Bab 16| Rontgen

230 25 1
                                    

Sejatinya, susah-susah gampang menghadapi mahasiswa dengan tingkat kegesrekannya yang tinggi.


Happy reading all:)

__________________________________________

Manda mendengus sebal. Bangsal rumah sakit sudah persis sekali seperti posyandu bulanan, ramainya bukan kaleng-kaleng. Bukan karena terpadati oleh pengunjung pasien lain, melainkan di penuhi oleh Hanafi dan kawan-kawan, di tambah lagi dengan Sabrina dan juga Nindi. Dan oh ya satu lagi, jangan lupakan makhluk astral namun ironisnya kasat mata yang satu itu, tidak di sangka ternyata Arkan juga masih berada di sana.

Berkali-kali suster berbaju hijau pupus memperingatkan mereka agar masuk secara berkala, dalam artian tidak semuanya masuk ke bangsal. Para dokter coass pun sudah jengah bukan main ketika Hanafi gencar sekali menggoda mereka. Sebenarnya apa yang terjadi pada Manda tidak juga parah-parah sekali, hanya lecet pada siku, itu pun tidak perlu untuk di ambil tindakan jahit-menjahit. Manda hanya shok, hanya lemas, tidak lebih. 

Sabrina yang awalnya tertutup oleh tubuh teman-temannya yang lain pun, tampak meloncat cepat menghampiri Manda, "Mand, Lo punya ilmu apaan?" Bola mata gadis itu membulat, menampilkan binarnya yang penasaran akut.

Manda menyatukan kedua alisnya heran, "ilmu apaan? Ppkn? Bahasa indonesia? Bahasa inggris? Matematika? Ah kalo MTK gue payah, kimia juga, apalagi fisika, nah gue sukanya sama bio--"

"Ih, bukan gitu maksud gue," sela Sabrina menghentakkan kakinya kesal, "Lo, di tabrak orang neng, tapi ini luka Lo cuma lecet di siku doang. Sedangkan yang nabrak Lo aja ampe kena jahitan di dahinya."

Hanafi menggeleng-gelengkan kepalanya frustasi, cantik-cantik kok sedeng, "Lo, nanyanya gak masuk akal banget sumpah! Itu karena Allah masih sayang sama Manda, bukan karena ilmu hitam. Mangkanya kurang-kurangin deh nonton Azab!"

Manda mendelik jengah, nasib punya teman berotak separo ya seperti ini ceritanya, "Astagfirullah Sabrina, mimpi apa gue punya teman modelan kayak Lo gini," mengelus dada menahan kesabaran, itu adalah kebiasaannya.

Jujur saja, Manda pun sebenarnya malu dibuatnya. Di saat pengunjung pasien lain mengalah dan lebih memilih menunggu di luar ruangan, ini teman-temannya malah nekat menerobos masuk.

"Lo, bener kan Mand gak ngerasain apa-apa? Gue ngeri Cerebrum Lo hilang tiba-tiba," dimana ada Dinda, di situ pasti ada Ane. Dan naasnya otak mereka sama-sama tong kosong nyaring bunyinya.

Manda meringis, otak teman temannya itu tidak ada yang benar sama sekali, gesrek semua!

"Mand, mamak kau di kampung tak kau hubungi apa? Tak enak lah jika mereka tidak tau kondisi kau saat ini," Manda melirik ke arah Ucok, baru tersadar jika tak ada satu pun dari anggota keluarganya yang hadir di sini.

Tidak mungkin jika Manda memberitahu keadaannya kepada orang rumah. Bisa heboh satu keluarga jika mereka tau, toh kondisi Manda pun baik-baik saja. Bahkan dokter juga tidak begitu menyarankan Manda untuk rawat inap, tinggal menunggu hasil Rontgen dan melihat hasilnya normal atau tidak, jika masih normal maka Manda akan segera pulang ke kos dengan damai.

Manda menggeleng cepat. Menatap setiap orang yang hadir satu persatu, mewanti-wanti agar satu pun dari mereka tidak ada yang menghubungi sang bos besar, "Jangan, gak usah kasih tau mama. Gue kan gak apa-apa, tinggal nunggu hasil rontgen aja kan. Lagi pula, siapa sih yang ngotot minta gue di rontgen? kan gue udah bilang, gue gak ngerasain sakit apa-apa, ngeyel ya Lo!" Tanya-nya dengan menggebu-gebu.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang