Chap 2

609 70 8
                                    

Plan 17,5 tahun

Suasana sekolah masih sepi, yang terdengar hanya langkah Plan di lorong kelas. Hari ini hari pertama Plan akan menempati kelas barunya di kelas 3. Seperti tahun sebelumnya, langkahnya terhenti di depan mading sekolah. Sekali lagi ia melihat daftar nama siswa di dinding tersebut.

Jantungnya berdegup kencang. Ia melihat daftar nama kelas 3 IPA 1. Namanya berada di daftar tersebut. No. 22, Plan Rathavit. Perlahan lahan jarinya melihat daftar nama dibawahnya. Lily... Leonel.... Lily... Margaret... Michael... Moira... Natalie... Mean... jarinya berhenti. No. 29 Mean Phiravich. Plan sampai harus melihatnya 2 kali utk memastikan. Ia menutup matanya kemudian membukanya lagi. Nama tersebut masih ada. Seulas senyum lebar menghiasi bibirnya. Akhirnya ia bisa sekelas jg dgn Mean. Plan meloncat kegirangan.

Plan berlari keruang kelas barunya. Ia melihat seisi kelas yg masih kosong. Selama 1 tahun berikutnya ia akan menghabiskan sisa masa SMA nya di ruang yg sama dgn Mean.

***

Dua hari kemudian, Plan memandang Mean yg sedang memberikan tanda tangan utk para siswa kelas 1. Sebagai Ketua Osis, Mean memang sangat sibuk saat masa orientasi sekolah. Tapi tdk seperti rekan² nya yg mengerjai adik kelasnya dan memberikan tanda tangannya tanpa meminta mereka melakukan apapun. Hal itu membuat Plan semakin menyukainya.

Tiba-tiba Mean bertemu pandang dgn Plan, Jantung Plan seakan berhenti berdetak, wajahnya merah padam, lalu ia memalingkan wajah dan kembali ke kelas. Dengan lemas, ia duduk dibangkunya. ''Aku memang payah'', keluhnya dalam hati.

Di sinilah ia, satu tahun setengah setelah dua perkataan ''maaf'' dan ''thanks'' yg dilontarkannya pd Mean. Ia masih belum punya keberanian utk berbicara dgn nya. Pandangannya jatuh pd tempat duduk Mean, dua bangku di depannya.

Enam langkah, hanya enam langkah jaraknya kini dgn Mean. Tetapi Plan masih belum bicara dgn nya. Pandangannya jatuh pd tempat duduk Mean, dua bangku di depannya.

Dan pd akhirnya ia menyimpulkan ia memang tdk punya keberanian utk berbicara dgn orang yg ia sukai, saat masa orientasi sekolah usai, dan hari telah berganti minggu, Plan tetap tdk punya kesempatan utk berbicara dgn Mean. Mean selalu di kerumuni teman-temannya, terutama pacarnya, Neena dr kelas 3 IPA 2.

***

Pada minggu ke empatnya di kelas, ketika memandangi rerumputan dr kaca jendela bus, Plan mendesah. Ia benar2 berharap diberi kesempatan utk berbicara dgn Mean, sekali saja.

Tiba² bus yg dinaikinya berhenti, Plan membuka jendela bus & melihat kedepan jalan. Sepertinya tak jauh dr sana baru terjadi tabrakan antara truk & mobil barang. Hal itu menyebabkan jalan dr dua arah tdk bisa dilalui. Plan melirik jam ditangannya. Butuh waktu lama utk tim derek mobil tiba dilokasi & membuat jalan lancar kembali.

Plan menelepon wali kelasnya & memberitahu kemungkinan besar ia tdk bisa mengikuti setengah pelajaran pagi sampai istirahat. Padahal jam pertama ada ulangan fisika. Pak Peach, sang wali kelas sekaligus guru fisika, memahaminya. Dia meminta Plan tdk usah khawatir & bisa mengikuti ulangan susulan sepulang sekolah.

Waktu menunjukkan pukul 10 ketika akhirnya Plan sampai disekolah. Setelah membuat laporan pd guru piket, Plan melangkah ke kelasnya. Terus terang, menunggu 3 jam didalam bus tanpa bergerak sama sekali benar² membuatnya bosan. Belum lagi, ia harus mengikuti ulangan susulan seusai sekolah. Dan dr perkataan teman sekelas yg didengarnya, soal fisika td pagi sangat sulit. ''Apalagi usai sekolah nanti'', keluhnya, ''pasti lebih sulit lagi''.

Saat itu Plan menyadari, masuk IPA dgn alasan supaya sekelas dgn orang yg disukainya adalah alasan yg salah. Ketika Pak Peach memberikan soal ulangan seusai sekolah, Plan menerimanya dgn berat hati. Ia melihat selembar kertas bolak balik berisi 10 soal yg pasti sebentar lagi bisa membuat kepalanya pusing. Padahal ulangan kali itu open book.

1000 Musim Mengejar Bintang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang