Bab 24| Menjelang Gila

207 19 3
                                    

Ampun! Takdir hidup kok mblangsak-mblangsak gini banget dah

By: Manda si pasien paranoid

Happy Reading All:)

___________________________________________

Dengan posisi telentang, Manda menumpukan kedua telapak tangan untuk memompa kepala. Mengamati gerak-gerik sang bos besar yang sedari tadi tak henti-hentinya membeo. Mengomentari ini dan itu, mengkritik tak suka kamar kos sang anak yang berantakannya bukan kaleng-kaleng. Sprei kasur yang tak tertata rapi pun menjadi awal mula munculnya wejangan sang mama, ember cucian yang masih terdapat busa kemarin sore hasil mencuci juga tetap menjadi permasalahan. Bahkan, posisi kamoceng yang melintang saja turut menjadi perhatiannya.

Jangan salahkan Manda, toh mama dan papanya itu tak pernah memberitahunya bahwa mereka akan datang berkunjung. Di obrolan mereka tadi pagi pun ketika ia menyempatkan diri untuk menghubungi sang mama, baik mama maupun papanya tak ada yang memberitahu jika mereka akan datang ke Jakarta.

"Ma, tumben mama sama papa ke sini gak bilang-bilang? Biasanya sebulan sebelum datang juga udah heboh ngasih tau kalau mama sama papa mau ke Jakarta."

Aktivitas menggulung selembar kaos yang akan di masukkan ke dalam koper pun di hentikan, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan anak bungsunya itu, "Papa ada tugas di Bekasi, awalnya mama gak mau ikut. Tapi karena mama ada perlu sama kamu, jadi mama ikut aja, sekalian nengokin Afgar di Bogor."

Manda mengernyitkan dahinya, mengubah posisi menjadi duduk selonjoran, "Idih, sok-sokan ada perlu sama Manda. Biasanya juga kalau ada apa-apa langsung telepon aja."

Sesuai dengan apa yang di katakan bu Adisty barusan, hari ini mereka menjadwalkan keberangkatan ke Bogor mendatangi kediaman Afgar yang menurut Manda hal ini cukuplah mendadak, mengingat dirinya belum packing apa pun, bahkan cucian baju yang masih tersisa saja belum di lanjutkan.

Manda melipat kedua kakinya, membawa bantal doraemon yang warnanya sudah memudar dengan aroma apek yang sudah tak karuan kepangkuan, "Emang mama ada perlu apa sama Manda? Mau naikin jatah bulanan Manda? Atau mau pindahin Manda ke Fakultas Kriminologi sesuai dengan cita-cita Manda waktu SMA?" Manda mengerjapkan mata, harap-harap cemas memikirkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi.

Bu Adisty berdecak kesal, lalu melempar poach miniso milik Manda tepat mengenai wajah sang anak, "Udah mama pusing, jangan banyak tanya deh kamu! Nanti aja waktu udah sampai di asrama Afgar mama ceritain. Sekarang, mendingan kamu ambil koper kamu itu, ini bajunya udah mama lipat semua tinggal di masukin aja," perintah sang mama membuat Manda sedikit mendengus kasar.

Kursi putar yang selalu ia tempati ketika sedang belajar pun seketika beralih fungsi menjadi tangga dadakan untuk membuatnya lebih mudah menjangkau koper yang sengaja ia letakkan di atas lemari, "Papa tugas berapa hari ma di Bekasi?" Cukup kesulitan ketika ia mencoba menarik koper berukuran sedang itu dari pojok dinding.

"Sini mama pegangin," Wanita paruh baya yang berprofesi sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah dasar itu terlihat bangkit dan mencoba menahan kursi beroda tersebut agar tidak bergerak, "Dari hari senin sampai rabu, nanti minggu sore kamu udah papa antar lagi ke sini, kamu kan masih kuliah. Mama juga hari minggu-nya langsung pesan travel balik lagi ke Bandung."

Manda meletakkan koper yang berhasil ia ambil itu ke atas lantai, lantas mencoba melepaskan koper tersebut dari dalam pelastik tembus pandang dengan kerah baju yang ia sangkutkan pada hidungnya untuk menghalau debu yang masuk ke dalam hidung pas-pasannya.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang