20. Hampa

4.7K 604 25
                                    

Tanyakan apapun padaku. Apapun tentang apa yang terjadi pada hidupku. Akan kujawab dengan, "Tak tahu" atau gelengan kepala karena aku benar tak memahami apa yang tengah terjadi dalam hidupku kini.

Ratusan orang hadir memenuhi kediaman Bunda. Aku mengenakan gamis Hitam yang Beti siapkan dan duduk di samping jasad Bunda. Aku tak tahu sedang apa aku saat ini. Orang-orang itu datang, menyalamiku, mengucap bela sungkawa, menitikkan air mata dan membaca doa untuk Bunda.

Aku pernah mengalami hal serupa. Saat Ayah pergi dan rumah ini juga ramai tamu dengan pakaian gelap. Saat itu aku menangis. Menangis meraung tak terima dengan apa yang takdir gariskan untuk hidupku. Menjadi yatim di usia remaja bukanlah hal yang kusuka.

Anehnya, hari ini aku tak menangis dan meraung seperti saat Ayah pergi dulu. Aku terdiam dan hanya terdiam. Aku bingung harus bagaimana. Apa aku harus menangis dan meraung lagi? Tersenyum saat para tamu datang dengan wajah sendu? Atau ... apa? Aku tak tahu.

Dokter berkata Bunda terkena serangan jantung. Aku tak paham. Bagaimana bisa Bunda menyimpan banyak penyakit mengerikan di tubuhnya. Padahal aku sudah berkata pada Bunda, akan memberikan Bunda cucu, asal Bunda sembuh.

Namun naas. Bunda pergi dan Haikal lari dari pelukanku.

"Mbak, Bunda mau dimakamkan jam berapa?" Wajah Beti bengkak akibat tangis yang tak henti sejak semalam.

Mungkin mataku juga begitu. Karena tak sedetikpun aku lelap dalam mimpi.

Ah, atau mungkin saat ini aku tengah bermimpi? Mimpi buruk akibat lupa membaca doa sebelum tidur?

"Mbak." Namun guncangan tangan Beti menyadarkanku bahwa ini nyata. Bunda pergi untuk selamanya dan Haikal tak sekali pun duduk di sampingku. "Kata Mas Haikal, kalau bisa jangan ditunda. Habis Dzuhur, gimana? Jadi Bunda disalatkan setelah salat Dzuhur berjamaah."

Aku menoleh pada Beti yang masih duduk di sampingku. Beti terlihat letih, tapi aku juga merasakan hal yang sama. Aku melarikan pandanganku pada tempat bunda tidur, dan mengerjap hanya untuk menyadari bahwa Bundaku ...

"Gimana, Mbak?"

Menghela napas pasrah dengan rasa perih di dada, aku mengangguk. "Terserah Mas Haikal. Tolong minta dia mengatur semuanya."

Saat Ayah pergi, aku berada di mobil mewah kami bersama Bunda. Memeluk Bunda yang saat itu tampak tegar, dan menangis dipelukannya hingga jilbab Bunda basah air mataku. Sedang saat ini, aku duduk sendiri dalam mobil jenazah yang mengantarkan Bunda ke tempat terakhirnya. Tempat di mana ia akan bersanding kembali dengan Ayah. Di mobil ini, aku sendiri di depan Bunda. Menikmati detik-detik terakhir keberadaan Bunda di dunia ini. Karena setelah ini, aku akan benar-benar sendiri.

Haikal mengumandangkan azan di liang lahat. Air mataku menetes namun langsung ku usap pelan. Suara Haikal mengingatkanku akan pesan pria itu bahwa panggilan terbaik adalah azan. Dimana Allah meminta hamba-Nya bermunajat dan menumpahkan segala rasa pada-Nya.

Aku ingin salat. Ingin bicara pada Allah betapa perihnya hidupku kini. Aku ingin bermunajat pada-Nya. Menumpahkan segara rasa sakit dan hampa yang kurasa. Tanah merah itu mengubur Bunda. Mengubur semua harapanku untuk menebus dosa pada Bunda dan berbakti padanya.

Entah mengapa, ada penyesalan yang kental terasa. Seakan Allah mencabut semua kesempatan untukku meraih surga. Aku bingung harus bagaimana.

"Mbak, untuk sambutan keluarga, mau Mbak yang bicara atau Mas Haikal?"

Aku menoleh pada Haikal yang ternyata sedang menatapku dari seberang sana. Pakaiannya kotor dengan tanah. Wajahnya basah dengan peluh dan ada cangkul di sampingnya. Kini, aku menoleh pada Beti dan menjawab agar Haikal saja yang menjadi perwakilan keluarga Bunda.

