Setiba di rumah pukul lima sore, aku tertegun mendapati Okaa-san sedang memasak makan malam di dapur. Tumben, biasanya beliau baru pulang lewat dari jam delapan. Meski terkadang bisa pulang sampai pukul sebelas malam setiap akhir pekan.
Aku tahu Okaa-san sedang berkencan dengan seseorang, meski tidak pernah mengaku setiap kali kutanya perihal alasan beliau bisa pulang sampai larut malam. Aku akan selalu berhenti ketika Okaa-san balik bertanya: "Tapi dengan satu syarat, kamu dulu yang kasih tahu identitas calon menantu Ibu."
Begitulah. Setiap sampai di bagian itu, aku merasa seperti berada di tepi jurang. Tetap akan jatuh meski sudah sejauh mungkin meloncat ke sisi seberang.
"Tumben pulang cepat," ujarku sambil melongok ke balik bahu Okaa-san yang berdiri menghadap ke kompor elektrik. "Ada perayaan apa hari ini?"
Seingatku, hari itu bukan hari libur nasional atau tanggal lahirku maupun Okaa-san. Begitu pun bukan hari di mana Otou-san meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Mobil dinas yang sedang dikemudikan beliau salip dan terjun ke jurang. Kemudian hanyut terseret sungai berarus deras.
Menurut laporan polisi yang mengevakuasi jenazah Otou-san, mobil dinas itu mengalami kerusakan di bagian rem. Dan dari hasil investigasi, para penyidik itu pun menyatakan kematian Otou-san murni karena kelalaian si pengemudi.
Tentu Okaa-san tidak percaya dengan laporan itu. Beliau pun lantas menyewa jasa seorang detektif swasta untuk menemukan pelaku di balik kasus kecelakaan tragis itu. Namun setelah dua tahun mencari dan tidak ada satu pun petunjuk, kasus itu berakhir buntu.
Okaa-san mengedik bahu. "Cuma acara makan malam biasa."
Kuangkat sebelah alis. "Dengan masakan sebanyak itu?"
"Tenang saja. Ibu tidak akan memaksamu menghabiskan semua masakan ini. Bisa meledak perutmu nanti."
"Hmm ... jadi, akan ada tamu malam ini? Sudah lama aku tidak makan dengan banyak orang. Pasti akan sangat menyenangkan," sahutku sambil bertanya-tanya siapa lelaki yang sudah Okaa-san undang untuk makan malam bersama.
"Kamu mandi dulu sana. Nanti bantu Ibu menata meja makan," titah Okaa-san sambil mendorong badanku menjauh dari depan kompor.
"Oya, Hiro-kun. Bagi air minum dong," sambung Okaa-san begitu melihat botol minum di tanganku.
"Tidak mau. Ini bukan air biasa. Tidak boleh sembarangan diminum," sahutku sambil menjauhkan botol itu dari jangkauan tangan Okaa-san.
Wajah Okaa-san merengut sebal. "Kalau begitu, kamu ambilkan saja botol lain di kulkas. Ibu sudah kehausan, nih."
Setelah memberikan satu botol mineral dingin ke Okaa-san, aku pun segera menuju ke kamar. Selesai mandi, aku kembali ke dapur dan kulihat Okaa-san masih saja sibuk memasak.
Karena tidak boleh membantu memasak di dapur, aku pun memilih membaca komik One Piece di sofa ruang tamu sambil menunggu jam makan malam tiba.
Menggerutu begitu mendengar dering bel dari pintu depan menggema ke seantero ruangan. Siapa, sih? Tidak mungkin kalau tamu makan malam Okaa-san karena belum jam tujuh malam.
Karena Okaa-san sedang mandi, aku pun terpaksa membukakan pintu dan menyambut tamu penganggu itu.
Segala jenis makian kasar yang sudah sampai di ujung lidah, spontan kutelan kembali begitu melihat Eiji sensei berdiri di depan pintu dengan sebuket bunga serta sekantong penuh buah-buahan segar.
"Hiro ... shi-kun?" panggil Eiji sensei tak percaya begitu melihatku tertegun di ambang pintu.
"S-sensei?" balasku sambil mengerjap kala mendengar panggilan itu.
"Kau tinggal di sini?"
"Ya, betul. Berdua dengan ibuku."
"Oh, jadi begitu. Kau anak tunggal Nakayama Hitomi?"
Setelah kematian Otou-san, Okaa-san mengganti nama marga dengan nama semasa masih gadis belia.
Aku mengangguk. "Sensei mencari ibuku?"
Eiji sensei berdeham. "Ya, ibumu ada? Dia mengundangku makan malam--Oh ... konbanwa, Hitomi-chan."
Hitomi-chan? Yang benar saja, pikirku tak percaya sambil menengok ke belakang mengikuti arah pandangan Eiji sensei.
"Kau sudah datang Eiji-san? Padahal belum jam tujuh malam. Masakan pun masih berantakan di dapur," balas Okaa-san begitu berada tepat di belakangku. "Mari, masuk. Kita mengobrol saja di dalam. Tidak enak dilihat tetangga kalau ada tamu tidak disuruh masuk ke rumah."
Aku pun segera menepi dari depan pintu agar Eiji sensei bisa leluasa masuk.
"Oya, kalian sudah saling mengenal?" tanya Okaa-san sambil menatap bergantian antara aku dan Eiji sensei. "Tadi tidak sengaja mendengar sedikit obrolan kalian."
"Hiroshi salah satu anak didikku."
Okaa-san tampak kaget dengan informasi baru itu. "Kau mengajar di sekolah Hiro-kun? Tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu saat hari pengambilan raport?"
Eiji sensei mengedik bahu. "Mungkin karena aku bukan wali kelas putramu?"
"Oke, kita tunda dulu masalah itu," sahut Okaa-san sambil menggeleng dan beralih menatapku. "Oya, Hiro-kun. Ada sesuatu yang ingin Ibu katakan padamu."
Entahlah. Kenapa mendadak aku enggan mendengar apa pun dari mulut Okaa-san. "Tunggu sebentar," cegahku sambil mengangkat satu tangan. Menutup kembali mulut Okaa-san yang hendak mengatakan sebuah pengakuan yang selama ini bikin aku penasaran. "Kalian pacaran?"
Mereka saling berpandangan sambil tersenyum senang. Ya, sudah kuduga. Tapi kenapa harus dengan Eiji sensei?
"Tebakanmu sebagian benar. Kami memang berpacaran, tapi--" Okaa-san mengangguk ke arah Eiji sensei seakan meminta lelaki itu untuk meneruskan.
"Kami juga sudah bertunangan, Hiroshi-kun. Sebentar lagi kamu akan punya ayah baru," sambung Eiji sensei sambil memeluk Okaa-san dari belakang.
Akhirnya, aku tahu identitas pengendara motor misterius yang sering mengantar Okaa-san pulang begitu kulihat motor yang terparkir di pekarangan depan.
"Ibu menyesal tidak bisa memberitahumu lebih awal. Tapi Ibu pikir, sekarang sudah waktunya kau tahu soal hubungan kami."
Aku baru sadar ada cincin emas melingkar di jari manis Okaa-san saat sedang mengelus lembut lengan berbulu Eiji sensei yang mendekap erat perut beliau.
Entah kenapa dadaku terasa sesak ketika melihat binar bahagia di mata mereka. Apa benar, aku sudah cemburu pada ... Okaa-san?
*tbc*
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar. Makasih udah mampir^^
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Short Story21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...