Karena sudah mendekati hari H, Okaa-san dan Eiji sensei mengambil cuti selama sebulan untuk mempersiapkan pesta pernikahan mereka serta acara bulan madu ke daerah pesisir agar bisa menikmati ketenangan alam berteman gulungan ombak dan hamparan pasir. Begitu pun mengagumi keindahan pantai di kala matahari terbit dan terbenam.
Hari itu kami pergi ke toko butik untuk pengepasan baju pengantin dan setelah memilih gaun dan setelan yang cocok, kami pun beralih ke sesi pengambilan foto pre wedding.
Meski malas, aku tetap patuh mengikuti segala instruksi juru kamera yang mengatur posisi badan kami agar tampak menawan dalam bingkai foto. Setelah pemotretan foto keluarga yang terdiri dari aku, Okaa-san dan Eiji sensei. Aku pun harus rela menyingkir dari depan lensa kamera yang siap membidik kedua calon mempelai pengantin itu.
Aku berusaha membuang muka meski tetap saja mataku melirik ke arah mereka yang sedang berpose mesra dengan senyum bahagia. Eiji sensei tampak begitu gagah dalam setelan tuksedo hitam pas badan. Menampilkan setiap lekukan otot yang menambah kesan jantan. Sangat serasi dengan Okaa-san yang bergaun putih panjang ala pengantin eropa membuat sosok beliau tampak lebih anggun dan elegan.
Menjelang siang sesi foto pre wedding selesai. Kami pun segera menuju kedai ramen untuk makan siang dan melepas penat setelah berdiri selama dua jam.
"Oke, foto pre wedding sudah. Tinggal apa lagi, ya?" gumam Okaa-san sambil mengambil buku notes dari tas tangan dan memeriksa daftar agenda yang tertulis rapi di sana. "Oya, kartu undangan pernikahan kita. Kenapa aku bisa melupakan hal sepenting itu, sih?"
Eiji sensei tertawa melihat tingkah panik Okaa-san yang lebih mirip gadis remaja yang lupa beli pembalut saat sedang datang bulan. "Tenang, Hitomi-chan. Kita bisa kirim undangan via surel. Lebih praktis dan efisien. Jadi waktu berharga kita tidak habis hanya untuk mengantar kartu undangan saja."
Okaa-san mendengus sebal. "Kau tidak punya malu, ya? Masa tanggal hari paling bahagia seumur hidup kita bisa dengan mudahnya dihapus dengan sekali tekan tombol delete saja?"
"Bukan begitu maksudku. Aku masih bisa mencetak kartu undangan pernikahan kita sebanyak apa pun yang kau mau. Tapi hanya karena keterbatasan waktu saja," jelas Eiji sensei sambil menggeleng gusar. "Apa kau pikir kita masih sempat menyebar kartu undangan dalam rentang waktu seminggu lebih dua hari?"
"Semua ini salahmu, Eiji-san. Kenapa kau melamarku tanpa persiapan matang? Bahkan tidak memikirkan hari yang baik untuk tanggal pernikahan kita."
Eiji sensei menggeram. "Oh, begitu. Jadi kau menyesal sudah menerima pinanganku? Lagipula kalau harus menunggu lama, aku bisa keduluan pria lain untuk bisa menikahimu."
"Huh, alasan klasik. Bilang saja kau sudah tidak sabar untuk--"
"Kita bisa pakai jasa layanan pengiriman barang untuk mereka yang tinggal di luar Distrik Fukushima," celetukku sambil lalu memotong ucapan Okaa-san karena sudah bosan mendengar perdebatan sepele mereka.
Toh, mau dalam bentuk kertas atau pun file elektronik tetap saja sama. Hanya sebatas kartu undangan yang akan dibuang begitu sudah lewat tanggal pernikahan seseorang. Jangan terlalu berharap akan dipajang di ruang tamu rumah mereka sebagai benda kenangan.
"Saran jenius, Hiroshi-kun. Jadi tinggal mengantar undangan ke alamat rumah teman kita yang berada di sekitar Distrik Fukushima saja," ucap Eiji sensei senang sambil mengacak rambutku yang duduk di seberang mereka.
"Oke, nanti malam aku akan mendata siapa saja teman kita yang tinggal di luar Distrik Fukushima. Arigatou, Hiro-kun," sambung Okaa-san lega sambil mencubit gemas pipiku.
"Okaa-san, berhenti mencubit pipiku!" protesku sambil melengos dengan pipi mengembung kesal. "Memalukan tahu. Apalagi di depan Eiji sensei."
Mereka pun tertawa kompak melihat pipiku merona. Sungguh menyebalkan.
Selesai makan siang, kami pun mampir ke toko cetak kartu undangan saat berkendara pulang. Setiba di rumah, mereka mulai sibuk mendata dan menulis alamat rumah di kartu undangan itu sebelum besok mereka bawa ke agensi pengiriman barang.
Aku memilih langsung masuk ke kamar dan merebahkan badan ke ranjang. Memejamkan mata mencoba mengubur kembali kenangan buruk yang sempat mencuat saat sedang berada di toko butik busana pengantin.
Alasan sebenarnya di balik keputusanku menjauh dari Otou-san ketika beliau masih hidup. Dan Eiji sensei yang sudah memicu kenangan buruk itu mencuat dari dasar ingatan masa laluku.
*tbc*
a/n:
Part depan masuk ke flashback, ya. Dan sori kalo bagian ini sangat pendek 😁😁😒 Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Makasih udah mampir^^
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Short Story21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...