Kayu nisan Bunda tertancap. Beti menggiringku untuk menabur bunga di atas pusara Bunda. menabur kelopak bunga ini, entah mengapa terasa meletihkan sekali. Jangankan bicara, untuk tersenyum saja rasanya sulit.

Hingga satu per satu pelayat yang datang di pemakaman ini pulang, aku masih terduduk di tengah-tengah makam Ayah dan Bunda. Lihatlah aku, Annisa Fauzia. Pemilik aset senilai puluhan miliar dan perusahaan properti menengah, yang duduk sendiri di antara pusara orang tuanya.

Jika aku boleh membeli kesempatan dengan seluruh harta yang kumiliki, aku ingin menukar semua itu dengan satu hari saja bersama Ayah dan Bunda, untuk melaksanakan salat bersama. Hanya itu. Hanya itu inginku. Salat bersama Ayah dan Bunda, lalu berdoa agara kami bisa menuju syurga bersama. Aku akan membayar berapapun atau menukarkan apapun yang kumiliki untuk satu kesempatan itu. Hanya satu itu, Ya Allah.

Beti merengkuhku dan mengajakku untuk kembali pulang. Ia berkata kami sudah berdiam lebih dari tiga puluh menit di pusara Bunda. Namun aku menginginkan hal yang beda. Aku ingin berada di antara Ayah dan Bunda saja, selamanya.

"Mbak." Beti mengajakku untuk bangkit, namun aku masih terdiam layaknya batu. "Sudah hampir Ashar. Ayo pulang dan salat."

Aku menatap dua batu nisan bernama kedua orang tuaku. Rasanya miris karena harus terpisah dengan mereka. Bukan berpisah karena ditinggal dinas atau liburan, namun benar-benar berpisah dan tak akan ada lagi pertemuan di antara kami.

Usai salat Ashar di rumah Bunda, berjamaah dengan Haikal sebagai imamnya, pengacara Ayah mengajakku bicara. Sebenarnya aku lelah dan ingin istirahat saja. Namun beliau berkata bahwa pesan ini harus segera disampaikan padaku.

"Bunda memiliki sedikit simpanan, yang beliau titipkan pada saya." Mulai si pengacara saat kami sudah duduk bersama di ruang tamu. Ada Beti dan Haikal yang menemaniku mendengar pesan pengacara. "Bunda memiliki simpanan emas. Kebetulan langsung saya bawa hari ini karena saya ingin segera menyampaikan harta Bunda pada ahli warisnya."

"Saya sudah mewarisi seluruh harta Ayah," tukasku mengingatkan pengacara.

Pengacara itu mengangguk pelan. "Iya, namun perhiasan yang saya bawa, tidak termasuk dalam warisan Ayah yang Mbak Icha miliki sekarang. Satu kotak perhiasan ini, murni milik Bunda yang akan jatuh hak miliknya ke Mbak Icha, setelah Bunda tiada." Pria tambun itu mendorong kotak berukuran 30 x 30 cm yang berbentuk ukiran kayu apik. "Mohon diterima."

Aku mengambil kotak itu dan membukanya. Tak banyak isi perhiasan di sana. Hanya ada tiga pasang anting kecil, yang kuingat milikku ketika aku bayi hingga beranjak remaja. Ada gelang kaki dengan gemerincing lonceng kecil yang kuingat milikku saat mulai bisa melangkah.

Tanganku mengambil satu untai kalung emas putih dengan liontin oval besar yang saat kubuka, berisi poto Ayah dan Bunda semasa muda. Air mataku luruh, membasahi wajah. Menyadari bahwa orang tuaku benar-benar telah tiada.

Tak ada lagi kesempatan untukku berbakti pada mereka. Untukku memberikan banyak hal pada mereka, seperti mereka memberiku segalanya.

"Terima—kasih," ucapku terbata, menahan isak yang menyesakkan dada. "Saya—permisi kembali ke kamar. Saya lelah." Lunglai, aku beranjak dari ruang tamu dan berjalan pelan menaiki tangga dan menuju kamar.

Kubuka lagi kotak itu. Ada sesuatu yang Bunda bungkus dengan kantung berwana salem. Aku tahu itu apa. Tanganku gemetar ketika membuka kantung salem berbordir namaku. Kumpulan poto polaroid yang kukoleksi saat SMP dulu. Saat Ayah selalu mengajakku dan Bunda mengunjungi setiap proyek pembangunan yang beliau kerjakan.

Napasku tercekat, dadaku terasa sesak. Seperti ada benda tak kasat mata yang mencekikku saat ini juga. Rasanya seperti ingin mati. Ingin mengakhiri semua beban penyesalan ini, karena aku tahu tak akan ada lagi kesempatanku meraih surga dari pintu berbakti.

*****

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang