3

103 6 1
                                    

Pepatah bilang, dunia akan terasa lebih indah dan penuh warna saat kita sedang jatuh cinta. Begitulah yang sedang kurasakan. Kehidupan sekolahku yang dulu suram, kini berganti terang benderang. Bahkan aku berharap tidak ada akhir pekan atau hari libur agar aku bisa bertemu Eiji sensei setiap hari.

"Pelan-pelan kalau makan," tegur Okaa-san kala melihat cara makanku saat kami sedang sarapan bersama. "Toh, masih pagi juga. Kenapa mesti buru-buru?"

"Agar bisa jadi murid teladan, Okaa-san," sahutku sambil menjepit tofu dengan sumpit dan segera memasukannya ke mulut.

Okaa-san geleng-geleng kepala sambil tersenyum simpul melihat perubahan napsu makanku yang mirip orang tidak makan selama sepekan. "Ibu kira karena tidak sabar ingin segera bertemu calon pacar."

Gerakan tanganku mendadak berhenti kala mendengar asumsi itu. Kemudian mendongak menatap Okaa-san di hadapanku. Bingung sekaligus takjub dengan intuisi beliau.

"Wajar, kok. Ibu dulu juga sering bertingkah begitu kalau sedang rindu ayahmu," sambung Okaa-san setelah menelan tofu. "Jadi, kapan kamu akan mengenalkan gadis itu pada Ibu?"

Aku berdeham. Memberi jeda agar pikiranku bisa mencari alasan logis untuk pertanyaan sarat harapan itu. "A-ano ... Okaa-san sudah salah--"

"Tak apa kalau kamu masih ragu untuk mengajak gadis itu ke rumah. Ibu bisa menunggu sampai kamu siap, Hiro-kun."

Entah kenapa, ucapan itu tidak membuatku merasa lebih lega. Malah membuat hatiku semakin bimbang. Oh, tentu akan semakin mudah kalau saja anggapan Okaa-san benar.

Selesai sarapan, aku pun segera berangkat ke sekolah naik sepeda. Udara pagi terasa segar dan hangat. Beberapa kali bertegur sapa dengan tetangga yang kebetulan kutemui di jalan.

Begitu tiba di sekolah, segera kuparkir sepeda di belakang bangunan bertingkat 5 itu. Kemudian bergegas ke ruang kelas yang berada di lantai 3.

"Ohayou, Hiro-san," sapa Kaoru begitu melihatku sudah duduk manis di bangku.

"Ohayou, Kao-kun."

"PR Hajime sensei sudah?" tanya Kaoru segera duduk di sebelahku dan membuka ransel mencari buku PR. "Pinjam, dong. Aku kesulitan di soal esai nomor tujuh dan sebelas. Boleh, ya? Please."

Kukedik bahu dan segera mengambil buku PR milik Daiki di ranselku. "Masih ada lima menit sebelum Daiki-san datang. Apa sempat?" sahutku sambil melirik jam dinding di depan kelas.

"Jangan meremehkan kecepatan menulisku. Apalagi kalau sedang terdesak, bisa meningkat jadi dua kali lipat," timpal Kaoru hiperbolis sambil mulai menyalin jawaban ke buku PR milik sendiri.

Kaoru menggeram saat mendadak kutarik buku PR-nya dan kusembunyikan di laci meja bangku kami begitu kulihat Daiki bersama Yutaka dan Yoshi memasuki kelas.

"Jangan mengajak bercanda sekarang, Hiro-san. Aku sedang sibuk--apa?" tanya Kaoru dengan alis terangkat. Belum sadar dengan kehadiran Daiki.

Kueja nama Daiki tanpa suara sambil menggulir bola mata ke arah sosok paling ditakuti di kelas kami.

"Mana buku PR-ku?"

Raut kesal Kaoru seketika berubah pucat saat mendengar suara mengerikan itu.

Aku segera menyerahkan buku PR yang hendak disalin Kaoru itu ke Daiki yang berdiri di sebelah bangku kami dengan satu tangan terulur.

"Sudah kukerjakan semua. Coba Daiki-sama periksa," kataku dengan kepala menunduk saat menaruh buku PR itu ke telapak tangan Daiki.

"Tidak perlu. Aku percaya padamu, Hiroshi-kun," sahut Daiki sambil melempar buku PR milikku ke meja bangkuku.

Kaoru mengambil napas panjang ketika Daiki sudah duduk di bangku barisan paling belakang. Di mana dia bisa tidur tanpa ketahuan sensei yang sedang mengajar.

"Hampir saja," ucap Kaoru sambil mengelus dada penuh rasa lega dan menoleh ke arahku dengan sorot menyesal.

"Aku tidak butuh kata maaf darimu," kataku kala melihat bibir Kaoru hendak mengatakan sesuatu. "Aku hanya ingin kau lebih waspada dengan keadaan sekitar saat sedang mencontek PR siapa pun. Tapi alangkah baiknya kau kerjakan sendiri saja agar bisa lebih paham dengan materi pelajaran."

"Siaaap, senpai!"

Aku mendengus. "Berhenti meledekku. Aku belum setua itu."

KRIIIINNNGGGG!

Dering bel masuk menjeda obrolan kami. Tak berselang lama, Hajime sensei masuk ke kelas dan menyuruh ketua kelas untuk mengumpulkan buku PR setelah kami memberi salam.

"Kageyama Hiroshi," panggil Hajime sensei sambil mendongak dari tumpukan buku PR yang sedang dikoreksi.

Kucekal lengan Kaoru saat hendak bangkit dari kursi dan kugeleng kepala ketika dia berpaling menatapku.

"Semua akan baik-baik saja, oke?" kataku menenangkan pemuda itu dan beranjak ke depan kelas dengan perasaan waswas. Apalagi kali ini?

"Sudah merasa pintar, heh?" tanya Hajime sensei dengan nada mengejek begitu aku tiba di depan meja guru.

Keningku mengerut. Mencoba menebak apa yang sudah membuat Hajime sensei bisa beranggapan begitu.

"Silakan keluar dan kerjakan PR-mu di koridor kelas," sambung Hajime sensei sambil membuang buku PR-ku ke lantai. "Selesaikan hari ini atau nilaimu akan sensei kurangi sepuluh poin. Mau?"

Bukan tersinggung, aku malah lega karena Daiki hanya lupa mengerjakan PR-ku. Tidak separah kejadian tempo lalu. Pernah aku mendapat hukuman membersihkan seluruh toilet gedung sekolah karena ada kata-kata mesum maupun gambar jorok pada jawaban di halaman buku PR-ku.

"Baik, sensei," sahutku sambil membungkuk hormat. Memungut buku PR-ku saat hendak keluar kelas.

Aku tidak marah, sungguh. Kalau boleh jujur, aku malah senang dengan hukuman itu karena bisa menikmati sosok menggoda Eiji sensei tanpa gangguan. Oh, betapa beruntungnya aku.

*tbc*

Jangan lupa vote dan komen, makasih udah mampir^^

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang