"Kenapa kau tidak mengadu, Hiro-san?" tanya Kaoru saat aku sudah kembali masuk ke kelas karena jam pelajaran Hajime sensei sudah berakhir. "Kalau terus diam saja, tidak akan ada satu pun sensei yang tahu soal perbuatan curang Daiki-san."
Kukedik bahu tak acuh. "Karena memang itu lebih mudah. Lagipula, aku tidak butuh pujian atau pun nilai memuaskan dari mereka. Aku tidak butuh kesenangan semu seperti itu. Aku hanya ingin bisa segera lulus dari penjara neraka ini dan menghasilkan uang sendiri."
Kaoru berdecak kesal. "Kalau begitu, kenapa tidak kau pilih putus sekolah dan langsung bekerja saja? Lebih simpel dan praktis daripada harus menderita selama tiga tahun di sini."
"Kaupikir semudah itu mencari kerja? Mereka butuh tenaga kerja yang berpendidikan dan punya sertifikasi. Tanpa itu, kau akan sulit bersaing."
Kaoru membuang muka. Kesal karena tidak bisa membalas argumenku. "Tapi kalau lulus dengan prestasi akademis rendah, tetap saja percuma. Kau pasti akan langsung tereliminasi dari daftar calon pegawai perusahaan elit mereka. Bahkan tanpa mau repot-repot melirik biodatamu."
"Kukira, prestasi akademis hanya sekadar angka di atas kertas. Banyak cara untuk memanipulasi angka itu. Bahkan mayoritas murid di kelas kita lebih senang mengambil jalan pintas."
Bibir Kaoru mengerucut. "Kau sedang meledekku?"
"Aku hanya memaparkan beberapa fakta di lapangan," sahutku mengelak dari tuduhan Kaoru.
Kaoru bergumam. "Hmm ... berbicara soal lapangan, aku jadi teringat dengan obrolan kita senin kemarin."
Aku mengumpat tanpa sadar. "Oh, lupakan saja. Sangat tidak penting kita ungkit masalah itu sekarang."
Kaoru tersenyum sinis. "Jangan harap kali ini kau bisa kabur dariku, Hiro-san. Tidak sebelum kau kasih tahu aku siapa pria pujaanmu itu."
Mengerang begitu Kaoru menyambar lenganku dan memajukan badan mendekat ke jendela di sisi kananku.
"Jadi, nomor punggung berapa calon ipar sahabatku?" tanya Kaoru sambil melongokkan kepala keluar jendela. Menengok ke kanan-kiri. Memantau setiap orang yang sedang bermain basket di lapangan.
"Berhenti bersikap memalukan, Kao-kun. Lehermu bisa patah kalau terus seperti itu," tegurku sambil memegang pinggang Kaoru agar tidak jatuh dari bingkai jendela.
"Seperti apa sih tipe cowok idamanmu, huh?" tanya Kaoru mengabaikan peringatanku. "Tinggi kurus? Badan tegap? Bahu lebar? Perut sixpack? Lengan kekar? Rahang jenggotan? Atau..."
Suara berisik Kaoru berangsur memudar ditelan debar jantungku begitu mataku menemukan sosok Eiji sensei berdiri di tepi lapangan sambil memegang papan kertas di tangan kiri dan sebuah pulpen di sebelah kanan.
Aku pasti melamun cukup lama karena begitu sadar, Kaoru sudah di sampingku dengan satu tangan mengibas-ibas di depan mataku. Membuatku mengerjap kaget.
"Apa yang--oh, dia menatap ke sini!" pekikku kaget sambil merundukkan kepala dengan harapan lelaki itu tidak bisa melihatku dari bawah sana. Lantas mengumpat dalam hati karena sudah terbuai pesonanya.
Berbeda dengan reaksiku begitu tepergok sedang mengintip, Kaoru malah melambaikan tangan sambil berseru lantang. "Konnichiwa, Eiji sensei!" sapa pemuda itu setelah mengikuti jejak garis pandanganku yang berakhir pada sosok guru olahraga itu.
Dari sudut mataku, kulihat Eiji sensei mengangkat sebelah tangan serta memberikan anggukan singkat sebagai balasan. Bersikap biasa selayaknya guru dan murid. Sepertinya aku saja yang berlebihan dalam merespons situasi. Toh, lelaki itu tampak tidak peduli dengan kelakuan tercelaku barusan.
"Seleramu buruk sekali, Hiro-san. Di antara sekian ratus cowok hetero di sekolah kita, kau lebih memilih Eiji sensei?" tanya Kaoru memastikan bahwa aku belum sepenuhnya gila.
"Dia baik, kok. Tampan pula. Menurutku, sih," sahutku sambil tertawa gugup. Mencoba menepis tatapan tidak setuju Kaoru. "Aku tahu pasti akan sulit bersatu dengan Eiji sensei. Selain fakta dia guru olahraga kita, gender kami pun sama. Yah, meski ada kelonggaran kebijakan pemerintahan di beberapa prefektur di Jepang terkait kesetaraan gender. Tapi tetap saja akan lebih banyak orang yang menolak mengakui hubungan semacam itu."
"Jadi, kau akan tetap maju meski sudah tahu konsekuensi dari membina hubungan dengan lelaki itu?"
Kukedik bahu. "Mungkin tidak sampai sejauh itu. Toh, aku juga belum tahu pasti apa dia sama sepertiku. Bagiku sudah cukup dengan mengaguminya dari jarak jauh."
"Tetap saja kau akan merasa terluka kalau sudah jatuh terlalu dalam. Bahkan, kau mungkin bisa mati terkubur di bawah sana saat kelak dia mencampakkanmu," sanggah Kaoru sambil meremas lenganku. Cukup kuat sampai membuatku meringis. "Hentikan semua ini sebelum terlambat, Hiro-san. Kau hanya akan menghancurkan masa depanmu kalau memilih terus jatuh ke dalam pesona lelaki itu."
Namun jauh di lubuk hati, aku tahu tidak akan bisa berhenti jatuh. Bahkan aku bersedia mati untuk terus mencintai Eiji sensei. Malaikat penyelamatku. Pahlawanku. Hanya bersama dengan lelaki itu, hidupku akan aman dari segala ancaman.
*tbc*
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalau suka, makasih udah mampir^^
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE [BL]
Short Story21+ Boyslove . . . Kupikir, Eiji sensei menyukaiku. Akan tetapi aku salah, dia mencintai Okaa-san dan mereka akan segera menikah. Apakah aku harus menyerah? Atau tetap berjuang menaklukan hati lelaki itu? Namun, bagaimana dengan perasaan Okaa-san...