Lirih lantunan ayat suci terdengar di telingaku. Aku membuka mata, lalu menoleh ke asal suara. Haikal tengah membaca Al-qur’an. Ia duduk bersila di atas sajadah dengan koko dan peci. Sudah rapi saja sepagi ini.
“Shadaqallahul-'adzim.”
Haikal menutup kitab suci yang ia baca lantas melipat sajadah. Aku bergerak kikuk saat pria itu menatapku tanpa suara. Hening menjajah kami dan aku tak tahu harus bagaimana saat ini. Ingin tidur lagi, tapi tak bisa karena mataku rasanya dipaksa segar. Ingin turun dari ranjang, tapi malas karena tak tahu ingin melakukan apa.
“Kenapa masih di ranjang?” Haikal bertanya seraya berjalan mendekat padaku.
Keningku menyernyit. “Memangnya aku harus apa di pagi buta ini, Mas? Untuk sarapan, aku akan menyiapkan roti tawar dan selai, berikut kopi hitam. Aku tidak harus masuk dapur sepagi ini hanya untuk menyiapkan itu.” Menyandarkan tubuh di kepala ranjang, aku menarik selimut agar nyaman dan bersiap mengambil gawai untuk membuka media sosial.
Namun Haikal merusak pagiku. Pria itu menarik keras selimut dan menyingkirkan benda itu ke pinggir ranjang. Membuatku ingin berteriak marah bila tak ingat jika aku punya misi menaklukan hati pria itu. Mencoba menahan emosi, aku mendesis lirih dengan mata tajam menatapnya. “Mas ngapain? Aku mau bersantai sebelum berubah menjadi pela—istrimu.”
“Shalat,” perintahnya tegas dengan wajah keras.
Aku menggeleng. “Malas main air sepagi ini.” Kualihkan tatapanku darinya menuju gawai. Membuka laman belanja daring di jam segini, sepertinya boleh juga.
Haikal berdecak lalu mengambil gawai yang sudah kupegang. “Kamu bilang ingin menjalani pernikahan ini?” Tubuhnya menjulang tinggi di hadapanku. Wajahnya menunduk dengan gestur tegas penuh otoritas. Jika sudah begini, aku tampak seperti tak memiliki daya. “Turuti perkataan saya. Turun dari ranjang dan salat!”
Jantungku berdentum kencang. Aliran darahku terasa meninggi hingga rasanya ingin manampar wajah Haikal. Jika tidak ingat pesan kiriman Kiki dan Misha semalam, juga bayangan indahnya Maladewa, aku pasti sudah melempar lampu tidur ke wajah pria itu.
“Annisa,” panggilnya lagi padaku.
Aku heran. Semalam ia bersikap manis padaku, bahkan merelakan gulingnya untuk kupakai. Ia juga tak membantah saat aku menyalakan televisi ketika tidur. Namun, hanya demi ibadah di pagi buta, pria ini berubah sikap layaknya sipir penjara.Menghela napas panjang, aku beranjak pelan dari kenyamananku dan berjalan malas menuju kamar mandi. Astaga, ini kali pertama setelah bertahun lamanya, aku serajin ini bangun pagi.
Haikal pergi meninggalkan kamar dan aku membuka bingkisan pernikahan kami yang berisi seperangkat alat shalat. Mas kawinku dengan Haikal, selain sebuah cincin sebesar tiga gram. Hanya itu. Hanya sereceh itu harga diriku bagi Bunda.
Menahan dongkol dan kesal di dada, aku memakai seperangkat alat salat itu dan mulai bergerak seingat yang dulu diajarkan guru agama. Masa bodolah, benar atau salah, yang penting sudah salat.
Haikal masuk ke kamar kami lagi tepat saat aku selesai melaksanakan ibadah. Wajahnya tak lagi sekeras dan sedingin beberapa saat lalu. Ia beranjak menuju lemari dan mengambil satu kemeja. Tanpa malu, pria itu membuka baju kokonya dan memakai kemeja di hadapanku.
“Saya sudah membuat kopi dan teh hangat untuk kita. Boleh saya minta ditemani sarapan?” Ia menoleh padaku dan senyumnya tercetak manis.Aku yang tersadar dari rasa terpana ini, menggeleng cepat lantas membereskan perlengkapan salat. Tanpa menjawab, aku melangkah meninggalkan kamar lalu berjalan menuju meja makan. Senyumku melengkung samar saat mendapati beberapa lembar roti bakar, berikut selai yang terhidang di sandingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Till Jannah (Proses Terbit)
SpiritualAnnisa Fauzia menginginkan seluruh harta warisan mendiang Ayah. Ia ingin hidup bebas dan bersenang-senang bersama dua sahabatnya, dengan harta peninggalan yang Annisa yakini tak akan habis hingga ia mati. Namun, Bunda tak memuluskan keinginannya. Wa...