Gadis Ayu Marshanda adalah cewek manis dengan kulit putih, hidung dan bibir yang mungil serta mata hitam yang indah. Gadis tampak sibuk memasak di dapur untuk makan malam. Setelah siap ia kemudian pergi mandi.
"Ah segarnya," ucap Gadis sambil tersenyum.
"Waah enak nih kalo pergi jalan-jalan jam segini." Gadis kemudian pergi jalan-jalan di sekitar desanya. Gadis tampak bahagia melihat pemandangan di depannya. Gadis terus berjalan sambil sesekali melihat orang-orang yang tampak sibuk di sawah. Kemudian Gadis melihat matahari yang hampir tenggelam, ia harus segera pulang. Gadis berjalan pulang ke rumahnya sambil menyapa orang-orang desa. Gadis memang anak yang ramah.
"Kamu kemana, nak. Ibu cari-cari daritadi gak ketemu," ucap Ibu Gadis, Ningsih.
"Maaf bu, Gadis tadi jalan-jalan sebentar." Gadis kemudian masuk ke rumahnya yang sederhana.
Malam pun datang, semua orang di desa pulang ke rumah masing-masing. Tidak ada lagi kegiatan di luar.
"Ayah mana, Bu?" tanya Gadis karena tidak melihat Ayahnya, Haerun.
"Ayah kamu masih sakit,dia gak kuat jalan," ucap Ningsih tampak sedih.
Gadis tidak tega melihat Ibunya sedih seperti ini. Gadis jarang melihat Ibunya sedih, karena yang ia tahu Ibunya adalah orang yang kuat. Demi keluarga ia rela kerja menggantikan suaminya yang sedang sakit.
"Ibu harus kuat, ya." Gadis memegang tangan Ningsih berusaha menyalurkan kekuatan melalui sentuhan tangan. "Nanti Gadis yang bawa makan malam ke kamar Ayah," ucap Gadis sambil tersenyum ke arah Ningsih. Ningsih membalas senyuman putrinya.
Tok tok tok!
Gadis mengetuk pintu kamar Ayah dan ibunya. Ia terbiasa mengetuk pintu sebelum masuk, walaupun itu pintu kamarnya sendiri. Kebiasaan yang aneh emang. Gadis membuka pintu dengan perlahan. Gadis dapat melihat Ayahnya terbaring lemah di kasur. Gadis berjalan mendekat dan meletakkan nampan berisi makanan di meja.
"Ayah bangun, makan malam dulu. Ayah harus makan dan minum obat supaya cepet sembuh," ucap Gadis berusaha membangunkan Haerun. Haerun nampak terganggu dengan suara Gadis dan terbangun.
Haerun tersenyum ketika tahu Gadis ada di hadapannya, putri kecilnya yang sekarang sudah tumbuh dewasa. Haerun mengelus pucuk kepala Gadis dengan sayang.
"Nak, Ayah gak tau kapan Ayah akan dipanggil oleh Tuhan."
Gadis mendengar itu kaget. "Ayah ngomong apasi. Jangan ngomong yang aneh-aneh. Gadis yakin Ayah pasti bisa sembuh."
Ayahnya menggeleng. "Kita tidak tau kapan kita mati, nak. Sebelum Ayah udah gak ada lagi di dunia ini, Ayah ingin liat Gadis menikah," ucap Haerun menatap putri semata wayangnya.
Gadis menggeleng kuat, ia tidak mau dijodohkan. "Gadis gak mau Ayah. Gadis masih sekolah. Gadis masih kelas 2 SMA." Gadis menunduk menatap kakinya.
Haerun mengangkat kepala putrinya untuk melihatnya. "Nak, Ayah mohon, buat permintaan Ayah yang terakhir terkabul. Ayah hanya ingin melihat Gadis bahagia sebelum Ayah pergi. Ayah sudah memilihkan Gadis calon. Dia adalah kepala desa. Bukankah kepala desa kita tampan dan muda, masa Gadis tidak mau." Gadis menatap Ayahnya dengan tatapan berkaca-kaca.
Gadis kembali menunduk, ia tahu jika kepala desa adalah seseorang yang tampan dan masih muda. Selain itu dia adalah orang yang baik. Seharusnya tidak sulit untuk Gadis menikahi kepala desanya. Tapi tetap saja, Gadis tidak ingin menikah. Tidak menikah diusia mudanya. Gadis masih ingin sekolah, dan menggapai cita-cita menjadi dokter. Emang mustahil Gadis menjadi dokter dengan kehidupannya yang seperti ini. Tapi Gadis yakin, ia pasti bisa menggapai cita-citanya.
Gadis kemudian mengangkat kepalanya dan menatap Ayahnya sambil tersenyum.
"Gadis pikirkan dulu ya, Yah." Gadis kemudian keluar kamar dan menutup pintu. Gadis menghela napasnya. Apa yang harus ia lakukan?
***
Hari ini adalah hari Minggu. Gadis bangun pagi-pagi. Jam menunjukkan pukul lima pagi. Gadis kemudian pergi ke kamar mandi. Ia terbiasa bangun pagi dan mandi pagi. Setelah mandi dan membersihkan rumah, Gadis pasti pergi jalan-jalan di sekitar desanya. Ia sangat bahagia dengan kehidupannya. Gadis menghirup udara pagi ini. Begitu segar. Orang-orang sudah keluar untuk beraktivitas di sawah.
Matahari sudah keluar dari persembunyiannya. Matahari semakin lama semakin naik, cuaca semakin panas. Tapi, tidak menghilangkan semangat orang-orang yang bekerja.
"Ibu, Gadis bawa makan siang buat Ibu," ucap Gadis sambil meletakkan bungkusan berisi makanan dan minuman.
"Ayah kamu udah makan?" Ningsih mengelap keringatnya. Cuaca hari ini benar-benar panas.
"Udah, Bu. Sekarang Ibu makan dulu. Kerjanya nanti lagi." Gadis kemudian membuka bungkusan itu dan mengeluarkan isinya.
"Ningsih! Ningsih!" Ningsih melihat Pak Arwan pemilik sawah tempat ia bekerja.
"Ada apa, Pak?"
"Ini gaji kamu. Kamu tau sendiri panen kita kemarin gagal, jadinya gajinya cuman dapat segini," ucap Pak Arwan.
"Gapapa, Pak. Terima kasih," ucap Ningsih. Arwan tersenyum dan pergi.
Ningsih melihat uang yang ada di tangannya dan menghela napas.
"Bagaimana kita bisa mencukupi hidup kita dengan uang segini. Belum beli beras, obat Ayah kamu dan biaya sekolah kamu." Gadis memeluk Ibunya. Gadis berusaha kuat, agar Ibunya juga kuat. Gadis mati-matian agar air matanya tidak jatuh.
***
Gadis pulang dari sawah. Tapi di tengah perjalanan ia melihat orang-orang sedang berkumpul.
"Ayo-ayo yang ingin bekerja di Kota. Pekerjaan yang mudah dengan gaji yang besar. Yang mau yang mau silakan segera mendaftar diri sebelum kesempatan ini habis," ucap seorang lelaki berjas warna hitam.
Orang-orang berjas lainnya memberikan sebuah brosur kepada orang-orang desa. Gadis tertarik dan ingin melihat brosur itu. Bekerja di kota ? Apakah ini jalan yang diberikan Tuhan padanya? Tapi bagaimana dengan sekolahnya? Gadis kemudian pulang dan memberi tahu Ayah dan Ibunya nanti. Semoga saja mereka setuju.
***
Hai gaes, aku penulis baru. Sebelumnya aku tulis cerita tapi aku hapus karena ada beberapa masalah, dan ini termasuk cerita kedua yang aku buat. Kalian bisa komen kalo ada kesalahan atau apa, aku pasti seneng banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALUNG PERJODOHAN (END)
FantasyHidup Gadis Ayu Marshanda atau akrab dipanggil Gadis baik-baik saja sebelum mendengar bahwa Ayahnya ingin menjodohkannya dengan kepala desa. Gadis tentu saja menolak perjodohan itu dan pergi bekerja ke Jakarta melalui seseorang yang datang ke desany...