SANGA

6.8K 296 15
                                    

Anguri-uri Kabebasan

(Mengelu-elukan Kebebasan)




Kembali kupejamkan mata untuk kesekian kalinya. Namun sial. Aku tetap gagal. Mata ini kian sulit untuk terpejam. Entah kenapa kepalaku dipenuhi kata-kata Bowo tadi siang.

"Ndak ada seoranggpun lelaki Ponorogo yang mau dijadikan gemblak, Ndar!"

Perkataan itu seolah menggedor-gedor pintu pemikiranku. Memelintir sel-sel otakku hingga kepalaku pusing. Pening. Aku menggelepar. Nafasku berat. Aku bangkit dari amben. Kutengok Pak Lek, dia sudah tidur.

"Apa perkataan Bowo itu benar?" Tanyaku dalam hati.

Ah! Sial. Kenapa aku jadi memikirkan dia? Dan kenapa pula aku harus pusing hanya karena perkataannya yang belum tentu benar. Kurasa aku memang sudah gila.


***


"Aku....... Aku........ Aku seneng karo koe, Ndar...."

(a....a...aku suka sama kamu, ndar....)

Ucapan itu terucap pelan dari bibir tipis Bowo. Dia menghadap sebuah bantal guling. Seolah sedang berbicara padanya. Ia tersenyum sebentar. Kemudian dilemparnya guling itu hingga jatuh dari amben.

"Kamu jangan ngayal buat mendapatkan Wendar, Wo.... Kamu itu laki-laki. Wendar juga laki- laki, apa pantas jika kalian berdua saling mencintai?" Ucap Bowo pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Membuyarkan Bowo dari lamunan indah. Segera ia bangkit berdiri untuk membuka pintu.

Klek!

Pintu terbuka. Dan nampaklah seorang pria yang berusia sekitar empat puluh dua dengan balutan kaos hitam dan kolor.

"Pak Dhe.... Ada apa?" Ucap Bowo kepada lelaki itu.

"Kamu yang ada apa. Kenapa ndak ikut turun sama yang lainnya? Kamu ndak mau ikut makan?" Lelaki itu mendekati Bowo dan mendekatkan wajahnya pada wajah Bowo. Ia ingin mencium pipi Bowo. Namun Bowo segera menghindar.

"Jangan lakukan itu disini Pak Dhe. Malu kalau dilihat sama yang lain..." ujar Bowo rikuh.

"Lho... kenapa? Kamu dan yang lain kan sama-sama gemblak Pak Dhe.... Kenapa mesti malu?"

Lelaki yang dipanggil 'Pak dhe' itu melingkarkan tangannya pada pinggul Bowo. Sekali lagi Bowo menepisnya.

"Ya udah Pak Lek duluan, nanti aku nyusul ke bawah."

Si lelaki empat puluh dua tahun itu menatap heran pada Bowo. Menyusurkan pandangannya dari atas sampai bawah.

"Kamu ini kenapa to, Wo, kok jadi aneh begini?"

"Ah.. Ndak kenapa-kenapa Pak Dhe...." Bowo mencoba tersenyum di hadapan waroknya itu.

Si lelaki menghela nafas kencang.

"Yang bener?"

"Injih (iya)." Bowo mengangguk.

"Ya wes. Tak tunggu neng ngisor karo cah-cah yo?"

(yaudah, aku tunggu dibawah sama anak- anak ya?)



***


"Arghhh.....!"

Wendar melenguh perlahan saat Pak Lek Danu menjejam-jejam tubuh bagian belakangnya. Pak Lek terus menghentak Wendar. Kian keras, keras, dan keras. Hingga akhirnya Pak Lek mengejang..... Dan ambruk di atas tubuh Wendar.

Namun tiba-tiba seseorang mendobrak pintu kamarnya. Bowo. Dia langsung menghajar Pak Lek begitu melihat mereka bersetubuh. Tanpa ampun Bowo meninju muka Pak Lek. Dan Wendar hanya bisa berteriak menyaksikan kejadian itu.

"JANGANNNNNN... HENTIKANNNNN!!!!".

Wendar tiba-tiba membuka matanya dengan histeris. Nafasnya tersengal-sengal. Keringatnya membanjiri tubuh.

Ia menoleh kekanannya. Pak Lek masih tertidur pulas. Ah, rupanya ia hanya bermimpi Bowo menghajar Pak Lek.

"Bowo......... Pak Lek......" Bisik Wendar sembari mencengkeram seprai yang terbuat dari jarit berbatik suronatan.


Aku berjalan pada lantai kayu yang berderit- derit. Kususuri tiap jengkal jalan menuju kamarku. Dan kini aku berdiri tepat di depan pintu kamarku. Kubuka pintu kamar yang terbuat dari triplek bercat cokelat tua. Pintu terbuka dan kulangkahkan kakiku masuk kedalam ruangan berukuran sedang itu.

Kakiku menjejak. Tanganku menyusur. Kutatapi amben yang telah lama tidak kutiduri ini. Seprai dan bantal-bantalnya masih tertata rapi. Aku tersadar. Memang akhir-akhir ini aku lebih sering tidur bersama Pak Lek di kamarnya. Aku sudah menjadi teman tidur Pak Lek. Menjadi bantal dan guling baginya.

Tanganku terus menyusur. Dan berhenti pada sebuah foto kecil hitam-putih yang dibingkai anyaman rotan. Aku tersenyum kecut. Fotoku berseragam merah-putih. Foto dimana untuk pertama kalinya aku disekolahkan Pak Lek . Kala itu umurku enam tahun. Aku baru masuk kelas satu SD.

Di samping foto itu, terdapat foto berukuran sama yang juga terbingkai anyaman rotan. Foto seorang wanita tersenyum dalam balutan kebaya kuno. Wanita itu berdiri di samping Pak Lek Danu. Wanita itu, ibuku.

"Ibumu itu wanita yang cantik, Ndar.... Dia juga baik."

Aku teringat kata-kata Pak Lek bertahun- tahun lalu. Ketika aku mulai menanyakan di mana ibuku.

"Tapi sayang. Dia kurang beruntung. Dia ndak punya pilihan lain selain bekerja menjadi seorang pelacur. Dia bahkan ndak tahu siapa lelaki yang sebenarnya ia cintai, Ndar."

Aku yang saat itu masih kecil hanya menatap polos pada Pak Lek. Berharap ia menceritakan padaku lebih banyak lagi.

"Sampai akhirnya ibumu jatuh cinta sama seorang laki-laki dan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan."

"Lalu?"

"Dan ibumu hamil kamu, Ndar." Pak Lek berhenti sejenak. Menerawang-nerawang.

"Tapi...." Pak Lek meneruskan. "Tapi ketika kehamilan ibumu berusia sepuluh bulan. Ayahmu pergi meninggalkan ibumu hanya karena dia dijodohkan dengan wanita lain."

"..." aku terdiam. Beku.

"Dan sampai akhirnya kau lahir. Ibumu tak tahu harus bagaimana sebab semua sanak saudaranya mengutuk kelahiranmu, Ndar. Tak ada seorangpun dari mereka yang mau merawatmu. Karena kamu anak hasil kumpul kebo."

"Sampe akhirnya ibumu bertemu dengan Pak Lek dan menitipkanmu. Aku ndak tega sama ibumu karena dia terus maksa Pak Lek buat membesarkanmu. Dan akhirnya Pak Lek mau merawatmu."

"Jadi di mana ibuku sekarang, Pak Lek?"

Pak Lek menghela napas.

"Entahlah. Pak Lek ndak pernah bertemu lagi dengan ibumu, Ndar."

LANANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang