12. Bimbang

75 12 41
                                    

Lia mendorong tumpukan kertas yang ada di depannya kearah Renjun. Kepalanya terasa pening jika memikirkan ini. “Apa kau tidak salah?
Aku hanya takut kalau ini adalah praduga.”

Renjun mengetuk meja dengan jemarinya, kinerja otaknya untuk berpikir terasa lebih lamban dari biasanya.

“Aku juga tidak tahu Li, setidaknya kita bisa mencegahnya terlebih dahulu kan?”

Lia mengusap wajahnya, rasa kantuk sudah menyerang namun, kasus ini lebih penting.

“Tidak usah di paksakan, kau bisa tidur di kamarku.” Winata datang dari dapur sambil membawa dua gelas kopi panas.

Lia menggeleng pelan, ia merasa tidak enak pada dua orang yang ada di depannya. Dari dulu, Lia berperan sebagai orang yang lemah. Sesekali ia harus turun tangan kan? 

Winata duduk di sebelah Renjun, sebelah tangannya merogoh saku jaketnya, “Ini yang aku dapatkan hari ini, alamat dan beberapa informasi pribadi yang mungkin akan kita perlukan.”

Dengan cepat Lia mengambil kertas itu, netranya bergerak dari kanan ke kiri, membaca data itu dengan teliti.

“Oh, no.” Lia melempar kertas itu ke sembarang arah, kedua tangan memeluk lututnya. Ini tidak mungkin, tidak mungkin..

“Ada apa Li?” Renjun tampak cemas, memangnya ada apa dengan kertas itu?

Sebelah tangan Renjun meraih kertas yang sudah berceceran di lantai, matanya fokus pada selembar foto yang nampaknya familiar.

“Ini bohong kan?” Tangan Renjun gemetar ketika memegang selembar foto itu.

Winata meneguk kopinya, “Tenang dulu, mungkin hanya mirip. Kita hanya perlu mencari tahu lebih dalam lagi tentang ini.”

“BAGAIMANA AKU BISA TENANG KAK?!” Napas Renjun terengah, dadanya naik turun,  “Kau pikir aku akan diam saja?”

Lia menyandarkan kepalanya di bahu Renjun, “Tenang, Jun. Kita akan cari tahu bersama.”

Renjun bangkit dari sofa, “Kalian bisa cari tahu lebih dalam. Aku mau keluar.” Tangan Renjun menyambar kunci dan jaketnya, setelah itu terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras.

“Jangan marahi dia kak, mungkin dia masih terkejut.” Lia memegang tangan Winata yang hendak bangkit untuk menyusul Renjun.

Lia menatap langit-langit rumah Renjun, rasanya semakin rumit. Jemarinya mencari kontak Jeno, mengirimkan  pesan singkat.

Hari ini aku sedang tidak ada di rumah. Aku menginap di rumah saudara.

Beberapa detik kemudian terdengar pesan masuk dari Jeno.

Jeno
Dimana? Sudah bawa pakaian ganti? Jangan lupa besok kita ada kelas pagi.

Sudah Jen, besok tidak usah menjemputku. Aku berangkat sendiri saja.

Oke, sampai jumpa besok.

Lia bisa bernapas lega sekarang, ia putuskan untuk menginap di rumah Renjun hari ini. Seandainya ia tidak menginap, mungkin Winata akan keluar rumah untuk mencari Renjun yang pergi entah kemana.

“Aku akan menginap.” Lia berucap santai, satu kakinya dilipat. Duduk layaknya seorang bos.

“Kau yakin akan menginap? Kalau aku berbuat sesuatu yang buruk kepadamu bagaimana?”

Lia tahu, ini hanya akal-akalan Winata untuk menggagalkan rencana Lia.

“Untuk apa aku takut? Aku tahu kau tidak akan berbuat macam-macam.”

Lia menumpuk kertas yang berceceran itu sesuai dengan urutan.
“Jangan biarkan emosi mengendalikanmu, selesaikan dulu teka-teki ini baru kau bisa bertengkar dengan Renjun.”

Winata mengembuskan napasnya, dengan terpaksa mengikuti kemauan Lia.

Lia dan Winata berani bersumpah, kepala mereka rasanya sakit ketika membaca tiap lembar kertas yang mereka kumpulkan.

Selain informasi yang Winata dapatkan, milik Renjun juga tidak kalah mengejutkan.

“Bisa-bisanya Renjun kabur disaat seperti ini. Otakku tidak sejenius dia huh!” Lia menggerutu sambil menulis.

“Sudah, kerjakan saja. Kau kira aku tidak pusing?” Winata menutup matanya sejenak,  memijat dahinya perlahan.

Lia menutup matanya, kapan permainan ini akan selesai? Lia tidak mau kehilangan siapapun, terutama Renjun.

“Maaf tapi aku yang duluan ada disini, jadi kau silakan pergi.” Renjun berucap tenang, baru saja ia ingin menelpon Mayrine agar membuka pintu pagar, motor Nana sudah ada di sebelahnya.

Ngomong-ngomong yang menjadi kekasih Mayrine itu Renjun, bukannya Nana. Mengapa mereka seakan berkompetisi untuk mendapatkan hati Mayrine? Padahal kan sudah jelas-jelas hati Mayrine hanya untuk Renjun. 

Sesaat kemudian,  Renjun setengah berteriak, “Lempar saja kuncinya dari dalam. Biar aku yang buka pagarnya.”

Mayrine mengangguk, setelah melempar kunci pagar keluar,  badan Mayrine berbalik berjalan menuju kamar. Setidaknya ia tidak boleh terlihat pucat.

“Maaf ya Na, tidak boleh ada yang menggangguku berduaan dengan Mayrine, termasuk kau.”

Tangan Renjun membuka kunci pagar  lalu memasukkan motornya ke halaman rumah Mayrine.

“Sialan, lihat saja nanti. Aku akan menggeser posisimu.” Nana berdecak kesal.

“Terserah, aku tidak peduli.” Renjun kembali mengunci pagar rumah Mayrine.

“May, dimana?” Renjun duduk di ruang tengah Mayrine, sebenarnya pikirannya masih kacau karena foto tadi.

“Sabar, masih mengganti baju.”

Sepersekian detik kemudian Mayrine keluar dari kamarnya. “Jadi apa yang membawamu kesini?”

Mayrine duduk di sofa, menatap Renjun lekat.

“Tidak apa-apa. Memangnya tidak boleh?”

Mayrine menggeleng, “Boleh saja. Aneh saja rasanya.”

Renjun merebahkan badannya di sofa Mayrine, rasanya sudah lama ia tidak bermalas-malasan disini.

“Mau dibuatkan apa?”

Renjun menggeleng, “Tidak usah. Duduklah di dekatku.”

Mayrine mendekat kearah Renjun, “Ada apa?”

Renjun menggeleng, bangkit dari posisinya. Kedua tangan Renjun melingkar sempurna di pinggang Mayrine, kepalanya di tenggelamkan di ceruk leher gadisnya.

“Hey, ada apa?” Mayrine mengelus rambut hitam Renjun.

Renjun menggeleng, “Tidak ada apa-apa. Rasanya sudah lama tidak memelukmu seperti ini.”

Mayrine tersenyum kecil, tangannya mengusap bahu Renjun perlahan. Ia merasa Renjun sedang butuh dukungan.

“Kau seperti anak kecil saja Jun.”

Tangan Renjun bergetar, Mayrine bisa merasakan bajunya basah.

“Ada apa?” Mayrine sedikit panik, ia takut Renjun  menyembunyikan sesuatu lagi darinya.

Renjun menggeleng, air matanya terus menetes. “Aku merindukanmu.”

Lagi-lagi Renjun berbohong, ia belum bisa mengatakan yang sebenarnya sekarang. Sebab, belum ada bukti yang tepat.

“Ibu, bantu aku menyelesaikan semua ini.” Renjun memejamkan matanya, berusaha tertidur. Masalah memang tidak akan ada habisnya namun, apa salahnya jika beristirahat sejenak? Hari esok akan lebih sulit lagi.


ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 2  Ft.Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang