"Besok kalo Melvin gak pulang, kamu harus lupain dia. Sesuai janji kamu dua tahun yang lalu," ujar Gino sambil mengusap lembut kedua punggung tangan Zira.
Dalam degup jantung yang berpacu cepat, Zira memohon agar pertahanannya tak rubuh. Meskipun sudah ribuan kali ia harus merenovasi benteng pertahanannya.
“Gue yakin dia pulang, No.” Zira menarik kembali kedua tangannya.
Gino tersenyum. “Kamu ikut aku ke Beirut, ya,” pintanya. “Kita juga harus launching produk kolaborasi kita di sana.”
Zira menggeleng. “Gak bisa, No. Perjalanan Jakarta-Beirut itu enggak dekat. Kalo seiyanya kita berangkat sekarang, paling baru besok presentasinya. Gue juga besok harus nyambut Melvin pulang.”
“Ini produk kita, Ra. Udah seharusnya kita launching di setiap negara yang ada relasinya sama perusahaan Om Hendra dan papah.”
“I know. Tapi, kenapa harus ke Beirut dulu? Kenapa enggak Singapura atau Malaysia yang deket?”
“Karena Beirut tempat pertama yang punya relasi sama perusahaan mereka. Kamu mau ngecewain Om Hendra?” Gino berkata pelan, harap-harap cewek itu berubah pikiran.
Zira menghela napas. “Gue tetap gak bisa, No. Lagipula kayaknya gak masalah kalo gue gak hadir. Nanti gue ngomong sama Om Hendra, dia pasti ngertiin gue.”
Setelahnya, Zira berlalu pergi dengan perasaan yang tak enak. Sudah berkali-kali ia membuat cowok itu kecewa, tapi mengapa kali ini terasa berbeda?
Seperti ada sesuatu yang mengganjal relung hati Zira. Ada dorongan untuk menghentikan Gino yang akan pergi ke Beirut. Zira hendak berhenti melangkah, tapi setelah dipikir-pikir untuk apa ia menghentikan Gino yang akan pergi ke luar negeri?
Bukannya akan bagus jika cowok itu pergi agar acara perjumpaan dirinya dan Melvin tak ada yang mengganggu.
Ia benar, kan?
* * *
Gelak tawa Zira memenuhi seantero permukaan rooftop rumah sakit. Perutnya mulai terasa sakit karena tawanya tak henti-henti. Sedangkan Aji hanya diam, perkataannya tadi sangat serius, tapi Zira hanya menganggap lelucon.
“Lo ikutan stand up comedy, Ji?” tanya Zira, tawanya masih belum reda.
Aji mengacak-acak rambutnya frustrasi, ekspetasinya terhadap Zira di luar kendali. Ia sangka cewek itu akan nangis atau marah tapi ...
“Tentara emang pada dasarnya gak bisa berbohong kali, ya? Jadi sekalinya bohong, kek komedian.” Zira kembali tertawa setelah berkata itu.
“Gue gak bohong,” sanggah Aji dengan ketus.
“Aji.” Wajah Zira merah padam, menahan tawanya. “Lo terlalu polos atau apa, ya?” Zira menghembuskan napasnya. “Seorang intel gak bakal buka kartu kalo dirinya intel, Aji. Kalo intel buka kartu, berarti dia bukan intel, lah.”
Aji mengangkat kedua bahunya. “Emangnya intel gak buka kartu ke pasangan hidupnya?” tanyanya.
“Iya, tapi lo sama Melvin bukan pasangan hidup, kan?” Zira terkekeh. “Gue lupa belum ngasih tau lo, Ji. Melvin itu orangnya suka ngeprank, jadi lo harus ati-ati. Gue dulu sering kena prank dia, sampai mewek.”
Dengan kasar Aji menghembuskan napas. “Terserah lo mau percaya atau enggak. I have told to you.”
“Gimana gue mau percaya kalo lo belum ngasih bukti yang valid?” tanya Zira.
“Besok kalo Melvin gak balik, berarti dia intel yang lagi ngebantuin tugas militer di Beirut, Lebanon. Melvin gak mau bawa kalung militernya karena dia gak mau pulang cuma tinggal nama yang ada kalung itu. Dia optimis bakal balik tugas sama tubuhnya, tapi dia gak janji bakal balik besok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CLASSIC [END]
Teen FictionHaha. Satu kata itu mampu mewakili bagaimana konyolnya hidup ini. Semesta selalu saja memberikan kejutan. Di kehidupan yang penuh drama ini, kita dituntut untuk pandai berakting. Seperti sekarang... Kejutan besar dan sangat klasik sedang menimp...