미안해

736 110 13
                                    

ADA YANG NUNGGUIN AKU UP DILAPAK INI?



.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jimin

Aku tidak salah.

Sama sekali.

Yang salah adalah, takdir.

Dimana aku siap menjadi seorang ayah dari anak yang dikandung oleh wanita yang kucintai. dulu . sebelum takdir membuatku kehilangan sosok yang kunantikan.

Kakiku melangkah gontai, menyusuri paving basah yang tersiram air hujan. Entahlah siapa yang mendorongku melangkah menuju krematorium.

Dadaku sesak, melewati lorong pertama sebelum akhirnya bertemu dengan lemari kaca penyimpan abu jasad.

Tertulis disana, Park Jiyeon.

Aku terkekeh sinis, mungkin Jiyeon sangat membenci ayahnya sekarang. Perlahan kuketuk pelan kaca yang menunjukkan sebuah guci kecil dengan hiasan sticker boneka beruang disana, lucu sekali. Kalau saja Jiyeon masih hidup, mungkin dia akan memintaku membelikan boneka beruang, seleranya sama seperti Seulgi. Selalu saja, boneka beruang.

Tiba tiba, airmataku mengalir, membayangkan betapa sakitnya Seulgi saat kehilangan Jiyeon. Sial.

"T-tidak, tidak Seulgi..ini salahku! ini salahku!." kepalaku sakit sekali, aku hanya ingin semua ini berakhir. Tolong, aku butuh Seulgi.

"Tuan? anda baik baik saja? anda terlihat puca---"

bruk.

×+×+×+×+×

Apalagi sekarang? Seulgi tidak bisa kabur ataupun mencela. Yang ia herankan, kenapa petugas krematorium menelfonnya dan mengatakan jika SUAMINYA jatuh pingsan?

Pertama, dia bukan suami Seulgi. Kedua, harusnya Hyewon yang ditelfon. Ketiga, kenapa harus bertemu dengan pria brengsek ini lagi?!.

Tidak mungkin Seulgi membawanya kerumah, tidak mungkin. Akhirnya, Seulgi membawa Jimin ke apartemen yang dulunya sempat menjadi tempat tinggal Jimin. Untungnya, Seulgi tahu keylock apart tsb.

"Tidurlah, aku sudah membuatkan makanan dimeja. Kalau kau sadar nanti, lupakan semuanya, anggap saja kau terbang sendiri kesini." cerocos Seulgi sembari memainkan jari telunjuknya, seolah menyihir Jimin agar pria itu melupakan kejadian tadi.

Saat Seulgi berbalik badan hendak keluar dari apart, tiba tiba ia mendengar suara kekehan.

"Sejak kapan, istriku bisa menyihir?."

Bangsat. Dia mendengarnya.

Seulgi mendengus, berusaha tidak menoleh dan berniat segera keluar. Baru saja ia melangkahkan kakinya, Jimin dengan sigap beranjak dari kasur kemudian menarik tangan Seulgi.

"Mau kemana? kau tidakmau menemaniku makan?."

Manja sekali.

Before A SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang