Kafe itu cukup ramai saat aku tiba di sana. Segera masuk setelah kuparkir sepeda di sebelah barisan motor. Mengambil tempat paling ujung dari posisi motor milik Eiji sensei.
Aku memilih kursi dua meja di belakang Eiji sensei. Bersyukur karena dia sedang sibuk menatap layar ponsel. Mungkin sedang mengetik pesan. Tidak bisa memastikan karena posisiku yang berada di balik punggung lebar lelaki itu.
Benar saja. Ada satu pesan masuk di ruang obrolan setelah kuperiksa ponselku.
// Aku sudah tiba di kafe. kau di mana? masih lama di jalan? //
Dengan perasaan waswas, kuketik pesan balasan.
// Kena macet. Kau bisa menunggu? //
Kulirik kembali punggung lebar itu. Sekilas kulihat gerakan samar bahu lelaki itu. Pasti sedang mengetik.
Kembali muncul notif baru di layar ponselku. Bingo.
// Kalau dalam 15 menit kau tidak datang di kafe. Aku akan pulang //
Kugigit bibir bagian bawah. Bingung memilih harus membalas atau mendiamkan saja. Lantas kupilih opsi kedua.
Kupantau lelaki itu sambil sesekali melirik arlojiku. Menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksi.
Pada menit ketujuh, seorang pelayan datang ke meja lelaki itu. Menanyakan pesanan. Dari posisiku, suara mereka tidak sampai ke telingaku.
Kulihat lelaki itu membuka buku menu. Aku pun ikuti membuka dan membaca sekilas daftar menu di mejaku. Mencoba menebak menu mana yang akan dia pilih.
Tapi menurutku, lelaki itu tidak akan memesan makanan karena dia hanya singgah sebentar di kafe itu.
Tebakanku tidak meleset. Di kejauhan, kulihat pelayan itu keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi segelas Moca Latte. Aku segera bangkit ketika pelayan itu melintas di sebelah mejaku.
"Sumimasen," kataku mencoba mencegat pelayan itu.
Si pelayan spontan berhenti dan menoleh ke arahku dengan senyum ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"
"A-ano, anda tahu di mana toilet?"
Ketika pelayan itu memberikan instruksi arah yang harus kutuju disertai gerakan tangan, aku segera mencemplungkan tiga butir obat yang kudapat dari apotek pagi itu ke gelas Moca Latte.
Aku pun membungkuk sopan dan mengucapkan terima kasih kepada pelayan itu. Sambil berjalan menuju ke toilet, aku menengok sekilas ke arah meja lelaki itu. Tersenyum begitu melihat gelas Moca Latte itu di sana.
Saat aku kembali lima menit kemudian, kulihat gelas Moca Latte itu sudah separuh kosong. Namun belum tampak gejala dari khasiat obat itu. Lelaki itu masih kelihatan segar dan tidak mengantuk.
Apa obatnya tidak bekerja? Atau butuh waktu lama untuk bisa beraksi?
Aku tersentak kaget begitu mendapati puluhan notif panggilan tak terjawab. Tergeragap ketika lelaki itu kembali mencoba menelepon dan pada dering ketiga, panggilan itu tersambung.
Dengan panik kucolok kabel headset ke ponsel dan segera memasang benda itu ke telinga. Jantungku berdebar kencang kala menguping obrolan mereka.
"Aku sedang ada di rumah, mengurus kedua putri kecilku."
"Di rumah, kau bilang? Lantas kenapa kau mengajakku makan siang di kafe?"
"Kau pasti salah baca pesan. Aku tidak pernah makan siang di luar rumah dengan lelaki mana pun setelah aku menikah."
"Lantas siapa yang mengirim pesan itu?"
"Pesan mana?"
"Coba kau periksa semua pesanmu pagi ini," ada jeda sesaat. "Sudah?"
"Yah, tapi ... bagaimana bisa pesan itu ada di sana."
"Maksudmu bukan kau yang mengirim--ugh!"
Di depan sana, kulihat lelaki itu meremas sisi kepala. Sepertinya obat itu mulai bekerja.
"Eiji-san, kau tidak apa-apa di sana?"
"Aku baik saja. hanya sedikit--" kulihat lelaki itu mengibaskan kepala dengan cepat. "Agak pusing."
"Kau sakit?"
"Tidak, aku masih sehat. Oke, sudah sampai mana kita tadi?"
"Pesan salah kirim yang masuk ke ponselmu pagi ini."
"Yah, benar. Jadi bukan kau yang mengetik pesan salah kirim itu."
"Apa aku harus bersumpah dulu agar kau bisa percaya padaku?"
"Tidak perlu. Kau cukup berkata jujur padaku."
"Oke, kau sudah tahu bukan aku yang mengirim pesan itu."
"Lantas siapa? Jangan bilang kalau itu hanya kelakuan iseng kedua puterimu. Berani taruhan, menulis nama sendiri pun pasti mereka belum bisa."
"Meski agak tersinggung, tapi harus kuakui peruntunganmu sedang mujur hari ini."
"Jadi, kau yakin tidak ada janji dengan siapa pun siang ini?"
"Kau tahu sendiri suamiku. Dia paling benci keluyuran di luar rumah. Bahkan sekadar belanja saja harus ibu mertuaku yang pergi ke minimarket. Eiji-san, kau masih di sana? Hei, kenapa diam saja?"
Kulihat punggung lebar itu agak membungkuk ke arah meja.
"Yah ... aku--entahlah, mendadak kepalaku terasa berat sekali dan padanganku mulai--"
"Kau harus pulang, Eiji-san. Se-ka-rang."
"Kau masih belum berubah, Ayano-san. Masih si tukang perintah yang kukenal saat kuliah dulu."
"Berhenti melantur. Kau butuh tumpangan pulang? Aku bisa menjemputmu. Berikan saja alamat kafe itu padaku."
"Pasti akan merepotkan. Aku pesan taksi sa--"
Aku terlonjak kaget saat mendengar benturan dari meja di depanku. Bergegas mendekat begitu kulihat kepala lelaki itu sudah rebah ke meja sambil mengenggam ponsel yang masih menyala di tangan kanan.
Masih bisa kudengar panggilan Ayano dari headset di telingaku sebelum menghilang setelah kutekan ikon telepon warna merah di layar ponsel lelaki itu.
"Harap kalian semua tenang," kataku sambil menghadap ke arah kerumunan pengunjung kafe di sekitar meja Eiji sensei. "Dia hanya kecapekan setelah tiga hari bekerja lembur."
"Memang, kau siapa?" tanya sebuah suara dari kerumunan massa itu. Entah siapa yang berbicara.
"Dia ayahku," sahutku sambil menunjukkan fotoku saat pengambilan foto pre wedding tempo lalu.
"Mau kupanggilkan ambulans?" tanya seorang pelayan yang tadi mengantarkan minuman pesanan Eiji sensei.
"Tidak perlu. Tolong panggilkan taksi saja dan bantu aku memapah ayahku ke sana," tolakku sopan sambil mengangkat sebelah lengan Eiji sensei dan menaruhnya di leherku dan pelayan itu berada di sisi yang lain.
"Arigatou," ucapku kepada pelayan itu setelah kami berhasil memindahkan Eiji sensei ke kursi belakang sebuah taksi yang parkir di depan kafe itu.
Setelah pelayan itu pergi, kurogoh saku celana dan poles bibirku dengan lipstik merah marun. Kemudian kudekatkan kepala ke leher Eiji sensei yang tertidur pulas di sebelahku dan kukecup kerah kemeja lelaki itu.
"Sekarang kau sudah menjadi milikku, Sensei," bisikku di telinga Eiji sensei dan kusandarkan kepala ke pundak lelaki itu saat taksi kami mulai melaju.
*tbc*
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Короткий рассказ21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...