Bab 28| M

263 21 2
                                    

Nasib pertama bertemu dengan Arkan yaitu otaknya jadi mendadak ngehang, yang kedua, kadar kesablengan pun malah bertambah berkali-kali lipat
.
.
.
.

Happy reading all

____________________________________________

Hari yang cukup berat bercampur dengan ujian kehidupan yang semakin mendekat, blas membuat kesengsaraannya bertambah berkali-kali lipat. Belum lagi ditengah membeludaknya tugas akhir semester, rapat sana-sini yang membahas seputaran program kerja anak-anak HIMA yang menjadi aktivitas tambahan pun, cukup menyita perhatian dan tenaganya.

Berjalan gontai ke arah lemari pakaian, lantas gadis itu menarik beberapa buah baju dari dalamnya, tak lupa pula dengan ransel bercorak loreng pemberian Afgar yang turut ia keluarkan dari tempat persemediannya.

Nindi melipat kedua kakinya, buku super tebal bergambar tengkorak kepala manusia terlihat dihempaskannya begitu saja, "Mumet ini kepala gue, sumpah! Pengen balik ke Batam gue rasanya, terus kawin dah tu."

Sabrina melepehkan kulit kuaci, rambutnya yang semerawut menandakan kondisi otaknya yang sama semerawutnya, "Lo pikir, kawin terus bikin anak selesai gitu aja?" Memasukkan kacang kuaci ke dalam mulut sambil menggeleng tak habis fikir, "Gue rasa, nikah bukan jalan satu-satunya buat kita lepas dari dunia perkampusan yang fana ini."

Kegiatan memasukkan barang keperluannya ke dalam ransel pun terhenti, Manda tertegun, menoleh sekilas ke arah Nindi dan Sabrina yang sibuk membajak kamar kosnya, lalu kembali berkutat sembari menyimak inchi demi inchi percakapan dari mereka.

Nindi berdecak, "Tapi bukannya nikah itu bisa jadi ladang pahala? Apa lagi yang gue denger, nikah itu bisa membuka pintu rezeki kita," Nindi menyenderkan punggungnya pada single bad milik Manda dengan gerakan tubuh yang lunglai.

Drama anak perkuliahan akibat terpaan kemumetan yang tiada tara.

Sabrina mengangguk setuju, "Tapi liat dulu keadaannya, ditengah-tengah kesibukan kita selama pre-klinik begini, lo mau ambil cuti buat nikah? Ya emang gak ada yang salah sih, tapi kan, emang lo yakin gak bakalan kesusahan bagi waktu antara urusan rumah sama kuliahan?" Wejangan singkat tanpa diduga mengalir begitu saja, "Jalan kita masih panjang, masih ada waktu empat tahun lagi sebelum kita benar-benar dapat gelar dokter Nin."

"Lah, terus gimana kabarnya dengan gue yang bakal dijodohin begini?" 

Mata sipit Nindi menatap punggung Manda yang masih setia membelakangi, mengamati setiap gerakan kaku temannya itu yang tengah  mengurusi ransel dan juga tetek bengeknya.

"Emang Afda udah siap lo ajak untuk lebih serius lagi?"

Mengedikkan bahu acuh, Nindi menselonjorkan kakinya sambil menaruh asal buku yang sebelumnya ia pegang ke atas pangkuan Sabrina, "Kalau dia gak siap, ya udah gue cari yang lain aja."

Perempuan itu butuh kepastian, bukan cuma harapan sana-sini yang tidak karuan. Status boleh no jomblo-jomblo club, kemana-mana selalu berdua, lengketnya macam lem dengan kertas, tapi apa guna semua itu jika hanya sekedar status pajangan saja?

Tanpa menoleh, Manda menimpali, "Enteng banget Lo kalau ngomong Nin, lah gue? Semenjak gue putus dari mantan lima tahun yang lalu, sampe sekarang gak ada tuh yang nyantol satu pun," Tersenyum kecut menyadari kenelangsaan kisah cintanya yang jauh dari keuwuwan cerita macam Dilan dan Milea.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang