Play | Sam Smith - Too Good At Goodbyes
Pelukku untuk pergimu, tangisku untuk bahagiamu.
Taburan bunga menutupi sebagian gundukan tanah yang masih basah. Bermacam jenis bunga menemani kokohnya papan nama itu. Mendungnya cuaca hari ini selaras dengan kondisi hati orang-orang yang hadir di pemakaman itu.
Melvin berjongkok, menatap nama yang terpampang jelas di papan kayu putih itu. Tangannya mengusap pelan nama yang tertulis, hatinya semakin tersayat.
Lelehan yang keluar dari matanya menjadi bukti betapa hancurnya cowok itu. Tak ada ruang di dalam dadanya untuk menarik napas, yang selalu ia rasakan adalah sesak. Orang yang pernah ia sayang harus pergi selama-lamanya dengan cara yang kurang baik.
Ingin sekali memutar ulang waktu agar alur hidupnya tak seperti ini.
Bahu Melvin ditepuk dari belakang, si pemilik bahu menoleh dan mendapati pria tegap lengkap dengan seragam kepolisian.
"Terima kasih atas bantuannya." Pria tegap itu memakai topi yang sedang ia pegang tadi.
Melvin mengusap sudut matanya yang berair, ia mengangguk samar. Perlahan pria dari kepolisian itu meninggalkannya. Satu persatu orang-orang yang ada di pemakan itu pergi, kecuali Melvin. Cowok itu masih betah berlama-lama di sana dengan kesedihan yang belum ada titik terangnya.
"Maafin Melvin, paman." Berkali-kali ia menyebut sederet kata berisi permohonan maaf yang ditujukan kepada sosok yang terkubur di bawah tanah itu.
Melvin berdiri, untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan pemakaman ia menatap nanar gundukan tanah itu. Kakinya mulai bergerak meninggalkan tempat, semakin jauh ia melangkah, semakin terasa pula bagaimana rasa bersalah ketika ia menembak pamannya sendiri yang telah melukai gadis yang ia cinta.
Dirga Adhytama Nathaniel, paman Melvin.
* * *
Gaun putih selutut membalut lembut tubuh gadis yang sedang berdiri di ujung rooftop, rambut cokelat panjangnya tergerai. Hembusan angin merasa bersalah karena mulai membuat rambut gadis cantik itu berantakan.
Selalu dan pasti, tempat ini yang menjadi candu bagi dia. Ditemani langit senja yang indahnya tiada tara. Hanya di sini gadis itu bisa menenangkan diri.
Melvin tersenyum lebar, tebakannya tak pernah tergelincir. Ia tahu spot favorit gadis yang telah lama mengisi relung hatinya.
Dari tempatnya berpijak, wangi lavender dari tubuh gadis itu menghunus indra penciumannya, membuat setiap organ tubuhnya rileks.
Melvin menghentikan langkahnya saat jarak mereka tinggal tiga langkah, sedangkan gadis itu masih asik menatap pemandangan di depannya. Melvin menunduk, ia mengeluarkan kotak kecil berwarna biru dongker dari saku celananya.
Cicin berlian yang ada di kotak itu berkilau indah karena pantulan sinar matahari sore. Cicin itu mungkin akan menjadi cicin kedua yang ia sematkan di salah-satu jari gadis itu.
Degup jantung Melvin tak berirama dengan semestinya, terasa ingin keluar dari tempatnya. Tangan kakunya gemetaran, padahal ia hanya ingin memberikan hadiah kepada Zira.
Tak disangka, gadis yang membuat jantung Melvin berdegup hebat itu berbalik, menyadari keberadaannya. Mata biru gelap cewek itu membuat dirinya terlena dengan keindahannya.
"Hai, Mel." Zira tersenyum manis, sampai titik fokus Melvin hanya kepada garis yang sedang melengkung itu. Tangannya buru-buru menyembunyikan kotak cicin biru dongker di balik tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLASSIC [END]
Teen FictionHaha. Satu kata itu mampu mewakili bagaimana konyolnya hidup ini. Semesta selalu saja memberikan kejutan. Di kehidupan yang penuh drama ini, kita dituntut untuk pandai berakting. Seperti sekarang... Kejutan besar dan sangat klasik sedang menimp...