PITULAS

4.5K 175 30
                                    

KANGEN




Lewat angin sore, titip kangening ati

Mung pangapurane, durung biso nemoni

Kangen, aku kangen sliramu

Rindu, aku pengen ketemu


Angin malam dingin menghempas menusuk-nusuk kulit. Dalam kelam, gemintang nyaris raib diterkam kegelapan. Lampu-lampu sentir bergoyang. Redup memberikan cahaya temaram. Aku tertelungkup di atas ambenku. Hatiku perih. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menggedor-gedor dinding perasaanku. Aku rindu pada Bowo. Ya aku sangat merindukannya. Seminggu sudah Bowo pergi meninggalkan aku sendiri. Ia sekarang ada di Dolopo. Terbentang jauh dari tempatku berada saat ini. Aku mendengus. Mungkin memang inilah hukuman bagi cinta terlarang. Air mataku meleleh. Membanjir.

Brekk....

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Dan muncullah sosok Pak Lek Dhanu. Perlahan Pak Lek melangkahkan kakinya mendekatiku yang masih tertelungkup di atas amben. Ia kemudian duduk di sampingku, tangannya membelai halus kepalaku.

"Kamu itu kenapa to, Ndar?? Pak Lek panggil dari tadi gak nyahut-nyahut. Kamu belum makan kan? Itu Pak Lek belikan rawon kesukaanmu."

Namun aku tetap diam. Tak bergeming. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapapun saat ini.

"Sudahlah Ndar.... Ndak baik kamu seperti ini terus. Ndak seharusnya kamu terus mengharapkan Bowo. Kalian ini ndak ditakdirkan untuk bersama. Lupakanlah saja dia."

Aku lantas menancapkan tatapan pada Pak Lek, aku terkesiap mendengarkan ucapan terakhirnya.

"Kenapa, Pak Lek? Kenapa aku ndak boleh mengharapkan Bowo? Apa karena aku seorang gemblak? Apa karena aku ndak punya hak untuk jatuh cinta dan dicintai?" Aku setengah murka. Air mataku mulai membanjir.

"Bukannya begitu Ndar ... hanya saja...." Pak Lek menerawang. Tampak memikirkan sesutu.

"Hanya saja apa?"

"Pak Lek ndak bakal rela membagi atau memberikanmu pada siapapun Ndar.... Meskipun kamu cuma gemblak Pak Lek, tapi Pak Lek ndak bakal mau menukarmu dengan apapun. Termasuk sama Bowo. Pak Lek menyayangimu, Ndar...."

"Tapi kalau Pak Lek menyayangiku, maka Pak Lek gak bakal membiarkan aku tersiksa begini. Aku tersiksa tanpa Bowo, Pak Lek, aku tersiksa tanpa dia!" Aku terisak. Tubuhku tergoncang. Dan ambruk pada tubuh Pak Lek.

"Maafkan Pak Lek Ndar... maafkan Pak Lek...."



***


Sekali lagi Bowo membalikkan tubuhnya di balik amben kayu dengan gelisah. Nafasnya memburu. Kepalanya tiba-tiba pening. Ia mulai menyadari sesuatu. Ia begitu merindukan Wendar. Entah kenapa tiba-tiba saja bayangan Wendar yang mencumbunya begitu memenuhi setiap senti memori otaknya. Ia tak bisa apa-apa. Ia tanpa daya.

"Aku kangen sama kamu, Ndar..." bisiknya pelan.


***



SEPULUH TAHUN KEMUDIAN

Ponorogo di awal tahun 80-an kering dan meranggas. Dedaunan jati dan mahoni perlahan tumbang dari ranting dan menghempas tanah berdebu yang kering tanpa tersiram hujan. Sudah hampir dua bulan hujan tak juga turun. Sepertinya sang surya memang tengah mempertontonkan keangkuhan dan kegagahannya pada dunia.

Beberapa anak lelaki tampak bermain gundu di hamparan tanah kering yang berada di halaman rumahku. Mereka nampak asyik menembak-nembakkan kelerengnya pada kelereng anak yang lain. Beberapa saat kemudian mereka tertawa- tawa. Lantas melanjutkan kembali permainan diiringi dialog tak penting khas bocah-bocah lelaki umur enam belasan. Aku hanya tersenyum memandangi mereka. Sembari menyeruput kopi kotol yang mengepul di sampingku. Kusahut pula pisang goreng yang masih terasa panas dan kunikmati siang terik ini. Rasanya amat sangat nikmat. Menikmati kesyahduan dan ketenangan kampung yang ditiupi angin semilir yang menghempas lembut. Meskipun panas tak kenal ampun, namun terap terasa kesejukan dan ketenangan.

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang