25. Niat baru

11K 967 86
                                    

Postingan terakhir versi wattpad, yess!!

Jangan lupa peluk bukunya atau ebooknya. Muaacchhh ... selamat hari raya Idul Adha

*****

Haikal berdiri tegap di depanku. Mengimamiku menyembah Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci yang terdengar merdu dari mulutnya. Air mataku mengalir terus, tanpa bisa kuhentikan. Ada tumpukan rasa bersalah yang menggelayutiku hingga aku merasa tak memiliki muka hanya untuk sekadar meminta maaf.

Dalam setiap sujud, aku mengucap banyak syukur dan terima kasih kepada Allah, atas hal berharga yang kudapat saat ini. Kehadiran Haikal. Aku tak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba mendatangiku ke sini. Namun apapun itu, aku siap menghadapi. Ini semua sudah konsekuensi atas kebodohan yang kulakukan dulu, pada Bunda dan Haikal.

“Assalamualaikum warahmatullah.”

Kami mengakhiri salat isya bersama. Haikal mengangkat kedua tangannya dan memimpin doa. Aku mengamini dengan suara lirih dan isak yang kentara terdengar. Aku malu, sebenarnya. Haikal terlalu baik dengan masih memberiku kesempatan menjadi makmumnya. Meski saat selesai mandi tadi, ia belum juga bicara padaku, namun tatapan matanya padaku, membuat haruku tak bisa kutahan. Semoga pikiranku benar, jika Haikal masih memiliki rasa padaku. Rasa yang sama dengan apa yang kurasa terhadapnya. Aku ... cinta dia.

Doa selesai. Haikal masih duduk dan menunduk sendiri. Sedang aku, terdiam tak berkutik di belakangnya. Kami membatu dalam hening. Saling terdiam dengan pikiran dan emosi yang tersimpan pada masing-masing. Hingga akhirnya, Haikal berbalik dan mengulurkan tangannya ke hadapanku.

Tangisku pecah, semakin kencang. Tangan kokohnya terbuka di hadapanku yang menunduk malu. Gemetar, aku mengambil tangan itu dengan kedua tanganku dan menciumnya takzim. Hatiku lega. Seperti menemukan oase setelah perjalanan panjang nan melelahkan di sebuah gurun yang panas menyengat. Aku bahagia meski masih ada penyesalan yang kurasa. Allah Maha Baik. Memberiku pendamping yang sabar membimbingku menuju ketenangan hidup yang selama ini kucari.

“Maaf—Mas.” Hanya itu. Hanya itu yang mampu kuucap meski terbata akibat isak yang menyesakkan dada. “Maaf.”

Haikal masih terdiam. Ia tak bergerak sedikit pun atau bersuara. Tangannya masih berada dalam tangkupan tanganku dan membiarkanku mencium tangannya seraya menangis lepas. Entah hingga berapa lama, akhirnya Haikal menarik tangannya lembut dan menarikku untuk masuk ke dalam pelukannya.

Aku melingkarkan tangan di pundak Haikal dan menangis di sana. Antara lega, bersyukur, menyesal pernah melakukan kesalahan bodoh dan memohon maaf pada Haikal yang masih mau memelukku hangat. Aku merindukan Haikal. Merindukannya hingga ke tulang rusukku. Tangisku tak bisa reda dan Haikal sabar memelukku hingga entah berapa lama kami saling berpelukan seperti ini.

“Bagaimana murajaahnya?” Pertanyaan pertama Haikal setelah hening dan isak tangis melingkupi kami. “Sudah tambah berapa surat, hapalannya?”

“Maaf,” jawabku disela isak yang mulai mereda. Meski Haikal sudah merenggangkan pelukan kami, namun aku tak sedikitpun melepas kaitan tanganku di pundaknya. “Maafin aku, Mas. Maaf.”

“Tadi kajiannya tentang apa?”

“Maaf, Mas. Maaf. Maaf.” Aku mengeratkan pelukanku dan mencoba menghela napas berulang kali agar isakku kunjung mereda. “Maafin aku. Maaf.”

Haikal memelukku erat, sebelum mendorongku pelan agar pelukan kami terlepas. Tangan kukuh itu mengusap wajahku yang mulai mengering dari air mata. Aku bahkan tak peduli lagi dengan mataku yang mungkin saja bengkak akibat terlalu lama menangisi kebodohanku.

Mata Haikal menatapku lamat, namun aku tak mampu membalas pusaran bola mata yang menghanyutkan itu. Aku menunduk dengan tangan yang gemetar dan saling berpaut. Kini, Haikal mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya lembut. “Annisa,”  panggilnya lirih namun tegas.

Meski gugup, aku mendongak dan mencoba bertahan membalas tatapan matanya yang terasa dalam. “Maaf.”

“Sejak kapan Annisa merasa pernikahan ini, bukan lagi jalan memenangkan perjanjian Bunda?” Suara Haikal lembut seperti biasa, namun ada nada serius dan tegas yang kurasa di setiap kata yang terucap.

Aku menggeleng takut-takut. “Gak tahu. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli lagi dengan apapun, termasuk perjanjian itu. Aku hanya mau Mas memaafkanku. Sudah.”

“Sejak kapan Annisa menyadari ada rasa diantara kita?”

“Gak tahu. Yang jelas aku cinta sama Mas dan gak mau Mas marah seperti kemarin.”

“Sejak kapan Annisa ... memiliki keinginan untuk memperjuangkan rumah tangga kita? Bukankah lebih enak jika hidup bebas?”

Aku menggeleng kuat. Kalut dan takut jika Haikal merasa aku masih memiliki rencana bodoh itu. “Aku gak mau kemana-mana lagi. Aku hanya mau berada di samping Mas. Tolong maafin aku. Tolong jangan pergi lagi. Tolong, Mas.” Bahkan suaraku sudah seperti orang yang frustasi.

“Annisa bisa janji apa?”

“Apapun!” jawabku cepat dan tegas. “Aku janji akan belajar masak, jadi istri Mas yang salihah, dan apapun yang Mas minta, aku pasti turuti. Tapi tolong jangan tinggalkan aku. Aku sendiri, Mas. Sendiri.” Tangisku pecah lagi, lirih. Menyadari begitu mirisnya hidupku. Saat banyak orang mendekatiku demi harta dan tahta, aku justru mengemis cinta pada Haikal yang mampu memberiku bahagia dan ketenangan. “Aku sendiri, Mas. Tolong jangan tinggalkan aku.”

Haikal menatap wajahku yang berurai air mata. Senyum pria itu terukir lembut dan tatapannya teduh. Tangan Haikal lagi-lagi mengusap wajahku yang basah lalu mencium keningku lama. “Maafkan saya, Annisa,” ucapnya usai melepas kecupannya di keningku. “Maaf baru bisa datang sekarang.”

Aku melompat ke dalam pelukannya. “Asal jangan pergi lagi. Jangan hilang lagi. Jangan hukum aku seperti ini lagi, Mas. Rasanya menyiksa.”

“Iya,” jawabnya lirih di telingaku. “Jadi ... Annisa mau memulai hubungan kita dengan niat yang lebih baik?”

“Niat yang benar,” jawabku meralat. “Aku ingin kita membangun hubungan kita dengan cinta dan menjalani pernikahan kita karena Allah.” Aku melepas pelukanku dan menatap Haikal penuh permohonan. “Mas temani aku menjalani ibadah panjang ini dan membimbingku agar dekat dengan Allah. Kita lakukan semua karena Allah. Karena Allah yang memiliki syurga dan aku ingin mencintai Mas hingga syurga.”

Senyum Haikal yang hangat dan selalu membuatku rindu, kini terlengkung sempurna di wajahnya. Ia membuka mukena yang kugunakan dan membuka kuncir rambutku, seperti yang biasa pria itu lakukan. Membuat rambutku tergerai sempurna. “Assalamualaikum, Ya Habibah,” ucapnya ringan dengan tatapan lembut menggoda.

Pipiku memanas. Aku menunduk malu dan membiarkan rambutku menutupi sebagian wajah.

“Jawab, sayang.” Tangan Haikal mengarahkan rambutku ke belakang telinga. Lalu mengambil daguku agar wajahku terangkat menatap wajahnya. “Assalamualaikum,” ulangnya lagi, menyapaku.

Aku mengulum bibir dan mengerjap gugup. “Waalaikumsalam.”

Lalu gugup itu berangsur hilang. Saat tanganku perlahan melingkari leher suamiku dan bibirku menyambut setiap kecupan yang Haikal berikan. Rasanya manis dan memabukkan. Aku ingin seperti ini selamanya. Bersama Haikal, melakukan segalanya dengan niat ibadah dan mencari ridha-Nya.

“Saya rindu kamu, Annisa,” aku Haikal usai melepas pagutan ringan kami. “Saya rindu kamu.” Bahkan embusan napasnya membuatku yakin jika kami memang saling tersiksa akibat rindu dan masalah ini.

Aku tak menjawab ungkapan rindunya. Aku hanya terdiam dan menikmati wajah Haikal yang masih menatapku lembut, hingga hatiku mampu merasakan apa itu cinta. Tersenyum malu, aku mendekatkan bibirku dan mengecupnya lembut.

“Haikaall!!” Pintu kamarku digedor dengan suara Uwak yang keras memanggil suamiku. “Sudah salat apa belum? Kalau sudah, Uwak mau salat di kamar. Kalau belum, Uwak mau buka pintu.”

Haikal tertawa lirih dan menggeleng dengan wajah malu. “Baru selesai, Wak.”

“Yasudah. Berarti Uwak salat sendiri di kamar saja. Kalian jangan buru-buru keluar kamar. Uwak salatnya lama.”

Aku menggigit bibir, menahan tawa. Sedang Haikal meletakkan tangannya di balik leherku dan mengusapnya lembut. Mata kami saling tatap sesaat, sebelum Haikal mendorong wajahku mendekat padanya dan melanjutkan ritual melepas rindu yang terlampau menyiksaku.

****

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang