Bab 8| Luka Batin

236 21 1
                                    


Arkana Al Haddad

Arkana Al Haddad

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.

Happy reading all:)

------------------------------------

Keputusan masuk ke ruangan milik Arkan, sama seperti mengambil keputusan loncat ke jurang, sama-sama menegangkan dan meregang nyawa seseorang. Sepuluh menit sudah Manda berdiam diri di depan pintu ruangan milik dosen barunya tersebut, menimbang-nimbang haruskah ia masuk atau tidak hingga menghitung kancing kemeja yang di kenakannya dengan mulut berkomat kamit sambil bergumam; 'Masuk, enggak. Masuk, enggak.' Tapi, jika Manda tidak kunjung masuk, entah apa tanggapan dosen lain yang terus saja melintas silih berganti.

Manda menghembuskan nafasnya dengan perlahan, menggosokkan kedua telapak tangannya untuk mengenyahkan kebimbangannya. Sejenak, Manda pun mengangguk mantap membulatkan tekad untuk mengetuk ruangan milik dosen tampan tersebut.

Jari telunjuk yang Manda lipat, ia ketukkan secara perlahan pada daun pintu berwarna coklat tua tersebut, dari gerakan santai hingga menambah ritme menjadi tidak sabaran.

"Ni orang tidur, atau lagi tutorial make up? Pintu di ketuk aja sampe gak kedengeran!"

Manda mengembungkan pipinya jengah ketika tak ada reaksi apa pun dari orang yang berada di dalam sana. Menghentakkan kaki kesal, lantas Manda memejamkan matanya menahan umpatan yang di tujukan kepada laki-laki tersebut. Arkan sepertinya suka sekali jika semena mena, bilang tidak bisa menunggu lama atas keputusan yang akan Manda berikan, dengan alasan Arkan bukan boneka. Eh, maksudnya Arkan bukan tiang jemuran.

Manda menarik kepalan tangannya ketika merasakan bukan lagi daun pintu yang menjadi sasaran ketukkan tangannya, melainkan dada bidang milik Arkan yang terbungkus oleh kemeja pres body andalannya.

Manda membulatkan matanya, lantas menyengir dengan wajah tanpa dosannya.

"Selamat siang, Pak Arkan," sapa Manda dengan memberikan senyum terbaiknya sepanjang masa.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang