14

43 5 0
                                    

Sepertinya aku sempat ketiduran dan mengalami mimpi buruk. Karena saat aku bangun, keringat dingin sudah membasahi wajah dan sekujur badanku. Membuatku mengigil.

Cahaya redup mengintip dari jendela kamar tidurku yang bergorden tipis. Sesaat aku kehilangan disorientasi akan waktu. Apa ini masih sore atau sudah pagi? Rasanya aku sudah mengalami mimpi buruk itu lama sekali.

Kulirik jam beker di meja nakas dan terkejut seberapa singkat aku barusan tidur. Hanya lima belas menit tapi rasanya hampir seperti sudah berbulan-bulan di alam mimpi. Mungkin benar, waktu di alam mimpi berjalan sangat cepat karena tidak membutuhkan detail akurat dari setiap tindakan yang kita perbuat.

Oke, bahasan soal mimpi cukup sampai di sini.

Setelah kesadaranku pulih total, aku beranjak turun dan menemukan Eiji sensei dan Okaa-san sedang sibuk menuliskan nama dan alamat di setiap kartu undangan di ruang tengah.

"Masih lama?" tanyaku membuat mereka mendongak dari kartu undangan yang sedang mereka pegang.

"Kurang dua puluh lembar. Kamu mau bantu, Hiro-kun?" sahut Okaa-san sambil mengedik dagu ke kartu yang berserakan di meja.

"Tentu. Kapan kita pergi mengantar undangan?" tanyaku lagi sambil duduk di seberang Eiji sensei dan menelusupkan kakiku ke balik selimut di bawah meja pendek agar tidak kedinginan.

"Kalau bisa, besok kita berangkat pagi-pagi sekali. Jadi mungkin bisa selesai sebelum hari gelap," sahut Okaa-san sambil melirik Eiji sensei yang tampak sedang serius menulis. "Kau bisa bangun jam enam pagi, Eiji-san?"

"Akan kupasang alarm tepat pukul enam agar tidak telat bangun besok," jawab Eiji sensei dengan tenang sambil mendongak dan tersenyum jahil. "Atau aku menginap saja di sini malam ini?"

Okaa-san menggeleng tegas sambil melipat tangan ke dada. "Oh, sayang sekali. Rumah kami kekurangan kamar kosong untukmu."

"Aku tidak masalah tidur di sofa ruang tamu. Kelihatan cukup empuk dan nyaman."

"Atau mungkin tidur di kamarku saja agar lebih hangat. Udara bisa sangat dingin kalau sudah beranjak malam," timpalku mendukung lelaki itu.

"Ranjangmu tidak cukup lebar untuk menampung dua orang," larang Okaa-san tanpa pikir panjang.

"Aku cuma ingin membantu," balasku sambil mengedik bahu. "Apa salahnya menolong seseorang?"

"Berbuat baik juga punya batasan, Hiro-kun. Jangan pernah memberi sesuatu kalau untuk kebutuhan pribadi kita saja belum tentu cukup," bantah Okaa-san sambil menghela napas panjang. "Kamu lapar?"

"Kalian belum makan?" tanyaku balik sambil memandang mereka bergantian.

Okaa-san mengangguk. "Oke, Ibu akan memasak makan malam dan kamu tetap di sini membantu Eiji-san."

Setelah kami sepakat, Okaa-san segera pergi ke dapur. Meninggalkan aku bersama Eiji sensei yang masih diam saja. Apa mereka sempat bertengkar saat aku sedang tidur di kamar?

"Sensei?"

Lelaki itu tidak merespons. Mungkin suaraku kurang keras.

"Sensei," ulangku dengan nada naik satu oktaf. Namun sama saja. Lelaki itu tidak mengubris panggilanku. Dia kenapa, sih? Apa dia sedang marah padaku?

"Eiji sen--"

"Kau sudah lupa dengan janji yang sudah kita sepakati bersama?" tanya Eiji sensei masih tanpa menatapku. Masih sibuk dengan kartu undangan sialan itu.

Setelah merenung sejenak, aku pun teringat. "Oh, soal hubungan kita itu? Gomenne, Otou-san."

Eiji sensei pun tersenyum sambil menggeser beberapa lembar kartu undangan ke dekatku. "Ayah akan diam kalau kamu salah memanggil. Jadi, kamu harus ingat itu baik-baik."

Bibirku mencebik dan dengan malas membaca deretan nama di daftar tamu yang belum ditulis di kartu undangan. Keningku mengerut ketika tidak menemukan nama mantan kekasih lelaki itu dalam daftar tamu. "Kenapa Ayano-san tidak diundang?"

"Tidak etis mengundang mantan ke resepsi pernikahan."

"Kalian masih berteman, kan?"

"Hmm ... mungkin. Kami mulai jarang komunikasi sejak kami putus. Tapi jarang mengobrol bukan berarti kami saling musuhan, bukan?"

"Di mana rumah mertua Ayano-san? Dia bilang sedang berkunjung ke rumah mereka."

Eiji sensei menyebutkan alamat rumah itu cukup cepat untuk ukuran seorang pria yang sudah melupakan semua kenangan indah saat masih bersama sang mantan.

Kukedik bahu tak acuh dan mulai menulis nama wanita itu di sana tanpa persetujuan dari Eiji sensei. Toh, masih banyak sisa kartu undangan. Jadi tidak masalah kalau harus menambah satu atau sepuluh tamu undangan yang tidak masuk dalam daftar itu.

Setelah makan malam, Eiji sensei pamit pulang sedang aku kembali ke kamar. Tak sabar menunggu esok pagi menjelang. Semoga semuanya lancar.

*tbc*

Jangan lupa vote dan komen, ya. Makasih udah mampir^^

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang