11-Rumor

119 16 2
                                    

Perasaan Erina jauh lebih bahagia dan tenang dari sebelumnya, bahkan ia merasa aman. Ya, karena disampingnya memang sudah ada laki-laki penyelamat pertamanya dan kehadirannya, bukan hanya sebagai sosok yang ia kagumi di awal sebagai seorang idol, tapi lebih dari itu. Erina sekarang menganggap bahwa Yeon Jin adalah laki-laki yang ia butuhkan saat ini sebagai alarm anti trauma untuknya.

Yeon Jin pun juga menyadari, ternyata apa yang berbeda dari sosok Erina dengan wanita lain bukan hanya senyumnya yang membuat hatinya damai, tapi ternyata wanita ini memang bagian dari masa lalunya, walau sesaat, tapi entah mengapa tidak sulit bagi Yeon Jin untuk mengingatnya lagi. Dan perbuatannya kala itu menimbulkan kesan yang mandalam di hatinya saat ini.

Lalu, mereka berjalan beriringan menuju set lokasi.

Dalam perjalanan, Yeon Jin sesekali menoleh pada Erina yang terlihat terus memancarkan senyum. Senyumnya itu menular padanya juga.

“Erina.”

“Ada apa?”

“Aku ingin tanya, kenapa jika Islam sudah melarang pacaran, lantas mengapa masih ada saja yang berpacaran? Ya, aku penasaran saja sih. Karena, kalau bukan melalui proses pacaran, kita jadi tidak bisa mengenal calon pendamping hidup kita nanti,” komentarnya.

Erina memberhentikan langkahnya. “Ya, kau tau darimana kalau yang jadi pacarmu akan menjadi jodohmu?”

Perkataan Erina bagai petir di siang bolong. Sakit tapi tak berdarah.

“Kan bisa dari proses pacaran itu tadi,” belanya.

“Tapi banyak tuh yang pacaran tapi tidak berakhir di pelaminan,” Erina menampar balik pernyataan Yeon Jin.

“Iya juga sih,” batin Yeon Jin dengan wajah polos.

Erina menghela nafas berat. “Pacaran itu hanya buang-buang waktu, tenaga dan uang. Coba, kalau sudah putus, pasti semua pengeluaran itu akan menjadi sia-sia. Dan lagi, dalam pacaran itu semuanya penuh kepalsuan,” ucapnya dengan wajah jengkel.

Yeon Jin menoleh gusar. “Kata siapa? Masa sih?”

“Sebebas-bebasnya pacaran, hal sekecil pun tetap akan di tutupi. Terutama soal kebiasaannya di rumah.”

“Kalau tidak pacaran, lantas sama sekali kita tidak tau sifat dan kebiasaanya. Itu jauh lebih parah,” Yeon Jin tetap pada argumennya.

Wajah Erina sedikit tegang dengan menahan emosi yang tengah meluap-luap.

“Kau mau beragumen padaku dalam konteks apa? Umum atau agama?” tanyanya dan mulai menoleh pada Yeon Jin.

“Agama. Aku tanya dalam pandangan Islam kenapa tidak dibolehkan berpacaran,” tekannya.

“Kalau konteks umum, aku yakin tidak ada gunanya juga aku menjelaskan ini panjang lebar. Karena pasti tidak akan ada ujungnya karena bertumpu pada pemikiran masing-masing. Tapi kalau dalam pandangan Islam, ya itu tadi, aku sudah sedikit menjelaskan. Bahwa dampak berpacaran itu, semuanya penuh kepalsuan. Ketika sudah menikah baru tau sifat aslinya, merasa kaget, ilfil dan akhirnya?”

“Akhirnya apa?”

“Kau jawab saja sendiri.”

Yeon Jin hanya menyipit.

“Jatuh cinta itu adalah hak siapa saja. Tetapi, yang menjadi masalah adalah bentuk penyaluran rasa cinta itu sendiri. Kalau seseorang belum siap berkomitmen ke jenjang yang lebih serius, lalu dia bilang dia cinta, itu adalah bohong,” tekannya, “Karena buat apa jika cinta tapi tidak dilandaskan dengan sebuah komitmen? Itu artinya, cintanya itu hanya main-main, hanya dilapisi oleh nafsu saja, yang sewaktu-waktu, jika nafsu itu tidak dikendalikan, maka fatal akibatnya. Dan itulah mengapa sekarang kita banyak dengar berita hamil di luar nikah. Dan kalau pasangan kita adalah orang yang baik, dia tidak akan menjadikan cintanya itu nafsu sesaat, dia tidak akan mengotori tangannya untuk memegang tubuh pasangannya seenaknya.”

CINTA DARI UFUK TIMUR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang