Suara tetesan infus terdengar sangat pelan, nyaris tak terdengar, terkalahkan oleh deru napas yang berhembus dari seorang gadis yang masih setia memejamkan matanya sejak satu jam yang lalu.
Ruangan serba putih itu dilanda keheningan yang tahan lama, hanya ada empat insan nyawa yang hidup di sana. Tiga pria dengan berbadan tegap itu menatap Zira yang terdampar lemah di brangkar rumah sakit.
Kelopak mata Zira bergerak, tak lama manik mata birunya terpancar. Keheningan yang pertama kali Zira rasakan.
“Mel,” lirih Zira. Matanya menyapu sekitarnya dengan gerakan yang lambat. “Melvin mana, Ji?” tanyanya.
Aji, Kenny, dan Raihan hanya saling tatap, tak ada yang mau menjawab pertanyaan gadis itu.
Zira membangunkan tubuhnya, kepalanya bergerak gelisah mencari sosok Melvin yang tadi hadir di ingatannya.
“Melvin,” panggil Zira dengan suara yang serak.
“Ra.” Kenny langsung mendekati brangkar, menahan cewek itu yang hendak turun.
“Melvin mana?” tuntut Zira, tangan kanannya mencabut infus yang menusuk punggung tangan kirinya. Kepanikan melanda dirinya. Jangan bilang ia tadi mimpi berjumpa dengan Melvin?
“Ra tenang dulu. Lo tadi pinsan.” Raihan bersuara.
“Gue pinsan?” beo Zira. Kepala gadis itu menggeleng, ia sudah janji untuk tak pinsan. Tadi ia hanya berjongkok dan tersenyum mendegar kekehan Melvin.
“Lo pinsan tadi, terus dibawa ke IGD,” papar Aji.
Zira menelaah perkatan Aji, sumpah demi apapun ia tak merasa menjatuhkan diri di lantai rumah sakit dengan alasan pinsan.
“Ji, gue … ketemu Melvin tadi.”
“Lo udah sejam pinsan, mungkin tadi mimpi, Ra.”
“Gue ketemu dia tadi, gue gak mimpi!” Meski pusing mendera kepala, Zira melangkahkan kakinya yang lemas ke dekat pintu. Lantai marmer rumah sakit yang dingin menyapa telapak kaki Zira yang tak beralas.
“Ra, lo masih butuh istirahat. Lo tadi syok liat berita.” Aji menyusuli cewek itu.
Zira menepis tangan Aji yang menyentuh bahunya. “Gue lebih syok kalo gak bisa ngebuktiin kalo yang tadi itu nyata.” Sekuat tenaga Zira berlari mendekati pintu lift yang perlahan menutup. Satu tangannya yang dingin dipaksakan menempel di pintu stanless steel lift dengan tubuh yang terkulai lemas, menghentikan pergerakan pintu baja yang hendak menutup.
“Jangan ngehalangin gue.” Tarikan napas Zira lakukan sambil memaksakan diri masuk ke lift yang kosong. Tangannya bergetar sambil menekan tombol lift beberapa kali agar pintu lift segera tertutup.
Pergerakan Aji terhenti saat bahunya ditahan oleh Raihan, membiarkan tubuh Zira perlahan dilahap pergeseran pintu lift.
Dengan mata yang berlinang air, Zira menyatukan kepingan memori saat ia bertemu dengan Melvin. Ia tak bermimpi, ia tak berhalusinasi, ia benar-benar merasakan kecupan bibir tipis Melvin di dahinya.
Zira menatap monitor kecil lift yang sedang naik ke atas, tepatnya ke rooftop. Tempat yang dijanjikan Melvin untuk bertemu.
Samar-samar suara baling-baling helikopter terdengar di telinga Zira, membuat kakinya bergerak dengan semangat menuju pintu besi rooftop yang terbuka. Angin menerpa permukaan wajah Zira saat ia telah menginjakkan kaki di permukaan rooftop.
“Melvin,” lirih Zira. Jantungnya berpacu sangat cepat, tenda kelambu buatannya dengan Aji tersapu hancur oleh angin kencang dari helikopter. Rangkaian lampu kuno bergoyang dengan riang, mengikuti arah mata angin dari baling-baling helikopter.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLASSIC [END]
Novela JuvenilHaha. Satu kata itu mampu mewakili bagaimana konyolnya hidup ini. Semesta selalu saja memberikan kejutan. Di kehidupan yang penuh drama ini, kita dituntut untuk pandai berakting. Seperti sekarang... Kejutan besar dan sangat klasik sedang menimp...