63 - Sweet Revenge

1.2K 89 138
                                    

Hallo..

Bab terakhir nih ☺

Ramein tiap barisnya kuy, terakhiran nih

Selama aku nulis chapter ini ditemani sama lagu Let Her Go by Passenger dan lagu I miss you, Im sorry by Gracie Abrams.

Boleh kalian coba dengerin juga sambil baca chapter ini 🤗

Siap ending, ya. Oke, selamat membaca bab ini.

* * *

63 - Sweet Revenge

Kita tak ditakdirkan untuk satu sama lain dan itu baik-baik saja.

Tidak, mereka tak baik-baik saja.

Aliran sungai kembali terbuat di pipi mulus Zira, siapa cowok di hadapannya? Berapa banyak luka yang sudah ia torehkan di hati Gino?

Algino Thuska Mahesa, cinta pertamanya. Cowok yang tak pernah ia duga masih memiliki ikatan keluarga dengannya. Rasa yang berlabuh di hati Zira untuk cowok itu, rasanya mustahil untuk melangkah lebih jauh.

“Jangan nangis lagi, semuanya udah takdir.” Gino mengusap pipi Zira. “Om Hendra udah tenang di sana, jangan buat beliau sedih gara-gara kamu belum ikhlas.”

Bagaimana bisa cowok itu menenangkan Zira saat dirinya sendiri juga sama-sama membutuhkan ketenangan?

Zira menatap Gino, sembilan hari yang lalu cowok itu menggunakan jas hitam legam untuk berangkat ke Beirut. Namun, sekarang penampilannya jauh dari keadan semula. Hanya kaus dekil dan celana cokelat lusuh yang terpasang di tubuhnya. Kepalanya dililiti perban yang tak lagi berwarna putih karena ternodai darah dan debu. Matanya terlihat sangat sayu, tapi masih bisa menampung harapan. Goresan-goresan ganas menyerang sekujur tubuhnya, apalagi wajahnya.

Sekali lagi Zira bertanya, siapa Gino? Bagaimana bisa Gino memaksakan dirinya untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Zira setelah petarungan sengit melawan maut baru saja cowok itu lalui?

“Kamu harus dirawat.” Zira memapah Gino, padahal cowok itu masih bisa menopang dirinya sendiri.

Gino bergeming sesaat. Kamu? Kata sesimpel yang dilontarkan Zira tadi berdampak pesat bagi kecepatan detak jantung Gino.

“I'm fine,” ucap Gino, meski ia tak menolak Zira membawanya ke ruang medis.

“Gak ada yang baik-baik aja sekarang, No.” Zira membantu Gino duduk di brangkar UGD, beberapa perawat langsung mendekati mereka dengan menggiring troli medis.

“Biar saya saja.” Zira mengambil alih alat-alat medis yang sudah siap di tangan salah satu perawat.

“Maaf, tapi ini sudah menjadi tugas kami,” ujar salah satu perawat wanita.

“Tugas kalian masih banyak di sana, saya bisa menangani pasien ini.” Dagu Zira menunjuk pintu UGD yang ramai dengan korban yang jauh lebih parah dari Gino yang sudah susah payah di bawa ke tempat ini untuk mendapatkan pertolongan medis.

Mata Gino tak pernah sedikitpun bergeser untuk melirik hal lain, selain Zira yang sedang mengobati luka-lukanya. Boleh kah Gino merasa senang saat dikhawatirkan oleh cewek itu? Boleh kah ia merasa bersyukur ada Zira yang hadir saat semuanya terasa berat untuk dilalui sendiri?

“Kamu harus bed rest.” Zira membuang perban lusuh yang tadi melilit kepala Gino.

Gino terkekeh, membuat tulang rusuknya terasa terjepit. “Aku gak kenapa-napa, Ra.”

Menempeli plester di rahang bawah Gino, menjadi penutup kegiatan Zira dalam mengobati cowok itu. “Istirahat,” titah Zira, tak mau dibantah.

Dalam pilu yang menyergap, Zira sangat bersyukur karena Gino masih selamat dan terlihat tak separah korban lainnya. Ia hampir kehilangan Gino untuk kedua kalinya.

CLASSIC [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang