Chapter 12

923 175 17
                                    

Wendy menghadiri pemakaman Yiren ditemani oleh Yeeun dan juga beberapa staf rumah sakit lainnya. Mata Wendy sudah sangat bengkak dan kini dirinya berdiri sambil memeluk sang kakek yang juga menangis dengan begitu pilu didepan pusara cucunya.

Wendy tak kuasa untuk tidak kembali menangis mengingat sang kakek berjalan tertatih-tatih dengan nafas tersengal, basah kuyup dan berlumuran darah menggendong cucunya ke IGD seorang diri sambil berteriak minta tolong. Mendengar suara tangis pilu sang kakek, hati Wendy yang sudah hancur seperti kembali di injak menjadi bubuk.

Perlahan semua orang pergi dan meninggalkan kedua orang tua Yiren yang masih menangis memeluk batu nisan Yiren, sang kakek, Wendy dan Yeeun.

"Terima kasih dr. Wendy... Yiren meninggal dalam keadaan tersenyum." Ucap sang kakek dengan suara parau dan terlihat kelelahan. Wendy mengusap air mata yang tak kunjung berhenti lalu mengangkat tangan sang kakek, menempelkannya ke keningnya. "Maafkan aku kek..." Ucap Wendy.

"Andwae, andwae. Kau tidak boleh meminta maaf. Kau tidak salah. Ini memang sudah waktunya untuk Yiren hidup dengan bahagia disisi Tuhan. Di sudah punya rumah yang jauh lebih nyaman disana." Ucap sang kakek sembari mengusap kepala Wendy seperti kepada cucunya sendiri.

Wendy kembali menangis namun kini dipelukan sang kakek. Satu-satunya beban terbesar dirinya menjadi seorang dokter adalah, setiap ia kehilangan seorang pasien, hatinya begitu tersiksa. Ia tau betul itu resikonya dan dilarang untuk terlalu terlibat dalam perasaannya ketika menangani pasien, tapi Wendy tidak bisa. Karena hatinya lah ia bisa menjadi seorang dokter, semua yang ia lakukan, berasal dari hatinya.

...

Wendy kembali ke rumah sakit bersama Yeeun karena Wendy harus kembali berjaga di bangsal isolasi. Keadaannya terlihat sangat kacau. Sebenarnya rumah sakit membolehkannya untuk beristirahat sampai besok, namun Wendy menolak karena ia butuh sebuah distraksi dari rasa sedihnya. Lagipula ia tidak mungkin pulang kepada Mark dengan kondisi seperti ini, jadi ia memilih untuk langsung kembali bertugas.

"Kau baik-baik saja?" Sapa Taeyong menghampiri Wendy yang baru saja sampai di IGD sepulang menghadiri pemakaman Yiren. Wendy hanya memandangnya dengan mata yang sembab lalu terdiam. "Tidak. Kau butuh istirahat. Kemari." Taeyong menarik Wendy ke pelukannya.

Wendy memejamkan matanya merasa lelah. "Jangan paksakan dirimu untuk kembali bertugas Wan. Kau harus memulihkan hatimu sendiri sebelum memulihkan hati orang lain." Nasihat Taeyong dengan lembut. Wendy menganggukan kepalanya menyerah kepada dirinya sendiri.

Taeyong menagkup wajah Wendy lalu merapikan rambut Wendy yang berantakan. "Kau mau pulang? Aku bisa antar." Tawar Taeyong. "Aku tidak bisa menemui Mark kondisi begini..." Ucap Wendy merajuk. "Baiklah kalau begitu, kau mau kemana sekarang? Aku temani." Ucap Taeyong.

"Maukah kau membicarakan soal orang tua Mark?" Tanya Wendy. "Dengan kondisi dirimu seperti ini? Apa kau yakin?" Tanya Taeyong tidak berani menolak. Wendy menganggukan kepalanya. "Aku yakin."

...

Taeyong dan Wendy kini duduk di cafe rumah sakit. Wendy terlihat menunggu Taeyong menceritakan semuanya. "Ada banyak yang ingin aku akui, maafkan aku karena tidak meminta izinmu terlebih dahulu untuk melakukan ini." Taeyong mengawali ceritanya dengan meminta maaf.

Wendy menganggukan kepalanya bingung. Taeyong mengeluarkan berkas dan menaruhnya di hadapan Wendy. "Aku melakukan tes DNA menggunakan rambut Mark yang menempel di pakaianku ketika Mark digendong olehku. Aku melakukannya karena aku seperti melihat Mark sebelumnya..." Jelas Taeyong.

Wendy membuka berkas tersebut dan membacanya lamat-lamat. "Lanjutkan." Pinta Wendy. "Oke, sekarang aku bingung harus memulai dari mana. Aku punya kakak perempuan Wan. Namanya Seohyun. Dia kabur dari rumah bersama kekasihnya dan setelah itu kami tidak pernah mendengar kabarnya selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya tiba-tiba suatu hari, ia ternyata mengunjungi ibu nya Jaehyun, bibiku. Membawa seorang anak laki-laki."

Wendy masih terlihat menyimak dengan sabar. "Aku bercerita soal Mark sebelumnya kepada bibiku. Aku berkata aku punya anak sekarang, lalu aku memperlihatkan foto Mark kepadanya. Beliau bilang, Mark mirip dengan anak kakakku. Bukan hanya itu, aku sempat menguntit rumah kakak ku karena aku... bagaimanapun juga aku ingin tau keadaan kakakku... aku adiknya. Memastikan dirinya baik-baik saja itu sudah menjadi sebuah reflek untukku."

"Dan aku melihat Mark keluar dari rumah kakakku, berulang kali, saat ia berangkat sekolah sendirian, berjalan kaki." Ucap Taeyong. "Dan ketika aku melakukan tes DNA, lalu hasilnya menunjukan bahwa ia adalah Mark yang aku tau sebagai anak kakak kandungku positif, aku.... merasa harus menceritakan semuanya kepadamu. Karena sekarang kau adalah ibunya."

Wendy terlihat berusaha mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. "J-Jadi... ibunya Mark adalah... kakak kandungmu?" Tanya Wendy. Taeyong menganggukan kepalanya. Wendy menghela nafas terkejut. Tidak menyangka bahwa dunia akan sesempit ini. "Jadi alasan kau tiba-tiba sukarela menjadi ayahnya karena..."

Taeyong menganggukan kepalanya sebelum Wendy menyelesaikan kalimatnya. "Ya tuhan..." Wendy menghela nafas lega ketika mendengar semua penjelasan ini. "Terima kasih Taeyong..." Ucap Wendy tulus sambil memandangi berkas ditangannya sambil tersenyum haru. Taeyong terkejut dengan respon Wendy.

"T-Terima kasih?" Tanya Taeyong bingung. "Kau memberikanku jawaban yang selama ini aku cari. Pihak kepolisian tidak dalam menemukan data keluarga kakakmu ketika... ya kakakmu... kau tau." Wendy menghindari topik kematian kakaknya Taeyong. Taeyong menganggukan kepalanya tanda mengerti.

"Aku turut berduka atas kakakmu. Jika aku tau lebih awal, mungkin sudah dari lama aku mengatakan ini. Maafkan aku." Ucap Wendy menyesal. Bagaimanapun Seohyun adalah kakaknya, Wendy tidak bisa melampiaskan rasa dendamnya kepada Taeyong. Taeyong tidak ada andil di dalam nasalah ini.

"Jangan meminta maaf. Kau tidak salah. Aku bersyukur kakakku meninggal. Terdengar jahat memang, tapi lebih baik begitu dari pada ia terus hidup di jalan yang salah." Ucap Taeyong terlihat ikhlas atas kepergian kakak satu-satunya itu. Wendy tersenyum lalu menggenggam tangan Taeyong dengan erat.

"Terima kasih juga sudah memberiku alasan kuat untuk membiarkanmu masuk ke kehidupan Mark." Tambah Wendy. Taeyong tau Wendy selama ini ragu kepadanya karena hal ini, dan ia bertekad untuk mencarikan jawaban kuat yang dapat membuat mereka berdua yakin pada posisi masing-masing dan keputusan masing-masing.

"Apa kau tidak apa-apa? Maksudmu... setelah semua yang terjadi hari ini, lalu berita tentang Mark dan sebagainya..." Taeyong terlihat sangat khawatir. "Kau membantuku untuk menjadi lebih tenang. Jauh lebih tenang. Urusan Yiren, aku sudah tau harusnya aku mengikhlaskannya. Bagaimanapun juga itu takdir Tuhan, kita tidak boleh menentangnya. Ada yang lebih menyayangi Yiren di atas sana, aku yakin itu. Lalu urusan ini, kau tidak membuatku cemas Taeyong. Kau membantu aku melepas tali yang selama ini mengikatku. Aku merasa sangat ringan dan bebas. Terima kasih."

Wendy benar-benar terlihat lebih baik dari pada tadi saat awal bertemu Taeyong di IGD. "Syukurlah. Itu niatku dan aku senang ternyata sampai kepadamu sesuai dengan niatanku." Ucap Taeyong. Wendy tersenyum begitupun Taeyong.

"Wan," Panggil Taeyong.

"Hm?"Wendy menoleh karena sempat melamun melihat keluar jendela.

"Bolehkah aku datang ke rumahmu?"

"Boleh. Kapan?"

"Aku tidak akan sendirian."

"Maksudmu?" Wendy mengerutkan dahinya bingung.

"Bolehkah aku datang ke rumahmu bersama Jisoo, Jaehyun, orang tua Jisoo, orang tua Jaehyun, dan ibuku?" Taeyong tersenyum ketika melontarkan pertanyaan tersebut.

Wendy terlihat langsung gugup dan panik. "Taeyong. B-Bukannya aku-"

"Bolehkah aku datang ke rumahmu dengan tujuan untuk meminangmu?" Tanya Taeyong akhirnya memperjelas tujuannya.

...

P U Z Z L E✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang