Aku tak tahu harus kemana. Aku hanya melajukan mobilku menjauh dari Jakarta, Kiki, dan Misha. Aku harus pergi jauh agar mereka tak mengetahui keberadaanku dan mungkin saja melaporkanku pada yang berwajib.
Ucapan Misha terus terngiang di telinga. Seperti dengungan nyamuk yang menggangu tidur tenangku. Aku tidak bersalah. Mereka yang memancing emosiku dan membuatku bertindak anarki.
Haikal tak boleh terbunuh. Haikal harus selamat, namun bagaimana? Aku bahkan tak bisa menghubunginya untuk mengimbau agar hati-hati selama aku pergi. Tangisku tak kunjung reda. Aku terus melajukan mobilku menuju barat, keluar kawasan Jakarta dan Bekasi.
Kala pening menyerang kepalaku dan mataku buram akibat tangis, aku mengarahkan mobilku menuju rest area dan berhenti di depan mushala. Mengambil mukena dan masuk ke rumah Allah untuk mencurahkan segala perih yang kurasa.
Aku butuh Bunda. Aku butuh seseorang yang mau melindungiku dan menjadi sandaranku kala terpuruk seperti ini. Andai saja aku tahu jika akhirnya akan begini, aku akan membawa Bunda berobat ke Singapora hingga Jerman agar Bunda sembuh dan hidup lebih lama. Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... hanya istighfar dan dzikir yang membuatku sadar bahwa aku tak boleh marah atas kehendak Allah. Aku harus meyakini, bahwa ini yang terbaik untuk Bunda. Agar baliau tak perlu terlalu lama merasakan derita.
Aku kembali memasuki mobilku dan mencoba menghubungi Haikal lagi. Ia harus tahu tentang rencana Kiki dan Misha. Namun lagi-lagi, operator yang menjawab bahwa ponselnya tak aktif. Aku frustasi. Membaca semua surat pendek yang kuhapal, aku memohon pada Allah agar selalu melindungi Haikal dari mara bahaya. Aku mencintainya. Aku tak ingin kehilangan Haikal atau siapapun lagi yang tulus mencintaiku.
Tanpa terasa, laju kendaraanku berhenti di depan sebuah rumah asri. Aku bimbang. Antara masuk dan bertamu, atau pergi lagi saja dan mencari penginapan untukku menenangkan diri. Aroma serabi dengan taburan oncom yang kubeli di restaurant tempatku dulu singgah bersama Haikal, membuatku menoleh pada jok penumpang samping dan menatap nanar pada dua kotak serabi yang tadi kubeli.
Menghela napas panjang seraya mengucap basmalah, aku menginjak pedal gas dan memasuki pekarangan asri itu.
Hujan deras membasahi bumi Bandung sore ini. Aku mengambil kantung berisi dua kotak serabi yang kubeli tadi, lantas keluar mobil menerobos hujan. Entah apa yang kupikirkan sepanjang perjalanan ini, hingga roda kendaraanku bergerak menuju rumah uwak Haikal yang pernah kami kunjungi dulu.
"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu hunian yang tampak sepi sore ini. tiga kali ketukan dan salam kuucap namun tetap tak ada sahutan.
Kemana Uwak dan Usna?
Lelah berdiri, aku duduk di kursi teras mungil yang tebuat dari rotan sintetis. Menunggu Uwak atau Usna datang dan meminta ijin untuk tinggal di sini sementara. Namun hingga petang hendak datang dan hujan semakin deras, tak satu pun dari mereka terlihat.
Aku lelah, putus asa, dan ingin menangis rasanya. Bahkan saat aku membutuhkan tempat berteduh, semesta masih saja menguji kesabaranku.
"Annisa?" Suara Uwak membuatku mendongak dari posisiku yang menutup wajah sejak tadi. Aku melihat Uwak menutup payung yang ia gunakan dan menghampiriku dengan wajah heran. "Sama Haikal? Kapan sampai?"
Tak mampu menjawab, aku hanya terdiam malu dengan mata yang mulai terasa panas lagi. Aku bingung harus bagaimana.
Uwak mengambil tanganku dan memelukku. "Masuk dulu, ya. Annisa pasti lelah," bisiknya, lalu menggiringku masuk ke dalam rumah dan mempersilakanku duduk di ruang tamu. Uwak membuatkanku teh hangat dan memintaku meneguk, sebelum kami mulai bicara. "Annisa, ada apa kemari? Ada yang bisa Uwak bantu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...