Lima hari sudah aku tinggal berdua bersama Uwak. Setiap hari, aku mengikuti kegiatan Uwak merawat kebun strawberi yang beliau miliki. Kami juga pergi ke pengajian yang biasa Uwak hadiri setiap sore.
"Ya begini, hari-hari Uwak. Pagi sampai siang, di kebun lihat-lihat tanaman. Panen dan kirim ke koperasi tempat wisata untuk mereka jual. Sore, Uwak tahsin dan tadarus bersama teman-teman."
Aku tersenyum setiap mendengar cerita Uwak tentang kesehariannya di masa tua ini. Aku jadi teringat Bunda. Bila Uwak bisa tenang dengan kehidupan sederhananya, Bunda masih harus memikirkan banyak hal hingga ia tutup usia. Apalagi, dengan aku yang saat itu berlagak durhaka.
"Ada Annisa, Uwak jadi ngerepotin," lanjut Uwak seraya melirikku yang masih fokus mengemudi menuju tempat ngaji Uwak yang kini juga kuikuti.
"Repot gimana, Wak? Justru saya yang bikin Uwak repot."
"Lah ini! Kemana-mana Uwak jadi naik mobil artis. Tadi pas kita anter sepuluh kilo strawberi ke tempat wisata, yang punya koperasi sampe kaget lihat uwak ambil kotak strawberi di bagasi. Katanya Uwak mendadak sukses sampe anter buah aja pake sedan mewah."
Aku tertawa lirih. Selama tinggal dengan Uwak, aku memang menawarkan diri mengantar Uwak kemana pun. Setiap orang yang bertemu kami, memang terkejut melihat Uwak yang tampil sederhana, kini bepergian dengan BMW yang kukendarai.
Begitu pun jamaah pengajian yang Uwak hadiri setiap sore. Mereka sempat terpana saat pertama kali aku datang bersama Uwak. Saat itu, Uwak memperkenalkanku sebagai keponakannnya yang sedang liburan. Aku diajak untuk ikut tahsin dan melanjutkan materi yang dulu Haikal beri.
"Uwak jadi berasa kayak istrinya Aa Rafi Ahmad."
Tawaku pecah lagi. "Uwak lebih cantik lah, dari Nagita," godaku seraya mengarahkan kemudi memasuki masjid yang menjadi tempat kajian kami.
Mobilku berhenti di area parkir masjid. Uwak melihat penjaja mie kocok dan mengajakku mengisi perut dengan menu khas Bandung itu.
"Eh, tapi nanti Annisa sakit perut gak ya, makan mie kocok gerobakan?" tanya Uwak dengan wajah penuh pertimbangan.
"Enggak," jawabku santai. "Saya juga suka makanan kaki lima, kok," tambahku seraya mematikan mesin.
Kami turun mobil bersama dan berjalan menuju gerobak mie kocok yang ada di depan pagar masjid. Jam mulai kajian masih tiga puluh menit lagi dan belum banyak jamaah yang datang. Dua mangkuk mie tersaji dan kami makan bersama sambil bincang tentang Haikal yang setiap hari, selama lebih dari tiga kali, menghubungi Uwak hanya untuk menanyakanku.
"Serius, Uwak bingung sama Haikal," tukas Uwak seraya menyuap potongan kikil dalam mangkuk. "Marah sama kamu, tapi setiap waktu hubungin Uwak cuma buat nanyain kamu."
"Mas Haikal khawatir saya merepotkan Uwak," timpalku mencoba berbesar hati.
Uwak menggeleng. "Uwak sudah bilang berulang kali, kalau justru Uwak yang terbantu ada kamu. Uwak berasa kaya pejabat yang dianter kemana-mana naik sedan mewah. Uwak jarang masak karena kamu belikan Uwak makanan. Kita sering bepergian berdua, bikin Uwak gak merasa sendiri. Eh, eta barudak telepon terus-terusan nanyain istrinya." Uwak menggerutu namun wajah Uwak seperti geli mengingat kelakuakn Haikal selama kami putus komunikasi.
"Mas Haikal gak pernah sekali pun hubungi saya."
"Alah, biarin. Hubungi Uwak sudah cukup, mungkin. Setiap pagi tanya apa kamu salat dan tadarus. Siangnya telepon, tanya sarapan dan makan siang apa. Sore tanya kita sedang apa dan apa istrinya juga ikut kajian. Malam, tanya lagi apa istrinya mengaji setelah maghrib." Mangkuk Uwak sudah habis. Wanita itu memberikan mangkuk pada penjaja lalu meneguk air mineral botol yang tersedia. "Kalau setiap hari tanyanya itu-itu terus, kenapa atuh gak hubungin Annisa sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...