9

54 6 3
                                    

Karena sudah hampir tiba jam makan malam, Eiji sensei mengusulkan untuk makan malam di kedai ramen. Aku pun setuju karena aku sedang malas memasak di rumah.

"Jadi, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan gadis itu?" tanya Eiji sensei setelah memesan dua mangkuk ramen ke pelayan kedai. "Ayah dengar dari ibumu, kalau belakangan ini kamu sedang dekat dengan seseorang. Kalau boleh tahu, siapa nama gadis itu? Barang kali ayah bisa bantu kalau kamu kasih tahu."

Kuhela napas frustrasi. Tidak menyangka kalau Okaa-san akan mengumbar privasiku tanpa seizinku. Meski hanya sebagian saja yang benar. Tetap saja itu sangat mengangguku. Andai saja mereka tahu bahwa orang yang sedang kuincar itu bukan seorang gadis, melainkan lelaki yang kini sedang duduk di hadapanku.

"Kurasa, dia tidak mencintaiku," sahutku lesu sambil mengedik bahu.

"Dari mana kamu bisa tahu itu? Memang kamu sudah menembak gadis itu?" tanya Eiji sensei sambil menatap lekat wajahku.

"Berpikir realistis saja. Aku tak punya kelebihan apa pun. Mana ada gadis yang akan suka padaku," balasku sambil memalingkan muka dari tatapan tajam lelaki itu yang mendadak membuatku risih.

"Jangan cepat pesimis dulu. Tidak semua gadis memandang cowok dari penampilan luarnya saja," bantah Eiji sensei sambil mengebrak meja membuat beberapa pelanggan kedai di sebelah kami terlonjak kaget. Lantas menoleh ke meja kami dengan tatapan terganggu.

"Yah, mungkin ada beberapa. Tapi kalau disuruh memilih antara cowok menarik dan pemuda biasa saja, menurutmu mereka akan pilih yang mana?" balasku menantang sambil memajukan badan ke seberang meja. "Berani taruhan, bahkan cowok super jenius kalah pamor dengan cowok berandalan yang suka tawuran.  Anda tahu kenapa? Karena mereka tidak membosankan yang setiap hari bergaulnya dengan buku saja."

"Tapi, pasti ada--"

"Tolong hentikan, sensei. Aku sudah muak membahas masalah ini lagi," tukasku sambil mengangkat sebelah tangan untuk menghentikan semburan kata-kata motivasi dari Eiji sensei. "Mungkin bagi sensei masalah menggaet gadis itu sangat sepele. Tidak heran sih, kalau aku punya tampang dan postur badan seperti sensei, aku jamin tidak ada satu pun gadis yang akan menolak."

Eiji sensei tergelak. "Siapa bilang tidak ada satu pun gadis yang menolakku? Bahkan dulu semasa kuliah, ada satu gadis yang mencampakkanku karena tampangku yang menurutnya bisa membuat para istri lupa dengan suami mereka. Dia bilang tidak sanggup pacaran denganku karena sudah lelah harus mengawasiku sepanjang waktu agar tidak digoda tante-tante genit itu."

Aku tidak kaget sih mendengar pengakuan pahit itu. "Begitulah resikonya jadi pria tampan. Harus kuat tahan iman dari segala macam godaan."

Eiji sensei mengangguk setuju. "Kadang aku berharap lahir sebagai pria biasa saja. Yah meski akan susah kalau ingin mencari pasangan. Tapi setidaknya hidupmu akan jauh lebih tenang."

Kami terpaksa menjeda obrolan karena pesanan kami sudah datang. Selesai makan ramen, Eiji sensei bertanya padaku apa ingin langsung pulang ke rumah atau jalan-jalan dulu sebentar keliling kota sambil menunggu Okaa-san pulang.

Kami pun segera menuju taman hiburan malam setelah berdebat cukup sengit ketika menentukan tempat tujuan. Saat sedang mengantre beli tiket rolescoster, tiba-tiba ada satu wanita asing menghampiri kami.

"Kau ... Eiji Takeda, kan? Masih ingat aku?" tanya wanita asing itu begitu tiba di depan kami. "Atau kau pura-pura tidak mengenalku karena masih marah padaku?"

"Tentu saja aku masih ingat padamu, Ayano-san. Kau wanita pertama yang berhasil mematahkan hatiku," sahut Eiji sensei sambil tersenyum kepada wanita itu. "Kapan pulang? Bukankah kau pindah ke Itabashi bersama suamimu?"

Oh, jadi wanita ini yang dulu mencampakkan Eiji sensei, pikirku sambil mengamati sosok Ayano yang bertubuh ramping meski dalam balutan mantel tebal.

"Oya, siapa pemuda lucu yang bersama itu?" tanya Ayano sambil beralih memandangku. "Jangan bilang kau sudah menikah tanpa mengundangku. Dasar curang, padahal dulu aku sudah mengundangmu meski kau tidak hadir ke resepsi pernikahanku!"

Eiji sensei tertawa melihat wajah wanita itu merengut sebal. "Dia muridku. Yah, meski dua pekan lagi Hiroshi akan resmi menjadi putraku."

"Hiroshi?"

Aku pun angkat bicara. "Itu namaku. Kageyama Hiroshi. Salam kenal, Ayano-san."

Ayano pun turut membungkukkan badan sama sepertiku. "Senang bertemu denganmu Hiro-kun. Oya, apa kalian masih lama di sini?"

Aku dan Eiji sensei pun saling berpandangan. Seakan sedang mencari persetujuan satu sama lain.

"Ya, sekitar setengah jam lagi. Aku harus mengantar Hiroshi pulang tepat pukul delapan. Kenapa?" tanya Eiji sensei setelah melirik arloji sekilas.

"Begini, aku mau beli sesuatu untuk ibu mertuaku. Jadi apa aku boleh menitipkan mereka sebentar padamu?" pinta Ayano sambil memanggil dua gadis kecil yang sedang berdiri di depan pagar pembatas komedi putar. Lantas kedua gadis kecil itu pun berlari ke arah kami. "Tidak sampai lima belas menit, kok. Boleh, ya?"

"Bagaimana, Hiroshi?" tanya Eiji sensei membiarkan aku yang mengambil keputusan.

"Tidak masalah selama mereka bisa tenang dan tidak berkeliaran sembarangan. Pasti sulit mencari dua gadis kecil di tempat seramai ini," sahutku sambil mengedar pandang ke sekitar kami.

"Tenang saja. Mereka penurut, kok. Ibu akan pergi sebentar. Jadi jangan nakal, oke?" balas Ayano sambil mengecup pipi kedua anak itu sebelum pamit dan pergi meninggalkan kami.

"Masih ingin naik rolescoster?" tanya Eiji sensei sambil menoleh ke arahku.

"Aku berubah pikiran. Bagaimana kalau kita naik bianglala saja. Kalian setuju?" tanyaku pada kedua gadis kecil itu yang sontak mengangguk kompak.

Kami pun segera pindah ke bagian loket penjualan tiket bianglala yang tidak kalah panjang barisan antreannya. Sepertinya waktu setengah jam akan habis hanya untuk membeli tiket saja. Hah, melelahkan sekali malam ini.

*tbc*

Jangan lupa tinggalkan vote dan komen. Makasih udah mampir^^

LIMERENCE [BL] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang