20. Singgah ke Rumah

65 9 42
                                    

Mayrine mengembuskan napasnya perlahan, rasa sesak memenuhi relung dadanya. Pikirannya bercabang, entah harus mempercayai foto itu atau tidak.

Semuanya terasa rumit, ditambah lagi ketika ia melihat nama Sasa di layar ponsel Renjun membuat kegelisahannya berlipat ganda. Mungkin ini hanya sekadar asumsi, tapi perasaannya tak pernah bisa di bohongi. Ia takut kejadian yang lalu terulang. Ketika Renjun menghilang begitu saja tanpa memberi kabar.

“Terima kasih sudah mengantarku pul..” ucapan Mayrine terhenti ketika melihat seorang pemuda dengan hoodie hitam yang duduk diatas motornya baru saja berhenti di depan pagar rumah.

“Kau, lepaskan tanganmu dari si brengsek itu!” Nada  bicara Renjun meninggi ketika melihat Mayrine yang memegang punggung tangan Nana.

Mayrine sempat tersentak ketika mendengar ucapan Renjun, perlahan ia melepaskan tangannya dari punggung tangan Nana.

“Apa kau sedih melihat ini, bahkan kau tak tahu kan kalau gadismu ini memelukku tadi ketika perjalanan pulang?” tanya Nana sambil tersenyum licik.

Tentu saja telinga Renjun panas ketika mendengar pertanyaan Nana. Bagaimana tidak panas? Renjun sudah memberi Nana kelonggaran namun, malah disalahgunakan.

“Kau bisa pergi sekarang!” Renjun melihat kearah Nana, memberinya tatapan membunuh, “Sekarang masuk, ada yang ingin aku tanyakan padamu!”

Mayrine menunduk, ada apa lagi? Apa yang salah dengan dirinya sampai Renjun membentak seperti ini?

“Kenapa kau menyentuhnya? Aku tidak suka!” Renjun mencengkeram bahu Mayrine kuat-kuat. Sorot mata pemuda itu terlihat  berbeda dari biasanya.

“Kau yang apa-apaan Jun? Aku sudah menunggu setengah jam di kampus dan kau bilang tidak bisa dengan alasan kerja kelompok,” ujar Mayrine dengan napas terengah.

“Lalu? Aku memang benar-benar tidak bisa,” kata Renjun lemah.

“Jangan potong pembicaraanku. Aku melihatmu bersama Sasa di depan lobi, berpegangan tangan. Sudah sejauh mana hubungan kalian?” Mayrine tersenyum kecil.

“Itu hanya salah paham May, Kau percaya padaku kan?” Suara Renjun kembali berubah menjadi lebih lembut. 

Mayrine menepis tangan Renjun yang masih menempel di bahunya, “kalau kau bisa bermain api mengapa aku tidak? Apa hubungan kita akan terbakar karena api yang kau sulut?”

Renjun terhenyak, sejak kapan Mayrine bicara dengan gaya yang pedas seperti ini?

“May, aku mau tanya... Apa tadi Nana menunjukkan sesuatu padamu?”

Mayrine melihat tajam ke netra Renjun, berusaha mencari sesuatu yang disembunyikan kekasihnya,“kalau iya kenapa? Kau takut kebusukanmu terbongkar hm?”

“Apa yang kau lihat belum tentu benar, May. Aku harap kau bisa mengerti,” kata Renjun tenang.

Renjun merengkuh Mayrine ke
dalam pelukannya sambil mengelus-elus punggung gadisnya. Renjun hanya bisa merapalkan kata maaf dan maaf dalam hati atas dosa dan kesalahan yang ia lakukan kepada Mayrine.

“Kau memiliki hak apa untuk memelukku? Kau bisa pulang dan peluk Sasa sepuasmu,” Mayrine melepaskan pelukan Renjun dan bangkit dari sofa. “Kau bisa keluar sekarang, atau aku tidak bisa jamin wajahmu mulus ketika Mark datang,”

“May, kau hanya perlu mengerti. Aku perlu apa agar kau tidak menghapus namaku dari hidupmu? Aku benar-benar menyanyangimu. Kau tahu kan kalau kau takkan pernah terganti,” lirih Renjun.

Mayrine menggeleng, “aku perlu waktu untuk sendiri Jun, tolong hargai aku,”

Mayrine terus mendorong punggung  Renjun sampai di pintu keluar, “Kau bisa pulang Jun. Oh ya jangan lupa mampir ke rumah Sasa, selamat tinggal.”

“Bukan selamat tinggal, tapi sampai jumpa. Aku menyayangimu May,” Hanya itu yang bisa  Mayrine  dengar sebelum Renjun pergi dari rumahnya.

“Sinting,” umpat Mayrine sambil mengepalkan tangannya.

Mayrine memasuki kamarnya yang sunyi, tangannya mengambil mata cutter yang tergeletak di kolong kasur. Tangan Mayrine kembali menggores pergelangan tangannya, sakitnya bahkan tak terasa.

Atau mungkin Mayrine sudah mati rasa?

Mayrine memejamkan matanya sejenak, menghirup udara yang ada dalam-dalam. Kepalanya berdenyut keras ketika memikirkan serangkaian kejadian belakangan ini. Salahkah jika ia mencintai Renjun terlalu dalam? Hanya Renjun yang Mayrine punya.

“Sial, mengapa sekacau ini?” Mayrine melemparkan mata cutter itu ke sembarang arah, ia sudah tidak peduli darah yang terus menetes di sprei ranjangnya.

“Semuanya...semuanya jahat. Tidak ada yang menyayangiku, bahkan Renjun pun berkhianat.” Mayrine menjambak rambutnya sendiri.

  Ponselnya terus bergetar dengan menampilkan nama Mark di layar. Entah sudah keberapa kalinya Mark menelpon namun Mayrine tidak memiliki minat untuk menjawab panggilan itu.

Mayrine meringkuk, memeluk lututnya sendiri sambil menangis meraung-raung. “Semuanya hancur, apalagi yang ingin kau hancurkan hm? Aku lelah sangat lelah.”

Andai saja ia jatuh cinta pada Mark, semua ini tidak mungkin ia rasakan. Sakit, sesak, bahkan banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan sering kali menghampiri jika menyangkut Renjun. Jika saja ia peka mungkin saja Mayrine tidak bersama Chika.

“Aku sudah menelponmu puluhan kali mengapa kau tidak mengangkat..” ucapan Mark terputus ketika melihat keadaan Mayrine.

“JANGAN MENDEKAT MARK, ORANG SEPERTIKU TIDAK PANTAS UNTUK DEKAT DENGANMU!” Mayrine berteriak sambil mencengkram ujung bajunya.

Mark mendadak mundur, “May, jangan begitu, oke? Aku mohon. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini.”

Mayrine menangis kembali, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dagunya terkena noda darah goresan yang ada di pergelangan tangannya.

“Sakit, Mark. Tolong,” ucap Mayrine sambil memukul dadanya.

“Biar kucarikan kotak obat dulu, tanganmu sakit kan?” Mark meraih kotak obat yang ada di meja belajar Mayrine.

“Aku takut, sakit, semuanya jahat.” Mayrine gemetar, semua peristiwa buruk memenuhi kepalanya.

Mark memberanikan diri mendekat, merengkuh tubuh Mayrine ke dalam pelukannya, “aku terlambat datang ya? Katakan siapa yang menyakitimu? Aku akan menghabisinya,”

Mayrine menggeleng pelan, ia tidak mungkin menyebut nama Renjun. Bisa-bisa Mark akan membunuh Renjun karena emosi.

“Kau tinggal katakan May, siapa yang mengancamu sampai kau tidak berani menyebut namanya padaku?” Mark melunak, ia tahu kondisi Mayrine sekarang sedang tidak baik.

Ponsel Mark berdering, menampilkan sederetan nomor yang tak di kenal. 
“Cek, email mu,” ucap orang itu.
Setelah itu sambungan telepon langsung di putuskan begitu saja.

Jemari Mark langsung beralih ke aplikasi email, mencari kotak masuk.
[Foto]
Kau tahu kan ini siapa? Itu penyebab Mayrine menangis saat ini.

Mark mengepalkan tangannya, lagi-lagi Renjun membuat sahabatnya menderita.

Lagipula, kenapa harus dengan Sasa? Sebenarnya apa yang ada di kepala Renjun sampai harus melakukan hal ini?

“Ini yang membuatmu kacau kan?” tanya Mark sambil memperlihatkan foto yang dikirim melalu email tadi.

Mayrine hanya mengangguk, ia tak bisa mengelak lagi. Kalau ia tak mengaku, ada-ada Mark akan makin marah padanya.

Mark bangkit dari posisinya, “aku pergi,”

Mayrine menggeleng pelan, “jangan pergi, kau tak perlu menghajarnya. Biar saja ia sibuk dengan Sasa,” ucap Mayrine dengan suara parau.

Air muka Mark melunak, “sebenarnya kau takut dia terluka karenaku kan? dia itu bajingan, May,"

Mark memeluk Mayrine erat, “apa yang mesti aku katakan pada ayah ibumu jika nanti aku bertemu dengan mereka di surga?” Air mata Mark menetes, “aku gagal menjaga anak kesayangan mereka...maaf...maaf.”

Mark sesenggukan, badannya bergetar hebat, “jangan begini lagi May, aku takut kehilanganmu,”

ᴵⁿˢᵒᵐⁿⁱᵃ 2  Ft.Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang