Bab 29| Katanya Engagement Ring

227 19 1
                                    

Kata Ria Ricis, "Ada yang lebih sakit dari pada datang bulan dihari pertama, yaitu menaruh hati pada seseorang yang tidak mencintai kita."

Kata Manda, mahasiswi kesayangan bapak Arkan sableng, "Ada yang lebih memalukan dari pada salah menggandeng orang di tempat umum. Yaitu, bocornya tamu bulanan di basement parkiran mall."
.
.
.
.


Happy reading all

___________________________________________


Menghitung berapa sekon keluarnya debit air dari keran wastafel, rasanya akan lebih epik dari pada menahan malu yang bercampur aduk seperti ini. Oh, lord! Dosa apa yang diperbuatnya selama ini? Hingga tuhan tega sekali memberikannya cobaan berupa tembusnya ekhem dihari pertama.

Jika dihitung dengan ketebalan, mungkin wajah Manda ini sudah persis sekali seperti kulit Badak yang tebalnya minta ampun. Menahan rasa malu sensasinya itu seperti ada rasa asam-kecut-sepet, intinya tidak karuanlah! Apa niatannya untuk mandi kembang warna tujuh rupa harus benar-benar direalisasikan guna terbebas dari kesialan?

Menggeplak dahinya dramatis, Manda merutuki kebodohannya sendiri.

Menopangkan lengan dikedua sisi pinggang, Manda berdoa dalam hati agar toilet mall ini tidak akan penuh nantinya, setidaknya sampai Arkan datang menyelamatkan jiwa serta raganya.

Memandangi wajah nelangsanya pada cermin, Manda menggeleng kleyengan, "Sumpah! Malu banget gue, parah! Kenapa gue apes melulu sih kalau ketemu pak Arkan?" Menjambak rambutnya frusrasi, Manda menggeram tidak tahan.

Tangannya bergerak untuk memutar keran air ke arah off setelah sempat membasuh wajahnya sekilas, "Attitude Lo kemana sih, Manda? Masa dosen sendiri Lo suruh buat beli pembalut? Astaga, tolol banget sih sampe tanggal mens sendiri aja lo gak inget begini."

Menggigit bawah bibirnya dengan dua alis yang mencuram ke bawah, Manda menghembuskan nafas kasar lalu kembali berdialog sendirian, "Tapi kalau bukan minta tolong sama pak Arkan, terus gue harus minta tolong sama siapa lagi? Toh, dianya juga gak protes kan?" Percayalah jika kalimat itu hanyalah usahanya untuk menenangkan diri saja, "Akhhhh!!" Ketukan pelan dari pintu toilet terdengar, membuat Manda mengurungkan niat untuk menendang dinding satu petak tersebut.

Celingak-celinguk ke luar toilet, Manda menyimpan rasa takjub pada Arkan yang nekat menerobos masuk toilet khusus wanita, "Bapak, gak dicegah sama cewek-cewek di toilet ini?" Tak mampu menyimpan rasa penasaran, ditengah hidup dan mati pun gadis itu masih menyempatkan diri untuk bertanya.

Wajah Arkan yang datar macam papan tripleks, demi apa pun membuat keinginan Manda untuk mengubur diri hidup-hidup semakin kuat saja. Jika saja ada obat yang dapat menetralisir rasa malu, mungkin Manda akan membelinya dengan stok yang paling banyak.

Arah pandang Arkan mengikuti pergerakan mata Manda yang menatap ke sekitaran. Tak ayal jika jantungnya pun ikut jegab-jegub tidak karuan lantaran takut disidang oleh ibu-ibu beralis tebal saat mengetahui ada manusia dengan gender yang berbeda menyelip di tempat ini.

Dehaman berat Arkan membawa kesadaran Manda kembali dalam kondisi sesungguhnya. Menjatuhkan harga diri ke relung paling dasar saat kembali dengan secerca rasa malu yang tiada tara, "Toilet ini sepi, jadi tidak ada orang yang bisa saya andalkan untuk meminta bantuan," lengannya terulur memberikan sebuah paper bag dengan logo pakaian dalam wanita.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang