Bab 4| pak Arkan somplak!

331 28 4
                                    

.
.
.
.

Lelah hati, lelah body, lelah fikiran, lelah batin, lelah fisik dan sejenis lelah lelah yang lainnya tengah Manda rasakan saat ini. Alam seakan tertawa mengejek dan burung seakan mengakak melihat kemirisannya di hari ini. Rancangan semesta yang mempertemukannya dengan sang dosen terasa sangat buruk sekali, tak ada yang perlu untuk diagung agungkan, bahkan mengingat pertemuan pertamanya dengan Arkan saja cukup membuat seluruh isi perut Manda terasa seperti di ubek ubek, Mual!

Matakuliah yang berlangsung selama tiga jam di bawah naungan Arkan pun cukup membuat batinnya tersiksa, bergerak ke kanan dan ke kiri saja terasa serba salah, apalagi harus mendap mendap cabut dari kelas saat itu juga. Bagi Manda, dehaman Mr. Bean jauh lebih merdu jika di bandingkan dengan suara Arkan yang nyaris datar dan juga kaku. Kalau bukan kedongkolan hatinya karena kejadian semalam, mungkin Manda tidak akan jauh berbeda dengan mahasiswi lain yang dengan gencarnya membahas tentang Arkan.

Ekspetasi yang ia rancang indah indah semalaman tentang sang dosen baru memang tidak juga buruk jika melihat wujud asli dari laki laki tersebut. Tubuh tegap, otot bisep yang uwow lah pokoknya, wajah tampan, rambut hitam tebal, tulang hidung tinggi yang persis seperti prosotan anak TK serta dada bidang, cukup membuat kaum hawa berspesies alay bin lebay kejang kejang dibuatnya.

Dinda menumpukan dagu pada kedua telapak tangannya, dengan mata yang nyalang entah ke arah mana, "Tuhan baik banget ya, ngasih dosen modelan begitu kayak pak Arkan. Serasa jungkir balik gue liat mukanya."

Nah, salah satu spesies alay bin lebay yang tadi disebutkan itu adalah Dinda, tidak tahu saja dia jika si Arkan itu memiliki mulut ekstra pedas melebihi bon cabe level dua belas. Panas, berkeringat, jantung berdegup degup kencang, ingus meler, lidah terasa terbakar, PEDAS!

"Badannya itu loh, masya allah. Rela gue kalau di halalin sama pak Arkan. Bodo amatlah sama bunda yang bisa mencak mencak ke gue. Kalau di sodorin mantu kayak pak Arkan, ya pasti jinak juga dia."

Manda memutarkan bola matanya jengah, menahan desakan sesuatu dari kerongkongannya yang siap terjun dengan bebas. Kalau sudah melihat ke dua teman temannya itu memuji muji Arkan, tak ada daya dan upaya dirinya untuk memberitahu jikalau Arkan itu adalah orang yang sama yang telah membully-nya semalam.

"Apa kau tak liat Ne, badan teman kau ini juga sama kekarnya dengan pak Arkan, atau mau ku tengokan kau otot tanganku?" Celetuk Ucok sambil melipat kedua lengannya yang seolah tengah mengangkat barbel.

Manda terkikik geli melihat raut wajah Ane yang berubah menjadi masam dengan bibir yang ia monyongkan satu senti lebih panjang.

"Ogah, otot Lo hampir ketutup lemak juga, bangga!" Desis Ane sambil bergidik ngeri.

Hanafi yang tengah tenggelam pada layar ponsel yang ia lintangkan itu pun meneguk minumannya sejenak sebelum ikut menimbrung, "Ngalag otak gue pas denger peraturannya yang bikin gue ngusap dada! Berasa pen gue ajak mabar tuh dosen."

"Bener banget, ya kali boleh telat asal sepuluh detik, Kan gak masuk di akal! Apa salahnya langsung bilang aja kalau gak boleh telat, mau pake embel embel segala," gerutu Teungku yang menyetujui ucapan Hanafi barusan.

"Kayak Lo ada otak aja Ku! Pake maen akal akalan segala," Cibir Manda dengan asal, lalu mencomot tempe goreng milik Dinda.

Dinda berdecak kesal, gadis itu sedikit menarik kursinya ke depan dengan tubuh yang ia tegapkan secara sempurna.

"Ya tapi kan jarang jarang kita dapet dosen ganteng begitu kan, hitung hitung buat penawar bosan di kelas kan lumayan!" Tambah Dinda yang masih terus mengagung agungkan ketampanan dosen tersebut.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang