SEPULUH

6.8K 254 23
                                    

Sepurane....

(Maaf....)




Bowo mengendap-endap di depan kamarnya. Ia menjinjitkan kakinya di atas lantai kayu. Berharap langkah nya tidak menimbulkan suara. Pelan ia melewati kamar Pak Dhe Joyo. Ia mengintai pada pintu yang terbuka sedikit. Pak Dhenya masih tidur.

Dan Bowo terus melangkah tanpa suara. Ia menuju pintu keluar. Menengok ke kanan dan ke kiri. Memastikan bahwa tak seorangpun melihatnya. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu. Bowo tinggal menariknya saja, tapi tiba-tiba.

"Kamu mau kemana, Wo?"

Sebuah suara terdengar dari belakang. Bowo menoleh ke arah sumber suara. Di sana, tepat di belakangnya, seorang pemuda seusianya berdiri sembari berkacak pinggang.

"Kamu mau kabur ya?"

Segera Bowo meraih gagang pintu itu. Ia hendak berlari. Namun sial. Pemuda tadi berhasil memegang tangannya. Sehingga Bowo tak bisa lari.

"Lepaskan aku, Jar.... Lepaskan... biarkan aku pergi dari sini! Tolong lepaskan aku...." Bowo meronta, berusaha melepaskan diri dari Anjar, pemuda itu. Namun ternyata tenaga Anjar lebih kuat darinya, sehingga apa yang ia lakukan sia-sia. Ia tetap tak bisa melepaskan diri.

BRUKKKK!!!!!

Tubuh Bowo dihempaskan pada lantai kayu yang keras. Dagunya menghantam lantai. Bibirnya berdarah. Ia melongok ke atas. Tepat di hadapannya, Pak Dhe Joyo melihatnya dengan tatapan amarah. Ia berdiri dengan angkuh. Di sampingnya, ada tiga orang gemblak lain. Sementara Anjar, masih memegangi kedua tangannya. Menghalaunya agar ia tak kabur.

"Bowo.... Bowo.... Kamu itu bodoh apa gimana to? Orang Pak Dhe sudah memberimu segalanya lho. Pak Dhe sudah merawatmu, menyekolahkanmu, dan menghidupimu seperti anak-anak lain. Tapi kamu masih saja mencoba untuk kabur. Emangnya Pak Dhe ini kurang apa?" Warok Joyo menghisap cerutunya sembari menatap tajam kearah Bowo.

"Ada satu hal yang ndak Pak Dhe kasih sama Bowo." Bowo masih berusaha melepaskan diri. Namun nihil.

"Opo?"

"PAK DHE NDAK NGASIH KEBEBASAN SAMA BOWO! PAK DHE SUDAH MEREBUT KEBEBASANKU! PAK DHE..."

... PLAKKK!!!

Sebuah tamparan mendarat pada pipi kanan Bowo. Pak Dhe Joyo menamparnya. Bowo tertunduk. Tubuhnya terkapar ambruk.

"Kebebasan apa yang kamu bicarakan, Wo?"

Pak Dhe Joyo mendengus. "Sampai kapanpun kamu ndak bakal ngerti apa itu kebebasan...."

Pak Dhe tertawa. Sementara Bowo terus membenamkan wajahnya pada lantai kayu. Ia hancur. Benar-benar hancur. Wajahnya yang tampan kini lebam dan berlumur air mata. Bibirnya mengalirkan darah.

"Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo. Pak Dhe sudah merampas kebebasan Bowo sebagai lelaki..." ucap Bowo pelan.

"Hahahaha...." Pak Dhe Joyo kembali tertawa. "Siapa yang ngajari kamu ngomong pinter kayak gitu? Siapa!"

Bowo diam. Hanya terdengar isakan dari balik wajahnya.

"Aku pengen bebas Pak Dhe...." Tangis Bowo kian keras. "Aku pengen menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya.... Aku pengen Pak Dhe...."

"Menjalani kehidupan seperti anak lelaki lainnya katamu? Heh, sontoloyo! Kalo kamu ditakdirin jadi gemblak, ya sudah jalani saja. Ora usah neko-neko! (gak usah macem-macem!)"

Pak Dhe Joyo kemudian menyuruh Anjar untuk melepaskan Bowo. Hingga Bowo sekarang tersungkur pada lantai kayu yang kasar. Ia masih menangis. Sesenggukan.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang