Kukira semua aman. Tapi aku salah begitu melihat Eiji sensei berada di kafe itu saat aku hendak mengambil sepedaku yang ketinggalan di sana.
"Bukankah itu ... Eiji sensei?" gumam Kaoru saat mengikuti arah pandanganku. "Kenapa dia ada di sini?"
"Sudah sore. Bisa kemalaman di jalan kalau kita tidak segera pulang sekarang," sahutku sambil menengadah ke langit yang mulai gelap di ufuk timur.
"Mau membonceng?" tanya Kaoru sambil mengamati kondisi sepedaku yang sudah dua hari telantar di pelataran parkir kafe itu.
Aku menggeleng. "Tidak usah. Aku takut kakimu patah setiba di rumah. Lagipula sepedaku masih bisa jalan, kok."
Kaoru mendengus. "Tahu begini, lebih baik aku tolak saja ajakanmu pergi ke kafe ini. Menyesal aku sudah menemanimu kemari."
"Gomenasai, Kao-kun. Bukan maksudku meremehkan kehebatan kakimu. Aku tidak ingin merepotkanmu saja. Kau sudah banyak membantuku. Aku takut tidak sanggup membalas semua kebaikanmu."
Raut wajah Kaoru melembut. "Kita berteman saja sudah lebih dari cukup bagiku. Jadi ada urusan apa lelaki itu di sini?"
Aku tidak yakin bisa mengaku ke Kaoru. Meski sudah lama berteman, aku masih meragu dia mampu menyimpan rahasiaku. Aib burukku.
"Kenapa harus peduli? Toh, tak ada untungnya bagi kita meski pun tahu alasan dia ada di sana," sahutku sambil mengedik dagu ke arah lelaki itu. Mencoba mengubur rasa penasaran Kaoru.
"Aneh saja. Kenapa dia harus pergi ke kafe padahal di rumahmu pasti sedang sibuk berbenah untuk pesta pernikahan."
"Sedang merayakan hari terakhir hidup melajang, mungkin?" tebakku asal sambil mengedik bahu dan mulai mengayuh sepeda keluar dari pelataran parkir.
"Lantas bagaimana dengan perasaanmu, Hiro-san?" tanya Kaoru begitu sudah bersepeda di sebelahku.
"Selain merelakan, apa aku masih punya pilihan?"
Kaoru tercenung. Lantas mengangguk seperti baru mendapat pencerahan. "Kurasa, kau benar. Meski terasa sakit, setiap luka pasti akan sembuh seiring waktu berlalu."
"Yah, atau sebaliknya. Bertambah parah semakin tergerus aliran waktu."
Tanpa terasa, kami hampir tiba di rumah. Berpisah di persimpangan jalan dan melaju lurus ke depan, tampak sebuah rumah berlantai 2 dengan kedipan lampu warna-warni berpendar redup di kejauhan.
Setelah memarkir sepeda di garasi, aku segera mandi dan lekas turun untuk makan malam bersama dengan semua kerabatku.
Keheningan seketika menelan setiap suara begitu Eiji sensei bergabung di meja makan bersama kami. Lelaki itu tampak tidak peduli dengan suasana yang berubah tidak nyaman dan penuh kecurigaan.
Napsu makanku menghilang begitu memergoki lirikan sekilas mata eiji sensei yang duduk di sisi seberangku di samping kursi Okaa-san. Apa dia sudah tahu?
Meski yakin wajahku tersembunyi dari sorotan kamera CCTV, tapi aku cukup ceroboh dengan mengambil risiko tampil di depan kerumunan pengunjung kafe yang mengitari meja Eiji sensei pada siang itu.
"Sepeda yang ketinggalan di kafe sudah kamu ambil, Hiroshi-kun?" tanya Eiji sensei tanpa peringatan sukses membuatku tersedak.
Serentak, semua orang di meja makan menoleh ke arahku dengan kening mengerut. Bajingan.
Aku pun menyambar segelas air mineral di dekat piring makanku dan segera meminum habis dalam sekali teguk.
"Sepeda?" tanya Obaa-san seakan baru sadar dengan keberadaan benda beroda dua tanpa mesin itu. "Ada di garasi samping rumah, bukan?"
Eiji sensei mengedik bahu sambil terus menggulung soba dengan sumpit. "Adakah di antara kalian melihat sepeda Hiroshi-kun berada di garasi dua hari lalu?"
Aku beringsut gelisah begitu semua kerabatku saling melirik dan menggelengkan kepala.
"Tidak ada?" sambung lelaki itu setelah mengedar pandang ke sekitar meja makan. "Karena memang bukan di garasi, melainkan di parkiran kafe tempat aku makan siang bersama Ayano-san. Betul begitu, Hiroshi-kun?"
"Konyol sekali omong kosongmu, Eiji-san. Asal anda tahu, aku belajar kelompok di rumah Kaoru siang itu. Butuh klarifikasi? Silakan telepon saja dia," bantahku sambil mengulurkan ponsel kepada lelaki itu.
"Lantas bagaimana sepedamu bisa sampai di kafe itu, hm?" tanya Eiji sensei sambil menggeleng. Urung mengambil ponselku.
Kuhembus napas lega karena Kaoru pasti kebingungan kalau Eiji sensei menelepon dan bertanya soal belajar kelompok dua hari lalu di rumah pemuda itu.
"Oh, ayolah. Bukan aku saja yang punya sepeda model begitu. Sepeda di kafe itu bisa milik siapa saja."
Eiji sensei mengedik bahu. "Gomenasai, Hiroshi-kun. Mungkin saja aku salah lihat. Jangan ketakutan begitu. Kamu tidak akan masuk penjara hanya karena lupa mengambil sepedamu di parkiran kafe itu."
Aku tersentak. Dia ... mengancamku?
"Kembali ke kursimu, Hiro-kun," titah Okaa-san ketika melihatku hendak beranjak dari meja makan. "Habiskan ramenmu."
"Perutku sudah kenyang, Okaa-san. Bisakah aku kembali ke kamar?" pintaku begitu sadar mereka semua tidak percaya padaku. Bahkan Okaa-san kini mulai meragu dengan kebenaran omonganku.
*tbc*
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalau suka, makasih udah mampir^^ dan sori kalo udah spam notif, baru kelar revisi dari prolog - part#4 :)
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Short Story21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...