Dengan sekali putaran, pintu terbuka dan Bowo menyeretku masuk kedalam.

"Ki-kita mau ngapain disini Wo?" Aku berhenti, sembari melepaskan genggaman tangan Bowo di tanganku.

"Aku mau buktikan perasaanku sama kamu, Ndar." Bowo menatap tajam ke arahku.

"Apa maksudmu, Wo?"

"Sudahlah, sekarang ayo ikut aku ke kamarku!"

Bowo langsung menarik tanganku. Aku hanya terdiam. Membiarkan Bowo menarik tubuhku dan membawaku ke dalam kamarnya.

Brug!

Aku ambruk pada dipan kayu yang hanya beralaskan tikar dari rotan anyam. Aku terdiam menatap Bowo yang berdiri tegak di hadapanku.

"Kamu mau ngapain, Wo?" Aku gemetaran.

"Tenang saja Ndar.... Aku akan melakukannya sebagai bukti aku menyayangimu."

Bowo lantas mendekat padaku. Sambil satu persatu melepaskan kancing kemejanya. Hingga sekarang ia telanjang dada. Hanya mengenakan celana pendek hitam. Sesaat kupandangi tubuh kokohnya. Tubuhnya nampak begitu terbentuk di usianya yang masih muda. Dadanya lumayan bidang dengan bulu-bulu halus yang membentuk garis di bawah pusarnya.

Bowo langsung menubrukku yang masih terkulai. Tubuhnya melekat erat pada tubuhku. Dan bibir kami saling melumat satu sama lain. Buas. Aku hanya pasrah. Terdiam oleh setiap gerak liar Bowo.

Dengan sigap dilucutinya semua pakaianku. Sehingga aku hanya terkapar tanpa sehelai benangpun. Ia semakin buas menghimpitku. Kurasakan tonjolan keras di selangkangannya yang perlahan menggesek-gesek pantat telanjangku. Kuraih gundukan yang masih terberungkus celana itu. Dan kuelus sebentar. Kudengar Bowo melenguh perlahan. Tubuhnya mengejang, merasakan getaran hebat dari sentuhanku pada daerah sensitifnya.

Bowo kemudian bangkit, melepaskan celana hitam dan celana dalamnya. Sedikit demi sedikit, nampaklah bagian bawah tubuhnya yang sempurna. Dan mencuatlah batang besar yang lumayan panjang di antara bulu-bulu hitam halus yang tak begitu lebat. Kepalanya merah dan nampak tegang.

"Lakukan saja, Wo... lakukan...."

Aku setengah berbisik pada Bowo.

Tanpa aba-aba lagi, Bowo segera membalikkan tubuhku. Sehingga kini aku berada di atas tubuhnya. Sementara dia terlentang di bawahku sambil menutup mata. Tanpa banyak menunggu, aku mulai merangkak di atas tubuhnya. Dan kemudian kuarahkan batang Bowo yang mengeras ke arah belahan pantatku.

Dan kami berdua pun menyatu. Tenggelam dalam hasrat yang tak perlu kami pelajari untuk dapat menyelaminya.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang