5

81 6 3
                                    

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali hukuman yang kudapat karena ulah Daiki. Entah lupa atau sengaja mengerjakan PR-ku dengan jawaban asal-asalan. Bahkan terkesan konyol dan merendahkan cara mengajar sensei di kelas kami.

Karena itu semua sensei yang pernah mengajar di kelasku menganggapku sebagai murid yang bandel dan pembangkang. Hanya Eiji sensei yang tidak pandang bulu dalam menilai setiap anak didiknya.

Yah, meski aku selalu mendapat nilai paling rendah. Selain karena badanku yang pendek di antara murid cowok di kelasku. Fisikku pun lemah. Jadi aku lebih mudah kelelahan saat mengikuti pelajaran olahraga yang lebih dominan praktik daripada membahas teori.

Kendati demikian, Eiji sensei tidak pernah mengejek soal kekurangan fisikku. Bersikap biasa dan memberikan penilaian sesuai kemampuan siswa. Jika memang punya bakat atletik, dia tidak akan ragu untuk membantu mengasah bakat alami anak itu.

Karena lahir tanpa bakat atletik, peluang untuk bisa dekat dengan Eiji sensei semakin sulit. Meski pun masih masuk dalam golongan nomor kesekian dari prioritas perhatian guru olahraga itu. Mungkin karena faktor itu pula, aku gagal masuk ke dalam klub basket ketika mengisi formulir pendaftaran kegiatan ekskul.

Meski kala itu aku belum mengenal maupun mengagumi sosok Eiji sensei. Niat awal bergabung dengan klub basket hanya karena ingin tampil keren dan populer di kalangan gadis remaja. Seperti tokoh di serial anime KnB atau Slamdunk yang sering kutonton saat masih SMP.

Karena keasikan melamun, aku tidak sadar ketika ada bola basket melambung ke arahku. Alhasil, bola itu menimpuk kepalaku. Lantas aku pun jatuh terduduk karena tidak kuat menahan benturan cukup keras itu.

Kukibas kepala mencoba mengusir pening yang mulai mengerumuti kesadaranku. Mengerjap cepat begitu melihat sosok Eiji sensei berdiri dengan satu tangan terulur ke arahku. Cahaya matahari beranjak siang tampak berpendar benderang di belakangnya, membuat lelaki itu tampak bersinar seperti malaikat.

Refleks kuraih uluran tangan itu. Dengan satu tarikan kuat namun lembut dari tangan itu, aku pun bangkit berdiri tanpa kesulitan. "Arigatou, sensei," ucapku sambil menunduk dan menepuk-nepuk debu serta serpihan rumput basah yang menempel di pantatku.

"Ada yang benjol?" tanya Eiji sensei dengan badan agak membungkuk sejajar tinggi kepalaku. Pipiku semakin merona malu mendengar ucapan itu.

Kugeleng kepala dengan posisi masih menunduk. "T-tidak ada, kok. Cuma agak pusing saja."

Eiji sensei segera mengambil bola dan ketika kuangkat kepala, aku nyaris menjerit kaget saat melihat lelaki itu masih berada di sebelah kiriku. "S-sensei?"

"Tampangku mengerikan sekali ya, sampai bikin matamu mau loncat keluar begitu," sahut Eiji sensei sambil mengoper bola basket ke satu siswa yang berada di tengah lapangan dan menoleh ke arahku.

"Gomenasai," ucapku lirih sambil kembali menunduk.

"Aku cuma bercanda, Hiroshi-kun. Santai saja," balas Eiji sensei sambil menaruh satu tangan di pucuk kepala dan mengacak-acak rambutku.

Jantungku spontan berdebar kencang dan pipiku pasti sudah semerah tomat matang. Meski tampak biasa bagi orang lain, tapi perlakuan seperti itu sangat istimewa bagiku. Oh, betapa menyedihkan sekali aku.

"S-sensei, mengingat namaku?" tanyaku sambil melirik ke Eiji sensei yang masih betah menaruh sebelah tangan di kepalaku.

"Selain karena aku gurumu, kau pun satu dari sekian muridku yang sangat rajin menyapu halaman sekolah di saat murid yang lain sedang tekun belajar di dalam kelas. Kenapa bisa begitu, hmm?"

Kuremas kedua tanganku. Kenapa aku merasa menjadi murid paling buruk di sekolah saat mendengar ucapan itu keluar dari mulut Eiji sensei. Padahal sebelumnya, aku tidak begitu peduli dengan penilaian buruk sensei lain atas diriku. Toh, semua itu tidak benar. Tapi apa yang harus kulakukan untuk memulihkan nama baikku agar tidak tampak buruk di mata lelaki itu?

"A-ano ... Hajime sensei menghukumku karena aku tidak mengerjakan PR," sahutku akhirnya urung mengadu. Toh, dia pasti tidak akan percaya padaku meski pun aku berkata jujur. Citra burukku sudah telanjur tersebar luas di kalangan para sensei di sekolahku.

Eiji sensei bergumam sambil mengelus janggut tipis yang tumbuh di dagu. "Hmm ... tampangmu tidak seperti murid bodoh atau badung yang malas mengerjakan PR. Kulit pucat tanpa tato. Bibir semerah ceri dan tanpa ada bekas tindik di hidung maupun teligamu. Begitu pun rambut hitam alami tanpa pewarna. Jelas kau adalah murid baik-baik yang sedang sial saja karena terlibat suatu masalah pelik yang membuatmu takut mengadu kepada siapa pun. Betul begitu, Hiroshi-kun?"

Aku nyaris bertepuk tangan terpukau dengan analisis presisi lelaki itu. Woow, bukan saja baik dan tampan, dia juga seorang pengamat ulang. Tapi aku tidak mau bergantung pada Eiji sensei. Aku tidak mau melibatkan lelaki itu dalam masalahku.

Eiji sensei mendesah kecewa karena kebungkamanku. "Oke, datang saja padaku kalau kau sudah tidak kuat menanggung beban masalahmu sendirian," ujar lelaki itu sambil menepuk bahuku dan kembali menuju ke lapangan.

Aku mengangguk dan memperhatikan Eiji sensei yang kini sedang meneguk air mineral dingin dalam kemasan botol. Tampak lebih maskulin dan jantan dengan buah jakun yang bergerak naik turun serta bulir keringat yang membasahi leher kekar lelaki itu.

Kualihkan pandangan saat mata kami tanpa sengaja beradu. Lantas kembali memandang lelaki itu ketika dia memanggil namaku.

"Tangkap!" perintah Eiji sensei tanpa aba-aba sambil melempar botol air mineral itu. Tersenyum simpul ketika melihatku geragapan mencoba menangkap botol itu.

Aku mengembus napas lega begitu berhasil menangkap botol itu. Meski refleksku kurang tanggap. "Arigatou, sensei."

"Ambil saja," sahut Eiji sensei saat kuulurkan botol itu setelah aku tiba di depan lelaki itu yang kini duduk di bangku pinggir lapangan di bawah naungan pohon rindang. "Aku tahu kau sangat kehausan. Cuaca siang ini cukup terik. Kau bisa mengalami dehidrasi kalau kekurangan cairan tubuh."

Sontak meneguk ludah kala kulihat sekilas petak basah di lipatan ketiak lengan kaus Eiji sensei begitu mengangkat sebelah tangan untuk menyeka keringat di bagian pelipis. Entah kenapa hidungku mendadak gatal ingin mengendus aroma ketiak basah guru olahraga itu.

"Hoi, Hiroshi-kun?"

Aku tersentak kaget saat Eiji sensei mengibaskan sebelah tangan di depan mataku. Lantas menunduk malu karena tepergok sedang melamun jorok. "Gomenasai."

Eiji sensei mengangkat sebelah alis tebalnya dengan raut heran. "Tidak ada yang salah dengan melamun. Asal jangan keseringan saja. Apalagi kalau sedang mengemudi, kau bisa menabrak seseorang nanti."

"Hmn," gumamku sambil mengangguk paham. Bersyukur kala mendadak bel berdering nyaring.

KRRRIIIIIINGGGG!

"Sudah jam makan siang. Mau kembali ke ruang kelas sekarang?" tanya Eiji sensei sambil mengendik dagu ke barisan jendela di lantai 3.

Aku pun mengangguk--meski enggan beranjak dari sana--dan segera pamit setelah mengucap terima kasih sambil mendekap erat botol pemberian Eiji sensei. Kenangan pertamaku mengobrol dengan lelaki itu.


*tbc*

Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar, makasih udah mampir^^

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang