Chap 6

505 68 3
                                    

Sepeninggal Plan, Mean duduk di bangkunya tanpa bergerak. Dia tahu tidak seharusnya dia sesedih ini. Selama ini ia selalu menganggap Plan sebagai temannya. Tetapi mengapa kepergian Plan sesaat yg lalu membuat hatinya sakit? Kemudian,  ia kembali teringat pada wajah Neena yg kesakitan semalam. Dan ia tahu ia juga menyayangi Neena. Ia khawatir saat Neena mengernyit nyeri dan memegangi tangannya selama diobati dirumah sakit. Tapi mengapa kesedihan dihatinya waktu itu tidak sesedih sekarang?. (Tanya Hatimu Mean😭)

***

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Mean, dengan kesedihan yang mendalam Plan menemui wali kelasnya.

"Ini ijazahmu, Plan." Pak Peach memandang anak didiknya dengan tersenyum.

"Terima kasih, pak," kata Plan sambil menerima ijazahnya dari tangan pak Peach. "Terima kasih sekali lagi atas semua bimbingan bapak."

"Ibumu bilang kau akan pindah ke luar kota besok," kata pak Peach lagi.

Plan mengangguk. "Iya. Mae saya dipindah tugaskan ke kota lain."

Pak Peach berkata lagi, "Semoga kau berhasil di masa depanmu nanti."

Plan mengucapkan terima kasih lagi pada pak Peach lalu keluar dari ruang guru. Sebelum meninggalkan sekolah, Plan berbalik memandang sekolahnya sekali lagi. ("selamat tinggal sekolahku"), katanya dalam hati.

Tak berapa lama kemudian, Plan berada dalam bus kota yang akan mengantarkannya ke terminal. Ia menyadari ini terakhir kalinya ia akan menaiki bus di kota ini. Pandangannya beralih ke gedung - gedung tinggi di seberangnya.

Tiba - tiba matanya berhenti pada spanduk besar di sebuah gedung. Pameran perhiasan Julian Bardeux. Tatapannya lalu beralih pada amplop cokelat di tangannya. Karena pertemuannya dengan Mean di kelas tadi pagi, Plan lupa ia masih membawa gambar rancangan Mean.

"Pak! Berhenti!" teriaknya pada supir bus.

Plan bergegas turun dari bus dan berlari menyeberangi jembatan penyeberangan menuju ke hotel berbintang lima tempat pameran perhiasan Julian Bardeux diadakan. Plan terengah-engah memasuki lobi hotel. Ia bertanya pada resepsionis dimanakah pameran tersebut diadakan, lalu bergegas kesana.

Dalam lift yg membawanya, Plan menggenggam erat gambar Mean. ("setidaknya ini hal terakhir yg bisa kulakukan untuk Mean,) pikirnya.

Pintu lift membuka, Plan melangkah keluar dan menemui petugas pameran.

"Saya ingin menemui Mr. Julien Bardeux," katanya tanpa ragu sedikitpun.

Salah seorang petugas penjaga pameran tersenyum lalu bertanya, "Apakah kau membawa undangan masuk pameran?"

Plan menggeleng. "Saya tidak punya undangan."

Si petugas tersenyum menyesal. "Maaf. Kau tidak boleh masuk tanpa undangan."

"Apakah saya tidak bisa menemui Mr. Julien Bardeux sebentar saja?" tanya Plan tanpa patah semangat.

Si petugas menggeleng. "Maaf. Jadwal beliau padat sekali. Apalagi ini hari terakhir pameran. Apakah kau punya janji temu sebelumnya?"

Plan menggeleng.

"Maaf kalau begitu," kata si petugas.

"Tapi Mr. Bardeux ada didalam sana kan?" tanya Plan penasaran. "Dia akan keluar melalui pintu ini nanti?"

Si petugas menatap Plan dengan penasaran. "Ya. Tapi beliau masih lama berada di dalam sana." "Tidak apa-apa," kata Plan tersenyum ramah. "Saya akan menunggu disini."

Si penjaga menggeleng atas tekad Plan dan mulai melayani tamu lain yang menunjukan undangan masuk.

Plan berdiri menunggu di samping pintu depan dengan sabar.

1000 Musim Mengejar Bintang (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang