4. Topik Sensitif

82 15 34
                                    

Dimana-mana yang Mark lihat hanyalah kertas yang berceceran. Chika memijat batang hidungnya pelan, rasanya pening. Mark sudah angkat tangan, mau tak mau Chika tidak boleh menyerah. Jika ia menyerah, maka semuanya akan berakhir.

“Sudah tahu tidak begitu bisa berbaur mengapa masuk departemen humas?” Lia membenarkan ikatan rambutnya, melihat Mark yang sudah merebahkan tubuhnya di lantai ruang sekretariat.  Heran pada Mark yang memilih departemen humas. Sudah tahu dirinya begitu, masih saja memilih yang tidak bisa ia jalankan.

“Sekalian belajar untuk berkomunikasi, apa salahnya. Chika juga memilih departemen humas kan?” Mark melemparkan tatapannya pada  Chika yang masih setia memilah kertas yang berceceran.

Selain untuk melatih kemampuannya untuk berbaur dengan yang lain, Mark ingin menata semuanya dari awal. Berhubung di kampus ini dia bukan siapa-siapa jadi rasanya lebih bebas dan tidak ada beban.

“Susah memang kalau tuan muda tiba-tiba mendapatkan tempat yang tidak sesuai.” Lia memutar bola matanya malas, masih tidak mengerti mengapa dirinya bisa dalam departemen yang sama dengan Mark.

Mark itu suka mengatur, dan sekarang dia malah dapat bagian di departemen humas sebagai anggota kalian bisa bayangkan betapa risihnya Mark mendapat bagian seperti itu.

Mark biasa memimpin, menyuruh, memerintah ini dan itu. Sekarang malah menjadi anggota, rasanya Lia ingin tertawa. 

“Sudah, diam. Kepalaku pusing,” Chika menyandarkan punggungnya di dinding.

Mark mengejek Lia dengan mimik wajah yang buruk, sementara itu Mark yang tidak terima melemparkan jaket.

“Bilang saja masuk  humas karena ada Chika. Dasar bucin!” Lia menjulurkan lidahnya ke Mark.

“Diam kalian berdua!” Chika berteriak keras,  mengacak rambutnya frustasi. Menyesal mengajak Lia masuk himpunan kalau ia tahu Lia dan Mark akan menjadi satu departemen.

Jeno menatap Lia yang masih sibuk dengan laptopnya. Jemari Jeno mengetuk meja kafetaria, berusaha menghilangkan rasa bosan yang melanda.

“Renjun dimana Than?” Satu pertanyaan acak tiba-tiba muncul di kepala Jeno. Bagaimana tidak, terkadang ia kasihan melihat Mayrine yang kemana-mana selalu sendirian.

Ia tahu Mayrine sudah dewasa, tidak perlu ditemani. Tapi kan bukan seperti ini juga. Setidaknya, ia butuh seseorang yang menjaganya.

Jadi Lia yang tadinya sibuk dengan keyboard terhenti. Berusaha meresapi pertanyaan kekasihnya.

“Renjun? Aku tidak tahu.”

Pandangan Lia menjadi kosong, mengingat kejadian waktu itu. Ia sudah bersikeras untuk membujuk ayah Renjun agar Renjun tidak perlu pergi ke China. Namun itu semua gagal.

Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk Mayrine juga. 

“Kau benar-benar tidak tahu atau pura-pura?” Tatapan Jeno terlihat berbeda dari biasanya, seakan meminta penjelasan lebih pada Lia.

Lia memainkan kukunya, menatap Jeno sesaat, “Kalau aku tahu pasti akan kuberitahu. Ini bukan untukku saja, tapi untuk Mayrine juga.”

“Aku harap kau tidak membohongiku.” Jeno berucap datar.

Lia menggerutu kesal, mengapa Renjun tidak kembali? Bukannya ia bisa mengetahui bagaimana perubahan sikap Mayrine semenjak dirinya pergi?

“Kau merindukan Renjun?” Jeno menatap lurus kearah tempat parkir.

“Hm, bagaimana bisa tidak merindukannya? Kau tahu kan aku itu sahabatnya," Bagi Lia, Renjun  adalah topik yang paling sensitif selama dua tahun belakangan ini.

Kalau bukan Jeno yang menanyakannya mungkin Lia sudah diluar kendali sekarang.

“Sudah selesai belum? Hari sudah sore.” Jeno melihat arloji hitam yang melingkar sempurna di pergelangan tangannya.

Lia menutup laptopnya, menggandeng tangan Jeno, “Sudah, ayo pulang.”

Lelaki itu melihat pemandangan yang ada di bawah sana. Gemerlap kota bisa lihat dari sini belum lagi kendaraan yang lalu lalang membuat suasana tidak terasa sepi.

Iya, susasana. Bukan suasana hatinya.

Terdengar lagu yang mengalun pelan dari earphone berwarna putih miliknya.

Pandangannya lurus, sementara itu perasaannya masih berkecamuk. Memikirkan apa yang harus ia lakukan nantinya.

Semuanya memang kacau, tapi perempuan itu tidak kalah kacau darinya. Itu bukanlah perempuan yang ia cintai dulu. Semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.

Pundaknya di tepuk pelan oleh seseorang yang membawa segelas kopi.

“Mau kopi?” Lelaki yang biasa disapa Winata itu menyodorkan gelas pada lelaki tadi.

Lelaki itu menggeleng pelan, “Aku tidak boleh minum kopi terlalu banyak. Dia bisa marah.”

Matanya terpejam sebentar, membayangkan bagaimana wajah gadisnya ketika memarahinya kalau meminum terlalu banyak kopi.

Winata berdecak pelan, setelah itu menyeruput kopi “Oh, berarti kau masih menganggapnya dong?”

Lawan bicaranya hanya mengangguk, “Masih, aku hanya butuh waktu untuk  membereskan semuanya.”

Winata berdecak heran, lawan bicaranya aneh. Seharusnya dia pergi dan menemui kekasihnya.

Dia?

Malah melamun bersama lagu yang terputar di earphone kesayangannya.

“Aku, perlu bagaimana lagi?” Si lelaki dengan earphone ini mengacak rambutnya.

Segala cara yang ia rencanakan ia batalkan.

Ia belum punya keberanian apapun.

Winata mencari sesuatu di galerinya, mencari satu foto yang  penting untuk ditunjukkan.

“Kau lihat ini? Ini orang yang sedang mengincar dia.”

Pupil mata lelaki ini membesar, bagaimana bisa orang seperti itu memiliki niat untuk mendekati dia?

“Cari tahu tentang dia. Aku tunggu jawabannya besok.”

Setelahnya, lelaki itu langsung pergi meninggalkan Winata sendirian.

 

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 2  Ft.Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang