Bab 35| Kebaya Dan Mahar

208 11 4
                                    

Hey, kamu! Itu tanda centang biru di whatsapp tolong dihidupkan, last seen juga jangan dimatikan! Ini saya kasihan gak bisa melihat kapan kamu terakhir onlinenya!

.
.
.
.
.

Happy reading all:)

_________________________________________

Manda percaya jika persiapan pernikahannya bukanlah main-main. Selama ini Manda hanya bisa berkhayal berada di posisi seperti ini, memilih gaun pengantin, dan mempersiapkan acara pernikahan yang sedemikian rupa. Di perjalanan tadi, bu Adisty mengirimkan picture berupa model pelaminan yang akan mereka sewa, lengkap dengan dekor super mewah yang membuat Manda merem-melek saat menafsirkan harganya.

Adat Sunda menjadi pilihan dalam proses Ijab dan Qabul nanti. Tak tahulah, bagaimana bisanya pihak Arkan menyetujui jika adat dari keluarganyalah yang akan digunakan ketika mengikrarkan sumpah pernikahan nanti. Padahal yang Manda tahu, keluarga Arkan itu sangat kental sekali akan budaya Jawa, apa mereka bisa semudah itu mengalah?

Ya, sejauh ini kedua pihak keluarga mereka selalu memutuskan sesuatu tanpa persetujuannya dan juga Arkan, Manda tidak masalah dengan hal itu, lagi pula disaat-saat seperti ini otaknya sudah tidak mampu lagi untuk memikirkan hal-hal semacam itu.

Samar-samar Manda mendengarkan ibu Minah yang tengah berbicara pada salah satu pegawai Butik, "Saya mau bahannya yang adem Mbak, yang gak bikin gatel dikulit. Terus jangan terlalu terbuka juga."

Melirik Arkan diam-diam, ternyata pusat perhatian laki-laki itu tak pernah berpindah dari layar ponsel yang posisinya sudah dimiringkan.

"Pak, kenapa gak beli di Tanah Abang aja sih?" bisiknya pelan karena takut terdengar oleh bu Minah, "Padahal beli dua bisa geratis satu, tau."

Gelengan Arkan menyambut otaknya yang mendadak ruwet tiap kali meladeni Manda, "Kamu kira beli permen kopi?"

Manda Berdecak, lalu sedikit mengibaskan rambutnya yang menghalangi pandangan, "Segitu mahalnya mah udah bisa dapat motor matic second kali, pak."

Teringat dengan motor matic kesayangan paripurnanya, Manda sama sekali tak berniat menjual benda itu, sekalipun bobroknya sudah parah, mungkin setelah fresh graduate nanti Manda bisa membelikan maticnya adik baru. Oh astaga! Manda lupa, bukankah nanti sebuah Pajero Sport akan menemani hari-harinya?

"Terlalu murah, pasti surat sebelah," Tanpa menoleh, Arkan tetap membalas dengan jemari yang masih lincah di atas layar ponsel.

"Lah, dasar anak Sultan!" Manda menggeplak paha Arkan keras, hingga mengundang ringisan kecil dari si bapak dosen, "Bapak aneh! Nih ya dengan uang delapan juta kita tuh udah bisa beli honda beat second, bodi mulus, BPKB sama STNK udah lengkap, no minus apa pun."

"Kenapa kamu jadi bawa-bawa nama bapak saya?"

"Lah, bapak kan emang banyak uangnya? Kalau banyak uang, itu tandanya Sultan," Sahut Manda tak mau kalah.

"Iya, tapi nama bapak saya Sultan, Yurcel," Arkan mendumal.

Otak Manda mendadak connect, berarti selama ini Arkan menyebut dirinya sebagai anak Sultan bukan bermaksud sombong? Tapi memang benar jika nama ayahnya Sultan? Bukan Sultan Hamengkubuwana yang dimaksud, melainkan Sultan Ahmed A, nah untuk inisial akhirnya sendiri Manda tidak tahu siapa.

BlutenblattTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang