Tuk!
Aku mengaduh sambil mengusap rambut kala sebuah buku tebal menggetok pelan sisi kepalaku. Derai tawa pun meledak dari mulut semua murid yang berada di kelasku.
"Perhatikan kalau guru sedang menjelaskan. Jangan malah keenakan melamun sendiri," tegur Hajime sensei sambil berjalan kembali ke depan kelas. "Kau ingin nilaimu bertambah buruk, Hiroshi-kun?"
"Gomenasai, sensei," sesalku sambil terus menunduk malu. Entah kenapa, sejak insiden hari itu, saat Eiji sensei menolongku, aku sulit mengalihkan pandangan dari sosok pahlawanku itu.
Hajime sensei pun melanjutkan penjelasan setelah kondisi kelas kembali kondusif. Tanpa terasa bel makan siang pun berdering.
KRIIIINNNGGGG!
"Yak berhubung waktu sudah habis, sensei akan memberikan kalian tugas. Silakan kerjakan soal pilihan ganda beserta esainya pada halaman 105. Tugas dikumpulkan senin depan dan sensei akan langsung mengoreksi jawaban kalian."
"Siaaap, sensei!" jawab kami serempak dan Hajime sensei pun segera keluar kelas.
Aku terlonjak kaget saat Daiki menjatuhkan setumpuk buku diktat ke meja bangkuku.
"Kerjakan semua dan jangan sampai ada satu pun jawaban yang salah," titah Daiki sambil menepuk tumpukan buku itu. "Kau tak mau kan, kejadian senin sore pekan kemarin terulang lagi?"
"Akan kukerjakan sebaik mungkin, Daiki-sama" jawabku pasrah sambil mengangguk lemah. Mengerjakan soal jauh lebih baik daripada harus menambah lebam di sekujur badanku.
Daiki tersenyum puas. "Anak pintar," puji cowok penindas itu--yang malah terdengar seperti cemoohan bagiku--sambil mengacak rambutku dengan gaya seperti sedang mengusap kepala binatang peliharaan. Kemudian beranjak ke luar kelas bersama kedua penjilat yang selalu setia membuntuti: Yutaka dan Yoshi.
Aku segera mencari kotak bekal makan siangku di dalam ransel dan segera menyantap bento bikinan Okaa-san. Sembari makan siang, kulempar pandangan keluar jendela dan selama sepersekian detik, mataku bertemu dengan mata tajam Eiji sensei.
Deg!
Deeg!
Deeeg!
Aku yang pertama memutus kontak mata kami karena mendadak, jantungku berdebar tak karuan. Bahkan aku sampai takut kalau bunyinya sampai kedengaran guru olahraga itu.
"Kau kenapa, Hiro-san?" tanya Kaoru teman sebangkuku. "Kuperhatikan, sepekan belakangan ini, kau sering melamun sambil menatap ke luar jendela. Ada masalah apa, sih?"
"Tidak ada apa-apa, kok. Kau tenang saja, Kao-kun," jawabku setengah berbohong.
"Pembohong payah. Jelas kau sedang terlibat masalah! Orang tidak akan melamun kalau tidak ada sesuatu yang menganggu pikiran mereka," sangkal Kaoru tidak tertipu kebohonganku. "Jadi apa semua ini karena ulah Daiki-san?"
Aku lekas menggeleng. "Sama sekali bukan. Aku malah sudah mulai terbiasa dengan perlakuan buruk penindas itu."
"Lantas, apa masalahmu?" desak Kaoru dengan raut penasaran sekaligus cemas. Kemudian menunduk sambil meremas kedua tangan. "Gomenasai, Hiro-san. Karena kecerobohanku, kau harus mengalami sesuatu yang buruk."
Mataku menyipit kala mendengar pengakuan sarat penyesalan itu. "Jadi, kau yang sudah menukar kertas jawabanku dengan milik Daiki-san?"
Kaoru mengangguk pelan. "A-aku hanya ingin membantu. Aku sudah muak melihat berandal idiot itu mendulang pujian dari semua sensei karena selalu mendapat nilai paling tinggi di setiap mata pelajaran. Padahal semua murid di kelas ini tahu bukan dia yang mengerjakan soal ujian itu, melainkan kau, Hiro-san. Rasanya sangat tidak adil kenapa hidup bisa berlaku begitu kejam padamu."
Kuhela napas panjang sambil kuusap lembut pucuk kepala Kaoru yang masih menunduk. "Aku mohon padamu, Kao-kun. Berjanjilah padaku jangan pernah kau ulangi perbuatan itu. Aku tidak mau kalau kau sampai terluka karena mencoba menolongku."
"Tapi..."
Kutaruh telunjuk di mulut Kaoru yang hendak protes dengan keputusanku. "Dengar, Kao-kun. Daiki-san bukan cuma penindas, tapi juga seorang psikopat yang bisa membunuh orang tanpa rasa bersalah. Apalagi belas kasihan. Dia sangat mengerikan. Percayalah padaku."
Kendati tampak enggan, Kaoru tetap mengangguk. "Kau memang hebat, Hiro-san. Kalau aku jadi kau, sudah dari dulu aku akan memilih pindah sekolah saja."
"Bijak sekali keputusanmu. Tapi sayang, pilihan itu bukan untukku."
Kening Kaoru kontan mengerut. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang menahanmu di sini?"
Entah kenapa kala mendengar pertanyaan itu. Mendadak ruang pikiranku penuh dengan bayangan sosok menawan Eiji sensei. "Karena aku tidak mau merepotkan hidup Okaa-san. Dia sudah cukup kewalahan dengan urusan biaya sekolahku."
"Yakin cuma itu alasanmu?" cecar Kaoru dengan sorot penuh selidik.
Aku mengangguk meski gagal menyembunyikan senyumku.
"Harus berapa kali kubilang: kau tidak ada bakat berbohong, Hiro-san. Jadi siapa dia?" tanya Kaoru sambil bergeser duduk semakin dekat ke arahku.
"Maksudmu?"
Kaoru segera mengibas-ibas tangan seakan sedang mengusir sekawanan lalat tak kasat mata yang beterbangan di sekitar kami. "Berhentilah belagak bodoh. Aku tahu kau sedang jatuh cinta dengan seseorang. Jadi siapa gerangan orang beruntung yang sudah berhasil memikat hatimu, hm?"
Masa, sih? Apa betul aku sedang jatuh cinta? Tapi bagaimana bisa dengan....
Kugelengkan kepala berusaha mengenyahkan pikiran aneh itu. "Kau keliru. Aku sama sekali tidak sedang jatuh cinta dengan siapa pun."
Kaoru mendengus geli. "Kau mungkin bisa menipu diri sendiri. Tapi tidak denganku, Hiro-san. Kentara sekali binar cinta di matamu setiap kali kau memandang ke luar jendela. Jadi bisa kusimpulkan kalau orang itu pasti sedang berada di..."
Kaoru segera bangkit dari kursi dan bergegas menuju jendela yang menghadap ke arah timur. Tepatnya ke arah lapangan sekolah di mana serombongan cowok sedang latihan bola basket di bawah sana.
Aku tergeragap saat tiba-tiba Kaoru menoleh dengan tatapan tak percaya setelah cukup lama memandang ke luar jendela.
"Jangan bilang kalau kau sedang jatuh cinta dengan seorang ... pria?" tebak Kaoru tepat sasaran.
*tbc*
Jangan lupa vote dan komen, ya. Makasih udah mampir^^

KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Short Story21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...