13. Karena Allah

4.8K 612 28
                                    

Aku masih bungkam, meski Haikal kerap mengajakku bicara.

Mengingat jawabannya atas alasan menikahiku, membuat harga diriku terluka. Bagaimana bisa seseorang mencintai bukan karena hati atau rasa tertarik. Seharian ini aku mendiamkannya. Bahkan saat di kantor, aku hanya menjawab pertanyaan seputar pekerjaan saja.

Hingga kami sampai di kediaman Bunda, aku langsung memasuki kamar Bunda dan membantu Beti yang tengah mencukur habis rambut Bunda.

"Rontoknya parah, Mbak. Jadi, saya cukur saja biar ranjangnya gak kotor rontokan rambut."

Aku termangu menatap Bunda yang memandang kosong layar televisi. Padahal, ada acara talkshow yang saat ini tayang, adalah program favorit Bunda. Tatapan Bunda saat ini membuat satu sisi hatiku nelangsa. Kasihan Bunda. Meski aku tak pernah akur sejak kuliah, bagaimana pun Bunda adalah ibuku. Jika ia menderika sakit hingga seperti ini, ada rasa tak tega dan ikhlas mendapatkan Bunda harus menderita begini.

"Mbak Icha." Beti memanggilku. Membutaku spontan menoleh pada asisten Bunda. "Mau bantu kerokin bagian belakang kepala Bunda? Saya harus menopang supaya Bunda bisa duduk tegap."

Melihat Bunda yang tampak payah, aku bergerak mendekati Beti dan menerima alat cukur. Ludahku terasa kelat saat melihat dengan dekat, kulit kepala Bunda yang terlihat jelas. Ini menyeramkan. Bagaimana mungkin wanita harus rela mahkotanya dipangkas habis karena penyakit. Meski Bunda mulai menutup kepalanya dengan hijab sejak aku SMA, namun tetap saja, bagi wanita, rambut adalah lambang keanggunan.

Kugerakkan tanganku perlahan menyukur rambut Bunda yang tersisa. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bunda. Sejak tadi, ibuku hanya terdiam menatap layar televisi dengan tatapan hampa. Meski Haikal sempat masuk kamar dan menyapa, Bunda hanya mengerjapkan mata dan menoleh pada Haikal sesaat.

"Bunda mau makan apa?" Entah dari mana datangnya, rasa simpatiku terlontar begitu saja.

Namun sayang, Bunda tetap terdiam.

"Kata Mas Haikal, Icha disuruh tinggal di sini temenin Bunda. Jadi, Bunda kalau Icha tanya, harus jawab. Bukannya Icha gak ikhlas, Icha cuma mau proses ini berjalan cepat."

Bunda melirikku enggan. Matanya menatapku lamat dengan binar lemah. Namun aku tahu, ada banyak hal tersimpan dalam bola kelamnya.

"Bunda gak usah khawatir. Meski Icha akan tinggal di sini temani Bunda, Icha tetap akan bekerja. Harusnya Bunda bersyukur punya anak seperti Icha."

Erjapan mata dan tatapan Bunda masih intens mengarah padaku. Aku terdiam seraya bersedekap dada. Kami saling menatap namun tak ada kata tercipta.

"Bukankah ini maumu?" Bunda bersuara. Lirih sekali dan terdengar lemah. "Membiarkan Bunda sebatang kara hingga mati."

Hingga mati. Ucapan Bunda yang membawa kematian membuat emosiku naik seketika. Wajahku menegang dan menatap Bunda tajam. "Bunda ngaco!" Jujur, meski aku kerap berselilih dengan Bunda, namun aku sedikit gentar jika suatu hari, Bunda benar menyusul Ayah dan membuatku sendiri. Aku menginginkan harta Ayah, namun aku juga enggan kehilangan Bunda. "Apa Bunda kurang puas, melihat Icha menuruti mau Bunda, menikahi Mas Haikal, ha?" Dadaku bahkan naik turun dengan cepat.

"Kamu mengingkan harta Ayah."

"Iya," sentakku pada Bunda. "Tapi bukan berarti aku—"

"Annisa!"

Aku menoleh ke belakang dan Haikal berjalan cepat dan tegas mendekat. "Jangan bicara keras pada Bunda!" Tatapannya bahkan tajam. Sarat akan teguran keras.

"Ini bukan urusan Mas. Ingat, aku masih marah sama Mas."

Haikal menghela napas panjang. Ia menatap Bunda lantas tangannya dengan lembut mengusap wajah Bunda yang basah air mata. Aku bahkan tak sadar jika Bunda menangis dalam diam. "Kamu boleh marah sama saya, tapi tolong jangan buat Bunda sedih. Cukup sakit ini saja ujian kesabaran Bunda. Jangan lagi dengan anak yang durhaka." Haikal menoleh padaku. "Bahkan nabi Muhamaad saja, mengucap kata Ibu sebanyak tiga kali, sebagai manusia yang harus kita hormati."

Aku melengos. Membuang moka dan tatapanku ke sembarang sudut, untuk menghindarai tatap dengan Haikal.

"Haikal." Bunda bersuara lirih. Aku menoleh pada Bunda dan Haikal yang tampak saling tatap serius. "Tolong panggil pengacara Ayah ke sini, besok. Saya ingin menyerahkan seluruh kepemimpinan perusahaan padamu."

"Apa?" Mataku membola. "Bunda—"

Haikal menatapku tajam bersamaan dengan tangan Bunda yang mengudara, memintaku diam.

"Saya ingin pensiun. Ingin fokus pengobatan dan ... beribadah. Saya titip peninggalan Ayah dan putri saya."

"Tapi Bunda," Haikal tampak gamang. Aku tak melihat sedikitpun bahagia mendengar permohonan Bunda padanya. "Bukankah Annisa bisa menggantikan Bunda? Saya bisa mendapingi dia untuk belajar memimpin perusahaan."

Bunda menggeleng. "Hanya sementara. Sementara hingga Icha benar-benar mampu dan mau mengambil tanggung jawab sebesar itu."

Tentang tanggung jawab memimpin ratusan karyawan. Jujur, aku setengah mau dan sedikitpun tak mampu. Kupikir, menjadi atasan hanya duduk, meeting, makan enak di sana-sini dan menunjuk bawahan sesuka hati.

Namun kenyataan selama hampir satu bulan aku terjun di dunia ini, membuatku sadar bahwa Ayah benar-benar bekerja keras. Tak mudah menjadi pemimpin. Apalagi, Haikal kerap berkata bahwa tanggung jawab sebagai pemimpin akan terbawa hingga mati. Jika salah membuat keputusan dan medzalimi, maka tak tanggung-tanggung dosa yang mengalir pada pemimpin.

"Saya—" Haikal terdengar ragu.

"Tolong," mohon Bunda dengan suara parau dan bergetar. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat Bunda tampak tak memiliki daya.

"Saya mengajukan satu syarat," Mata Haikal mengarah padaku. "untuk Annisa."

Aku yang sejak tadi bersitatap dengan Haikal, menaikkan satu alis dan membuat gestur tanya.

"Jaga dan rawat Bunda sepenuh hati hingga sembuh. Dengan begitu, saya bisa fokus bekerja."

"Kalau begitu, bagaimana aku bisa melihat Mas memimpin perusahaan dengan benar?" bantahku ragu. Kali ini, kondisinya genting. Bunda meminta Haikal memegang kendali tambang emasku. Sedang aku, harus bersabar menunggu beberapa bulan lagi untuk mendapatkan itu. Bagaimana aku bisa yakin hartaku akan baik-baik saja di bawah kendali suamiku.

Haikal menatapku seraya mendengkus. "Kita akan tinggal di sini. Untuk menemani Bunda pada masa-masa sulit ini. Setiap hari, saya akan melaporkan perkembangan perusahaan padamu. Apapun itu. Bagi saya, meski kamu istri saya, kamu tetap orang yang tetap harus saya hormati sebagai pemilik tempat saya mencari nafkah."

"Perusahaan itu milik Bunda dan Ayah," ralatku seraya membuang muka.

"Besok," timpal Bunda lirih. "semua akan jadi milikmu."

"Maksud Bunda?" Wajah Haikal menatap Bunda penuh tanda tanya.

"Bunda menyerahkan semua kepemilikan atas nama Ayah untuk Annisa. Namun kamu memiliki peran mengelola dengan baik, karena kamu yang kami pilih untuk menjadi suaminya."

Haikal terlihat tegang. "Ini ... tanggung jawab besar, bagi saya."

"Tolong saya," pinta Bunda memelas. Padahal, Bunda adalah tipikal wanita tegas dan keras. Tak pernah tampak lemah dan melas seperti saat ini. "Tolong jaga anak saya. Tolong pegang amanah ini dengan baik."

Mataku jelas menangkap tangisan Bunda. Air mata itu menetes tanpa sungkan, membasahi wajah pucat Bunda yang tak lagi memiliki helaian rambut. Harusnya aku senang mendengar semua akan menjadi milikku, kurang dari 24 jam. Aku menang. Bunda menyerah, bahkan sebelum jatuh tempo perjanjian itu.

Namun mengapa hatiku justru ... perih?

*****

I Love You Till Jannah (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang