15

51 6 0
                                    

Pagi itu langit tampak biru cerah. Meski sudah memakai mantel tebal dan sarung tangan, udara masih terasa mengigit. Gigiku juga terasa gemeletukan karena suhu yang turun di bawah minus derajat celcius.

"Sebaiknya kamu menunggu di rumah saja, Hiro-kun," kata Okaa-san sambil mengamati tubuhku yang mengigil kedinginan.

"Aku ikut dengan kalian," bantahku sambil menjaga suaraku tetap stabil.

"Dasar keras kepala. Kalau nanti malam kamu demam, jangan merengek ke Ibu," ancam Okaa-san geram meski pada akhirnya mereka mengalah dan mengajakku.

"Kita bagi tugas saja," usulku saat mobil sewaan kami sudah kawasan perumahan di mana mertua Ayano-san tinggal. "Bukankah malah akan lebih cepat? Mobil kita parkir saja di sini dan kita bisa mulai berjalan kaki menuju arah berlawanan."

Mereka tampak kurang setuju. Tapi melihat matahari sudah mulai condong ke sisi barat, padahal masih ada separuh sisa kartu undangan di mobil.

"Baiklah, kita pisah di sini dan kalau kalian sudah selesai duluan, tunggu saja di mobil. Tidak ada yang boleh keluyuran ke mana-mana. Aku tidak mau buang waktu untuk mencari kalian kalau sampai tersesat nanti," putus Eiji sensei dengan nada gusar.

"Siap, Bos!" hormat kami pada Eiji sensei yang langsung melenguh lelah.

Tidak lama kemudian, aku tiba di depan pagar rumah bertingkat dua dengan plang berukiran nama marga 'Hideoshi' menempel di sebelah pintu pagar.

Setelah ketukan ketiga, pintu rumah itu terbuka dan tampak wanita paruh baya di sana. "Cari siapa, Nak?"

"A-ano, ada kiriman undangan untuk--"

"Hiroshi-kun?" panggil sebuah suara dari belakang wanita tua itu. "Oh, ternyata benar itu kau. Ayo, masuk. Jangan sungkan begitu. Suhu di luar sangat dingin," sambung suara itu begitu melihatku berdiri di depan wanita itu.

"Di sini saja, Ayano-san. Lagipula, aku kemari hanya mau kasih kartu undangan."

"Undangan pernikahan Eiji-san?"

Aku mengangguk. "Apa anda sibuk akhir pekan depan?"

Ayano-san tampak bimbang. "Suamiku sudah berencana akan kembali ke itabashi akhir pekan ini karena proyek kerjanya sudah selesai di sini."

Binar mataku meredup mendengar kabar itu. Rencanaku bisa berantakan kalau Ayano pulang duluan sebelum tanggal pernikahan Okaa-san dengan Eiji sensei.

"Jadi, anda tidak bisa datang?"

Ayano mengedik bahu. "Tapi tenang saja, Hiro-kun. Aku akan coba bujuk suamiku. Barangkali, dia bisa mengundur kepulangan kami ke itabashi."

Aku tersenyum senang. "Arigatou, Ayano-san."

"Kamu pulang dengan siapa?" tanya Ayano setelah mengamati kartu undangan yang kuberikan dan menatapku dengan raut cemas. "Jangan bilang kamu sudah naik kereta sendirian ke sini."

Aku menggeleng. "Aku pergi dengan Eiji-san dan Okaa-san. Tapi aku berpisah dengan mereka di jalan untuk mengantar undangan itu sendirian."

"Jadi, di mana mereka sekarang? Kalau mau, aku bisa mengantarmu ke sana."

"Tidak usah, Ayano-san. Bukankah anda sedang sibuk mengasuh kedua putri kecilmu?"

"Aku bisa titip mereka sebentar ke Ibu mertua."

Aku tetap menolak tawaran itu. "Aku telepon mereka saja untuk menjemputku kemari. Mungkin mereka juga sudah selesai mengantar undangan di sana."

"Yah, ide bagus. Jadi, tunggu apalagi?" tanya Ayano saat melihatku diam saja.

"Sumimasen, Ayano-san. Boleh pinjam ponselmu sebentar? Bateraiku mati."

Ayano mendengus geli. "Oke, tunggu di sini. Aku ambil dulu di dalam," sahut ayano sambil masuk kembali ke rumah dan keluar tidak lama kemudian.

Aku segera membuka aplikasi berkirim pesan di ponsel milik Ayano. Beruntung aplikasi itu tidak memiliki pola atau kata sandi sehingga bisa dengan mudah kusadap agar bisa memantau aktivitas dan meretas pesan obrolan wanita itu dari ponselku.

Entah kenapa, aku tidak bisa mengenyahkan perasaan seperti sedang menjarah ruang privasi Ayano-san. Meski aku tidak begitu menyesal.

"Sudah?" tanya Ayano saat kuserahkan kembali ponsel itu ke pemiliknya.

"Aku sudah bilang akan menunggu di depan pagar rumah ibu mertuamu," jawabku dan segera pamit setelah mengucap terima kasih pada wanita baik hati itu.

Sungguh ironis, bagaimana kebaikan wanita itu akan bermuara ke pusara air tuba.

Apa aku jahat? Kurasa, tidak. Karena tidak ada orang baik di zaman sekarang ini. Hanya ada sekumpulan orang munafik yang berusaha tampil mulia di depan umum untuk menutupi kebusukan hati mereka.

*tbc*

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang