27 - Dinner

792 114 14
                                    

Play  | Tulus - Adaptasi |

Jangan berubah, meski keadaan memaksamu berubah.

Be yourself first.

Satu jam berlalu, tetapi terasa beberapa detik yang lalu. Motor Zira berhenti di salah satu rumah bak istana. Gino turun dari motor dan berlari masuk ke dalam rumahnya.

"Woy! Kunci motornya kenapa dibawa-bawa?!" teriak Zira saat melihat cowok itu mencabut kunci motornya dan pergi begitu saja.

"Tunggu bentar!" sahut cowok itu dari dalam rumah.

Zira memajukan duduknya. Ia menatap takjub rumah milik keluarga cowok itu. Baru kali ini ia melihat rumah besar yang ramai dengan suara orang-orang yang ada di dalam rumah itu.

Biasanya rumah besar selalu sepi bahkan tak berpenghuni, tetapi rumah ini tampak hangat, walaupun hanya dilihat dari luarnya. Zira diam-diam bersyukur keluarga sahabat kecilnya masih tetap harmonis seperti dulu.

"Masuk sini." Seseorang melambai-lambaikan tangannya kepada Zira.

Mata beriris biru itu sedikit menyipitkan untuk melihat jelas sosok orang itu. Dari suaranya, seperti suara seorang wanita.

"Nunggu Thuska, kan? Dia kebiasaan banget suka lupa ajak tamunya masuk." Wanita itu mendekati Zira, lalu tersenyum hangat.

Zira membalas senyum wanita itu dengan kaku. Itu Fitri, ibu Gino. Wanita paruh baya itu tak banyak berubah, masih tetap supel dan elegan. Masih suka memanggil Gino dengan panggilan Thuska, sesuai nama tengah cowok itu.

"Gak apa-apa kok, Tan. Kayaknya Gino gak lama." Zira turun dari motornya, lalu menyalami wanita itu.

"Thuska lagi mandi, masuk aja dulu. Kebetulan Tante masak banyak, sekalian makan malam bareng aja."

Zira menggeleng cepat. "Gak usah-"

Fitri merangkulnya. "Pak! Masukin motornya ke garasi ya!" seru Fitri kepada satpam rumah agar memasukkan motor Zira.

Jantung Zira bertalu dengan cepat. Ia benar-benar rindu dengan sosok wanita yang sedang merangkulnya.

"Duh, Tan, aku pulang aja deh." Zira merasa kaku. Pasti di dalam rumah itu ada Irwan -Papah Gino- mungkin juga ada saudra-saudara cowok itu, hingga rumah besar itu tampak ramai.

"Pulangnya nanti, beres makan malam." Fitri memaksa Zira agar makan bersama. "Kamu pacarnya Thuska?"

"Bu-bukan, Tan."

"Kok gugup gitu sih?" Fitri terkekeh. "Pacaran sama Thuska juga gak apa-apa kok. Tante dukung."

Zira terbelalak, lalu tertawa garing. "Enggak, kita gak pacaran kok."

"Ini pertama kalinya lho, Thuska ngajak cewek ke rumah." Fitri terkekeh. "Nama kamu siapa?"

"Zira." Entah apa yang sedang bergejolak di benak Zira ketika mendengar dirinya cewek pertama yang diajak ke rumah cowok itu.

Mereka semakin masuk ke rumah besar itu. Dari sini pun Zira dapat mendengar suara orang-orang yang sedang bercengkerama.

"Lagi ada acara keluarga, ya? Aku pulang aja deh, Tan." Zira berhenti melangkah, ia hendak berbalik, tetapi Fitri mencegahnya.

"Cuma acara makan malam biasa kok, gabung aja gak usah sungkan." Fitri tersenyum hingga matanya menyipit.

Zira tak tahu lagi bagaimana cara menolak atau lebih tepatnya cara agar ia bisa kabur dari sini. Namun, percuma saja ia kabur, kunci motornya saja ada di Gino.

CLASSIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang