Aku benci ibuku.
Wanita yang kupanggil Bunda, tega menyiksaku dengan cara keji seperti ini. Ia berusaha membatasiku menikmati harta peninggalan mendiang Ayah. Bunda mengunci semua aksesku menikmati keindahan dunia dan membuatku mau tak mau menyetujui perjanjian gilanya.
"Ayah hanya membuat wasiat agar tanah milik kita yang di Bogor, diwakafkan untuk membangun masjid. Bunda sudah menyisihkan satu miliar untuk pembangunan masjid wasiat Ayah."
Aku melotot tak terima. "Bunda sudah gila? Membuang satu miliar hanya untuk membangun masjid? Bunda pikir Ayah dengan mudah mencari uang untuk kita? Sampai akhir hayat, Ayah bekerja demi anak istrinya, tapi Bunda buang begitu saja jerih payah Ayah." Suaraku bahkan meninggi. Aku tak mengerti apa yang ada di dalam kepala Bunda hingga dengan mudahnya membuang hasil kerja Ayah.
Emosiku merangkak naik. Bunda bersikap santai meski aku bisa melihat wajahnya yang sedikit menegang. Aku tak pernah bisa satu pikiran dengan wanita yang melahirkanku ini. Kami sering bertengkar karena Bunda tak pernah bisa memahami keinginanku untuk hidup bebas.
"Berapa yang kamu mau?" Bunda berucap dengan mata yang konstan menatapku. Sekilas tadi, kudengar suaranya parau dan bergetar. Namun aku tak peduli. Aku harus memperjuangkan hakku sebagai anak tunggal Ayah.
Mengangkat dagu jemawa, aku balas menatap Bunda. Tak peduli jika sisi bawah netranya tampak mengembun. "Tujuh puluh persen dari seluruh harta milik Ayah." Aku tak akan menyebut nominal. Satu, dua, atau sepuluh milyar sekali pun, Bunda akan tetap memberikan syarat konyol dalam perjanjian gilanya. Sedang harta Ayah, lebih dari nominal itu. Jadi, presentase untuk pembagian warisan adalah jawaban yang tepat.
Tak sedetik pun aku memutus adu pandang kami. Bunda terdiam dengan raut wajah yang tak bisa kubaca. Ia hanya terdiam dan menatapku dengan mata yang mulai berkaca. Hingga beberapa saat kami saling terdiam di bawah suasana tegang.
"Untuk apa harta sebanyak itu?" ucap Bunda terbata.
Pakai tanya. Aku membuang muka sesaat dengan gestur wajah jengah. "Tentu untuk aku hidup enak, Bunda. Aku anak tunggal Ayah dan satu-satunya yang berhak atas semua harta Ayah. Bunda adalah manusia keji yang tega menghalangiku mendapatkan hakku sebagai anak Ayah." Bicaraku kubuat diplomatis dan tegas. Aku tak boleh kalah dari Bunda. Harta Ayah milikku dan akan kuperjuangkan hingga mati.
Bunda masih konstan menatapku. Tak sedikit pun mengalihkan pandangannya ke mana pun. "Jika kamu menginginkan harta Ayah, lalu apa yang bisa kamu beri untuk Ayah?"
Aku mendesah kesal. Wanita tua ini suka sekali diskusi berputar-putar. Dosa apa yang kuperbuat hingga memiliki ibu sepelit ini pada anak kandungnya sendiri. Kejamnya, Bunda justru tampak royal pada orang-orang kelas bawah yang tak pantas sedikit pun dengan kalangan kami.
Dan sekarang, otak aneh Bunda bertanya tentang apa yang bisa kuberikan pada ayahku yang sudah tiada. Fix, aku akan menghubungi dokter keluarga dan meminta rekomendasi untuk memasukkan Bunda ke rumah sakit jiwa.
Aku menyeringai sinis. "Ayah sudah tenang di surga. Ayah tak butuh apapun lagi karena Tuhan sudah memberikan surga-Nya untuk Ayah. Sekarang, giliranku yang menikmati harta milik Ayah."
"Allah, Nak. Sebut Tuhanmu dengan Allah. Tuhan kita hanya satu. Allah." Satu bulir air mata Bunda terjatuh. Aku jelas melihat cairan itu mengaliri wajahnya yang mulai menua. Bibirnya bahkan bergetar lembut dan bergerak seakan sedang mengucapkan sesuatu namun aku tak tahu apa.
"Terserahlah!" Aku mengibaskan tangan tak acuh. "Yang jelas, aku hanya ingin hakku atas harta peninggalan Ayah. Tujuh puluh persen dan tak bisa lagi ditawar. Sisanya, terserah ingin Bunda apakan. Namun, aku mengingatkan bahwa tak akan membagi jatahku untuk Bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...