13

48 6 0
                                    

Sejak berhenti dari tim baseball saat aku masih kelas 6 SD. Otou-san mulai bersikap dingin padaku. Kami tidak pernah saling bicara meski tinggal serumah.

Awalnya aku merasa lega, namun hanya bertahan sementara saat rasa sepi mulai menggerogoti hatiku. Otou-san sama sekali tidak pernah memujiku. Bahkan ketika aku berhasil meraih peringkat pertama di kelas.

Begitu pun pada setiap hari ulang tahunku, tidak ada satu kado pun dari Otou-san. Rasa cemburu mulai membakar hatiku saat kulihat pria dingin itu memberi kotak kado mungil di hari kelahiran Okaa-san. Tiga bulan sebelum tragedi mengerikan itu terjadi.

"Lipstik?" tanya Okaa-san dengan kening berkerut begitu membongkar kotak mungil itu dan menemukan sebuah lipstik merah marun di dalam sana.

"Karena aku sangat suka bibirmu," bisik Otou-san di telinga Okaa-san sambil memeluk tubuh ramping itu dari belakang. "Selalu membuatku rindu saat sedang bekerja di kantor dan ingin segera pulang agar bisa segera mencumbumu."

Okaa-san bergidik geli saat Otou-san mencium leher dan segera menahan bibir basah itu yang siap melumat bibirnya. "Nanti saja di kamar. Ada Hiro-kun di sini," kata Okaa-san begitu menangkap kepalaku yang menyembul dari balik tembok ruang tengah. Tempat biasa kami berkumpul sambil menonton televisi selepas makan malam.

Senyum Otou-san berangsur memudar begitu melihatku keluar dari tempat persembunyian. "Aku mau mandi saja. Cuaca malam ini sangat gerah," sahut Otou-san sambil melepas simpul dasi dan jas kerja, lantas bergegas ke dapur dan melewatiku tanpa menyapa.

Sejak hari itu, aku mulai terobsesi untuk mengejar pujian dari Otou-san. Meski dengan cara yang salah. Bahkan sampai beliau meninggal, obsesi itu masih terus melekat dalam diriku.

Suatu hari sepulang dari sekolah. Aku melihat Okaa-san sedang sibuk membongkar lemari pakaian. Menaruh semua kemeja bersih Otou-san ke ranjang, sementara tangan satunya sibuk menggeledah setiap rak maupun laci di dalam lemari itu.

"Oh, kau sudah pulang?" tanya Okaa-san begitu sadar ada aku di kamar itu.

Aku mengangguk. "Okaa-san sedang mencari apa?"

"Lipstik pemberian ayahmu. Kamu lihat?" tanya Okaa-san sambil menoleh ke arahku dengan raut bingung. "Biasa Ibu taruh di meja rias. Tapi saat Ibu mau pakai, lipstik itu sudah tidak ada. Padahal malam ini ada undangan acara di kantor ayahmu."

"Jatuh menggelinding, mungkin?" tebakku asal sambil menunduk menatap bagian bawah meja rias Okaa-san. "Sudah periksa kolong ranjang?"

Okaa-san mengangguk murung. "Sudah empat kali malah. Tapi tetap tidak ketemu."

"Pakai saja lipstik yang lain. Masih ada, kan?"

Okaa-san mengedik bahu lesu. "Yah, kamu benar. Ibu pasti hanya lupa menaruh saja. Nanti juga akan ketemu kalau sudah ingat."

Setelah Okaa-san memutuskan akan memasak ramen, aku segera berjalan menuju kamarku sambil meraba saku depan celana dan merasakan benda mungil serupa kapur tulis berwarna merah tersimpan aman di dalam sana.

Sejak insiden lipstik hilang itu, teror noda lipstik merah merona di kerah kemeja Otou-san mulai mengusik ketenangan rumah kami. Hingga tiba di suatu malam penuh teriakan yang berakhir dengan tangisan Okaa-san di kamar sebelah dan dengkuran Otou-san dari arah ruang tamu.

Pada pagi hari di mana kecelakaan mobil yang merenggut Otou-san dari kami, aku segera keluar dari kamar begitu melihat Okaa-san pergi ke minimarket di ujung jalan untuk belanja kebutuhan dapur kami. Sedangkan Otou-san sudah berangkat ke kantor sejam lalu.

Kutapaki anak tangga perlahan. Begitu menginjak lantai bawah, aku segera menuju ke kamar mandi di mana ada mesin cuci dan keranjang pakaian kotor di samping pintu toilet.

Begitu tiba di sana, kurogoh saku celana. Memoles bibir dengan lipstik merah marun yang kupinjam sebentar--meski tidak pernah kukembalikan--dari meja rias Okaa-san sambil berdiri di depan cermin wastafel.

Segera keluar dari kamar mandi setelah polesan bibirku sempurna dan tersenyum kala kutemukan kemeja kusut milik Otou-san di tumpukan pakaian kotor itu. Lantas kudekatkan bibir ke lipatan kerah bagian sisi dalam kemeja itu dan meninggalkan tanda cintaku di sana.

Senyumku memudar begitu mendengar geraman dari arah belakang. Geraman yang sudah sangat familiar di telingaku. Kubalik badan untuk menyambut pemilik geraman itu sambil memasang tampang polos seakan aku baru saja mencoret-coret halaman buku gambar dengan krayon warna merah.

"Sejak kapan Otou-san pu--"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi hingga aku jatuh tersungkur ke lantai. Kuusap pipi yang terasa panas dan berdenyut nyeri sambil menahan tangis yang hendak keluar dari mulutku.

"Sundal kecil sialan!" umpat Otou-san setelah merebut kemeja itu dari tanganku dan menemukan tanda cintaku di sana. Lantas meludahi wajahku dengan raut jijik dan menendang perutku saat melihat seringaian merah marun di bibirku. "Mau jadi banci kamu, hah? Masih kecil saja sudah pintar melacur!"

Kupikir, Otou-san akan membunuhku. Entah dengan cara mencekik leherku atau menenggelamkan kepalaku ke bak mandi karena malu punya anak cowok sepertiku.

Tapi tidak, Otou-san tidak membunuhku. Dia malah beranjak ke ruang kerja dan mencari sesuatu di dalam sana. Mungkin ada dokumen kantor yang ketinggalan. Lantas menuju garasi dan menyalakan mobil usang dengan bodi karatan karena memang sudah lama mendekam di sana agar lebih cepat sampai di kantor.

Tepat dua jam setelah Otou-san meninggalkan garasi, telepon rumah berdering dan aku tidak begitu heran saat mendadak Okaa-san menangis histeris begitu mengangkat gagang telepon.

Aku berdiri di belakang Okaa-san dengan tatapan kosong dan sudut bibir pecah sambil mengenggam satu baut yang kulepas dari pedal rem sebelum Otou-san menjemput ajal dengan mobil karatan itu.

*tbc*

a/n:

Flashback end, yak 😂😂 ga mau panjang2 deh, takut keburu bosan kalian 😁😁😒 Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Makasih udah mampir^^

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang