“There are two kinds of perfect: The one you can never achieve, and the other, by just being yourself.” —Lauren King.
_____
Musim gugur bulan Oktober,
Beberapa tahun kemudian."Push-up sepuluh kali."
Jimin duduk di atas punggung seorang atlet besi sembari memainkan jemarinya dengan santai. Tangan kirinya terangkat sementara netranya memandang jam tangan yang melingkar apik di pergelangan tangannya.
"Satu," Jimin mulai menghitung saat atlet angkat besi lelaki yang punggungnya ia duduki mulai melakukan push-up.
"Dua."
"Tiga."
"Empat."
"Lima."
Jimin membulatkan mulutnya saat menyadari bahwa tangan atletnya sudah bergetar menahan beban Jimin diatas tubuhnya saat melakukan push-up.
Kim Jimin, baru saja berusia 29 tahun beberapa hari yang lalu. Jimin masih sama. Dengan surai hitam, kalung berliontin putih yang mengalung manis di leher dan postur badannya tetap tidak berubah sejak ia berhenti menjadi atlet bertahun-tahun lalu saat ia masih berada di semester akhir perkuliahan. Walaupun sedikit berisi, tapi Jimin masih terbilang ideal.
"Atur napas, lalu lanjutkan."
"Coach! Hansung cedera," Seorang atlet lelaki lain berlari ke arah Jimin dengan peluh yang membasahi leher dan tubuhnya.
"Hansung lagi?" Jimin menghela napas, berdiri dari duduknya dan menepuk bahu atletnya, "Teruskan sampai sepuluh."
Setelah lulus kuliah, Jimin mengambil berbagai pelatihan khusus pelatih lifter dan mendapat banyak lisensi pelatih baik kabupaten, nasional maupun internasional. Jimin pun mendapat medali penghargaan karena berhasil membimbing atletnya menuju kejuaraan nasional hingga internasional.
Salah satu atlet didikan Jimin yang berhasil menuju kejuaraan internasional adalah Kim Hansung.
Jimin masuk kedalam organisasi olahraga angkat besi nasional di bawah pemerintah Korea Selatan dan menjadi pelatih nasional setelahnya. Hansung pun juga menjadi anak emas Jimin selama bertahun-tahun hingga kini.
Jimin menghampiri Hansung yang terduduk di samping alat berat barbel milik pemerintah, mulutnya mengerucut sebal dengan memijit-mijit kakinya.
"Lagi, Kim?"
Hansung mendecak sebal saat mendengar pertanyaan dari pelatihnya—Jimin. Sementara itu, Jimin tersenyum tipis. Pemuda ini selalu mengingatkannya dengan mendiang Taehyung.
Jika atlet-atlet lain memanggilnya dengan sebutan coach, Hansung ini sejak awal malah tidak pernah memanggilnya begitu. Katanya, ia lebih nyaman memanggil Jimin dengan sebutan 'kakak' ketimbang 'coach'.
"Makanya, pemanasan dengan benar. Anak nakal."
Jimin meluruskan kaki Hansung, memijit pelan kakinya agar sakit cedera lututnya lumayan berkurang. Hansung meringis, "Aku saja tidak pernah melihat kakak mengangkat barbel, bagaimana bisa aku percaya saran kakak?"
"Buktinya kau bisa sampai ke kejuaraan dunia karena dilatih olehku," Pamer Jimin.
Hansung yang tiba-tiba bungkam membuat Jimin terkekeh. Hansung kembali mengerucutkan bibir, mendadak manja jika sedang bersama pelatih kesayangannya yang satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect: Sequel of Bring Me To Life ✔
FanficSebuah kisah antar dua insan yang melalui kenangan demi kenangan, musim demi musim, hari demi hari untuk mencari tujuan kemana harus pergi dan berteduh. Sangat disarankan baca book sebelumnya; Bring Me To Life terlebih dahulu.