WOLU

7.5K 333 10
                                    

Aku ... Juga Sayang Pak Lek




Pisau takkan pernah tajam sebelum diasah. Begitupun diriku. Sebelum mendengar perkataan Mas Narno waktu itu, aku seperti manusia normal yang tak bisa melihat sekelilingnya. Padahal aku tidak buta. Namun aku tak pernah bisa melihat realitas yang harus kuhadapi. Aku tak pernah memahami bagaimana tugas dan peran seorang gemblak pada waroknya. Dan yang paling parah.... Aku tak pernah tahu bagaimana rasa sayang Pak Lek terhadapku. Entah sudah keberapa kalinya aku mencoba menghitung kebaikan Pak Lek padaku. Namun aku gagal. Kebaikan Pak Lek kepadaku tetap tak terhitung.

***

"Sampun, Pak Lek linggeh mawon teng kursi. Ben Wendar sing ndamel kopi. Mangke Wendar aturaken marang Pak Lek."

Aku bergegas merampas panci perebus air dari tangan Pak Lek saat Pak Lek hendak meletakkannya pada kompor.

(sudah. Pak lek duduk saja. Biar wendar saja yang buat kopi. Nanti wendar enterin ke pak lek)

Pak Lek hanya tersenyum dan menatapku heran. Baginya, aku mendadak aneh. Padahal sebelum-sebelumnya, aku hanya mau melakukan sesuatu jika diperintahnya. Namun sekarang, tiba-tiba saja aku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku memang sudah bertekad. Tekad bulat. Aku harus membalas semua kebaikan Pak Lek selama ini. Aku sudah memaafkannya. Dan sekarang giliranku untuk membuktikan kalau aku adalah gemblak terbaiknya. Aku juga harus membuktikan pada Pak Lek, kalau aku juga menyayanginya.

"Kamu ini kenapa to, Ndar, kok jadi aneh gitu." Pak Lek menjatuhkan dirinya ke kursi sambil tetap terheran menatapku.

"Mboten nopo-nopo, Pak Lek. Moso ngewangi Pak Lek iku gawean aneh?" Kilahku.

(gak kenapa-napa, pak lek. masa ngebantuin pak lek itu perbuatan aneh?)

"Ya ndak sih. Cuman ndak biasanya aja kamu kayak gitu, Ndar. Memange Mas Narno ngomong apa sama kamu kemarin sampe-sampe kamu mau maafin Pak Lek dan mendadak jadi baik begini."

Kuletakkan kopi dan gula pasir ke dalam gelas sebelum menuanginya dengan air putih yang sudah mendidih. Ku aduk sebentar dan segera kuangsurkan pada Pak Lek yang terduduk.

"Mas Narno ndak bilang apa-apa sama Wendar. Dia cuma ngasih tau wendar kalau Pak Lek itu sayang Wendar."

Pak Lek tersenyum. Wajahnya dinaungi kelegaan.

"Apa bener Narno ngomong begitu sama kamu?"

Aku mengangguk. "Iya, Pak Lek."

"Kamu ndak bohong?"

Aku menggeleng. "Ndak Pak Lek. Selama ini Pak Lek tuh udah berprasangka buruk sama Mas Narno. Mas Narno itu baik, Pak Lek."

Sekilas Pak Lek Danu menatapku. Matanya yang tajam menelusuk akal ku. Membuatku terpaku bisu.

"Iya.... Mas Narno orang yang baik. Pak Lek udah salah sangka sama dia selama ini."

Aku tersenyum. Ini satu langkah yang baik. Pak Lek sudah mulai bisa mengetahui kebaikan Mas Narno. Aku lega. Mas Narno memang orang baik, jangan sampai ada orang yang mengatakannya jahat.

"Omong-ngomong, kamu nanti latihan ke sanggar, ndak?"

"Latihan Pak Lek, memangnya kenapa?"

"Ndak kenapa-kenapa. Hari ini Pak Lek ndak latihan ke sanggar. Pak Lek mau ke Dolopo, ngambil pinjeman gamelan dari sana. Nanti Pak Lek anterin kamu saja ya, Ndar. Kamu berani kan latihan tanpa Pak Lek?"

"Injih Pak Lek."

(iya Pak Lek)

Aku mengangguk dan bergegas menuju kamarku untuk mengambil perlengkapan latihan tariku.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang