26. Sebuah Deduksi

62 7 46
                                    

Renjun mengecup pipi dan puncak kepala Mayrine sambil memandangnya nanar. Sebenarnya ada rasa tak rela untuk meninggalkan Mayrine. Namun, mau tak mau ia harus meninggalkannya demi kelancaran misinya.

“Maaf jika aku pergi lagi. Doakan saja kita akan selalu bersama sampai akhir,” ucap Renjun setengah berbisik.

Kakinya melangkah menjauhi kamar Mayrine, perang yang sebenarnya akan dimulai.

“Kita tidak bisa menerka-nerka terus, ambil tindakan tegas kak!” seru Lia.

Winata mengepalkan tangannya, pandangannya teralih pada Renjun yang terus mengetuk-ngetuk pensil di atas meja.

“Memangnya kau sudah selidiki kalau itu adalah saudara Nana?” tanya Chenle.

Mark menenggelamkan kepalanya di atas meja. “Kalau itu adalah ibunya Nana, bagaimana?” tanya Mark.

“Lalu apa hubungan ibu Nana dengan Mayrine?" sahut Renjun dengan nada ketus.

Chenle meneguk, minumannya sambil fokus ke layar laptop. “Kan aku sudah bilang tadi kalau orang yang selalu Nana kunjungi itu adalah wanita paruh baya, kira-kira seumuran dengan orang tua kita.”

Mark menatap Renjun dengan sinis. “Apa kau sudah mengerti? Kau begitu sibuk berduaan dengan Mayrine, sampai-sampai terlambat. Ini bukan hal sepele, nyawa Mayrine taruhannya.”

“Bukan hanya Mayrine, nyawa kita semua juga dipertaruhkan,” sahut Winata.

Suasana kembali hening, masing-masing dari mereka. Renjun masih sibuk dengan rencananya sendiri, sedangkan Lia mengeluarkan kertas yang ada di saku sambil menatap satu persatu pemuda yang bersamanya.

“Biar kak Winata saja yang baca, kami akan mendengarkan.” Lia melipat kedua tangannya di atas meja.

“Baiklah, kalian dengarkan baik-baik.” Winata membuka lipatan kertas itu sambil menarik napasnya.

“Setiap pulang kampus sempatkan datang untuk menjenguk ibu dan jangan lupa kalau Mayrine adalah penyebab kekacauan yang terjadi selama ini. Jangan biarkan Mayrine berada di dekat Renjun ataupun temannya yang lain. Aku akan membuat Renjun kalah,” kata Winata.

Semua orang mengarahkan pandangannya ke Renjun. Melihat lelaki ini dengan penuh tanya, sebenarnya apa yang terjadi antara Nana, Renjun, dan Mayrine di masa lalu?

“Gila, maksudnya apa? Mayrine tak pernah mengacaukan kehidupan siapapun,” kata Mark.

“Apa kau yakin? Mungkin saja ini bukanlah hal yang disengaja.” Chenle tampak berpikir. Menurutnya, ini kasus yang agak aneh. Terlebih lagi Nana adalah orang baru.

“Sebentar, jadi orang yang selalu Nana kunjungi di rumah sakit jiwa itu ibunya?” tanya Lia.

Mereka bertatapan, masih agak tak percaya dengan isi surat itu. Terlebih lagi jika itu adalah ibu ... Nana?

“Aku yakin Mayrine adalah orang yang baik. Ia tidak mungkin bisa membuat orang sampai masuk rumah sakit jiwa.” Winata kembali menulis.

“Menurutmu bagaimana? Mengapa kau hanya melamun?" tanya Chenle.

Renjun tersenyum tipis. “Aku hanya bisa memperkirakan sebenarnya Nana memiliki masalah padaku. Ia benar-benar ingin aku kalah darinya. Ia kira Mayrine adalah kelemahanku, nyatanya Mayrine adalah gadis yang bisa membuatku tetap bertahan pada situasi seperti ini.”

Lia memijat pelipisnya, sebelah tangannya memainkan pena yang ia bawa. “Ayolah Jun jangan bermain kata-kata dengan kami.”

“Iya aku juga pusing, sedari tadi aku mencari informasi tentang ayah Nana namun aku tak mendapatkan apapun.” Chenle mengambil camilan yang ada di tangan Mark.

Winata melirik Renjun dan Lia sekilas, tangannya menunjuk kertas yang ia pegang tadi.

“Jadi setelah aku rangkum. Nana sebenarnya mengenal Mayrine sejak lama namun, Mayrine tidak mengenalinya.” Winata menarik napasnya.

“Lalu ia berusaha membalaskan dendam yang berkaitan dengan ibunya dengan mendekati Mayrine. Dan dia sepertinya memiliki dendam pribadi pada Renjun.” Mark melanjutkan ucapan Winata sambil berpikir.

“Tepat sekali, sekarang kalian tahu kan alasan Nana tak menyerah mendekati Mayrine?” tanya Winata.

Lia menjentikkan jarinya, raut wajahnya yang kusut berubah menjadi sedikit ceria.

“Kenapa kau begitu pintar, Mark?” tanya Lia.

Mark membenarkan tatanan rambutnya sambil tersenyum. “Aku memang pintar, kau saja yang tak menyadarinya.”

Renjun menepuk meja, berusaha  mengalihkan atensi mereka.
“Merapat, aku akan menyusun rencana.”

Mata Mayrine terbuka perlahan karena ponselnya terus menerus mengeluarkan suara yang keras. Ada banyak pemberitahuan komentar yang menyebut dirinya di satu postingan membuatnya penasaran.

Mayrine mendengus ketika melihat postingan tweeter sekolahnya yang menyebutnya sebagai perempuan serakah.
Terlihat di postingan itu beberapa fotonya dengan Renjun  dan Nana.

Di bawah postingan itu berisi beberapa foto pergelangan tangan Mayrine yang penuh dengan plester luka dan beberapa yang lukanya terlihat.
Banyak komentar yang mengatakan kalau dirinya tak waras dan tak pantas mendapatkan segalanya.

Segalanya yang dimaksud adalah kekasih seperti Renjun, di dekati oleh pemuda tampan di kampus, atau bersahabat dengan Mark si tuan muda.

Matanya terpejam sejenak. Di dalam hatinya ia merapalkan kata-kata hujatan untuk orang-orang yang berkomentar buruk tentangnya.

Manusia adalah makhluk yang mengerikan, mereka hanya bisa menghakimi tanpa tahu yang sebenarnya.

Gadis ini hanya bisa menahan emosinya yang akan meluap. Jarinya mencari nama Dheya di layar, masa bodoh dengan permusuhan mereka intinya ia harus menelpon ular itu.

“Ah ya? Halo Mayrine.” Terdengar sapaan dari seberang sana.

“Hapus postingan yang ada di tweeter base kampus,” ucap Mayrine dingin.

Suara tawa masuk ke indera pendengaran Mayrine. “Kau kira aku yang mengirimnya? Bukankah jika menjadi terkenal akan banyak orang yang membencimu? Jadi jangan tuduh aku ya,” kata Dheya.

Mayrine tersenyum miring, matanya melihat ke langit-langit kamarnya. “Oke maaf jika aku menganggumu tuan putri.”

Setelah sambungan telepon terputus, jemari Mayrine  mencari kontak seseorang.

“Halo, bisa tolong aku?” tanya Mayrine dengan nada ramah.

“Ah Mayrine lama sekali kau tidak menelponku. Ada apa May?” tanya seseorang.

“Kau admin grup angkatan kan? Aku memiliki sesuatu yang akan membuat seluruh angkatan gempar. Tapi sebelumnya, aku mau kau merahasiakan kalau informasi ini berasal dariku.” Mayrine memejamkan matanya.

“Memangnya ini tentang siapa?”

“Dheya, teman sekelas kita. Kau tak suka dengannya kan? Orang-orang bilang kalau memusuhi orang yang sama kita bisa berteman.”

Orang yang ada di seberang sana tersenyum. “Ok, apa yang akan kau beritahu padaku?”

“Aku akan mengirimkan sesuatu padamu. Sebelum besok pagi ini harus tersebar di angkatan kita, kalau bisa ke angkatan di bawah atau di atas kita juga boleh,” kata Mayrine.

“Aku tutup ya? Aku akan mengirimkannya padamu sekarang.” Setelah mengatakan itu Mayrine menutup sambungan telepon.

Jemarinya menekan opsi kirim setelah memilih dua video yang ada di ponselnya itu.

“Katakan selamat tinggal pada harga dirimu, Dheya. Kau akan tahu akibatnya jika bermain-main denganku. Dan ini adalah bayaran karena kau telah bersekongkol dengan Narendra.”  Mayrine kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Besok adalah hari yang menyenangkan, keributan baru akan dimulai.

Hai aku balik lagi nih, sorry ya lama ngga update wkkk.
Btw selamat buat NCT 127 yang udah menang di TTA tadi!
See ya di next chapter!

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 2  Ft.Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang